Selasa, Oktober 04, 2005

Refleksi

BERJALAN di kerumunan orang, bukanlah pekerjaan yang mudah. Menginjak jempol kaki, menjitak pantat dan mencium sikut merupakan bonus yang tak terelakkan. Belumlah dihitung bau keringat, bau mulut dan beribu macam bau lainnya tak henti menikam indra penciuman. Tak lupa, dentum kendang dari penyanyi dangdut yang disetel pada volume penuh dari sebuah tape dengan speaker rakitan turut memekakan telinga.

Meski begitu, suasana akrab akan lebih terasa pada suasana tersebut. Tak jarang senyum kenes mampir di pelupuk mata, sedikit bonus kerling akan menjadi paduan meriah yang murah bagi badan dengan kondisi lelah. Simpan tas di depan perut, masukkan dompet ke saku depan, matikan hape, tajamkan pandang, itulah pesan seorang teman. Kabarnya, jalan Pasar Baru, di jantung kota kembang ini merupakan sarang ratusan copet yang terbilang ganas.

Lebar trotoar yang tak seberapa masih harus mengalah dengan pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai barang dagangan. Dari aksesoris perak sampai celana dalam lokal berlabel impor berduyun-duyun menyerang pandang di sepanjang jalan dengan rentetan gedung tua khas jaman kolonial.

Matahari masih saja memajang senyumnya yang terik menghunjam jalanan hotmik di Jalan Oto Iskandardinata, Bandung. Kendati sinarnya tak jua menyentuh sang hotmik karena ratusan angkot, mobil pribadi, bus Damri, sampai gerobak pedagang kaki lima seperti tak sudi membiarkan keromantisan antara sinar surya dengan sang hotmik. Mereka silih berganti menyelimuti badan jalan dengan langkah tertatih-tatih.

Namun, hal tersebut tak mengurangi hawa panas yang menyengat tenggorokan dan membakar kulit dengan suhu mencapai 37 derajat celcius. Entah kemana kesejukan Paris van Java yang kondang dengan kerya artdeco anak-anak kompeni? Hari ini hanya keakraban Sahara, terpampang jelas di kerumunan orang, di jalan Otista, di bawah terik surya pukul 13.27 WIB.

"Neng, ini mah katun asli. Pasti adem, sudah gitu cocok dengan sepatu eneng kan bisa mecing kata anak-anak mahasiswa mah!"

Celotehan seorang pedagang cukup menarik perhatian. Ia menawarkan sebuah t-shirt merah menyala. Tulisan 'happy girl' besar, terpampang tepat di bagian dadanya. Tulisan berwarna putih tanpa outline itu tajam mencolok mata akibat warna kontras dari merahnya warna kaos.

Sesosok perempuan dengan potongan rambut pendek berdiri tepat di depan kaos yang di pampang penjual tadi. Perempuan itu mengenakan blouse putih yang dipampang di atas rok panjang berwarna hitam. Di bahunya tergantung tas kecil berwarna hitam. Hanya sebuah stileto setinggi 12cm, berwarna merah, menjadi aksen kontras bagi paduan warna yang melekat di tubuhnya.

Dari bibir polos sang perempuan tak terlihat akan datangnya suara menjawab tawaran penjaja kaos. Hanya seulas senyum, sempat melintas singkat di bawah hidung munggil lancip yang menggantung di permukaan muka yang berbentuk oval sempurna. Meski, mata yang bening itu seperti lembab menahan cairan bening di selaputnya, tapi diam tetap menyegel mulutnya.

"Murah kok Neng, cuma Rp15 ribu saja. Kalau beli dua dapat satu, bonus!"

Penjaja kaos itu kembali melapalkan jampi pemikat bagi pembeli yang masih bimbang. Beberapa pedagang tetangganya melirik sang perempuan, iri melihat keberuntungan temannya. Sebagian lain hanya menengok sejenak dan kembali melipat-lipat dagangannya sambil tak lupa berteriak-teriak menawarkan jajaanya.

Menahan godaan sang pedagang, tangan yang juga munggil milik sang perempuan terangkat dengan getaran kecil. Seolah ia dipaksa menyentuh benda yang seumur hidup pun tak mau ia sentuh. Jari-jarinya menyusuri lengan kaos, melaju ke bagian bahu dan berakhir di bagian dada, tepat di atas tulisan putih. Sedangkan tangan satunya masih saja menggepit tas di dadanya.

"Bagus kok Neng! Ini bahannya dari katun asli, jahitannya juga bagus. Pokona mah cocok lah dipake sama eneng!"

Seolah mendapat penonton yang apresiatif, pedagang kaos kembali melantunkan khotbah tentang kualitas kaos. Tak lupa ia membolak-balik kain di bagian jahitan kaos. Kemudian ia juga mengambil warna lain kaos. Bukan saja merah, kaos-kaos dagangannya memiliki berbagai variasi warna; biru, hijau, pink, sampai ungu pun ada. Hal yang pasti semua kaos tersebut memiliki hiasan berupa tulisan yang sama.

Setelah menjejerkan kaos-kaos tadi di atas lapaknya, pedagang tersebut kemudian terdiam. Aral penyebabnya, sang perempuan hanya terdiam, memeluk tas dan tetap berdiri. Walau kadang bergoyang karena tertabrak pedagang asongan yang entah sengaja atau tidak menyenggol lengan perempuan. Seorang preman sedikit menempelkan hidungnya di depan muka perempuan, penasaran dengan kulit langsat di lengan dan betis perempuan ber-stileto merah.

Selama hitungan detik, suasana seperti sebuah pantomim. Gerakan terhenti, waktu seperti termanggu, bak gambar yang terpenjara dalam bingkai kamera.

"Saya ambil satu, yang merah deh Mang!"

Tiba-tiba, sebuah suara sopran melonjak dari bibir tanpa polesan, memperlihatkan deretan gigi yang rapi terselip di selanya. Waktu kembali bergulir, suasana menjadi cair, dan keheningan pun berakhir. Perempuan itu merogoh tasnya, mengambil dompet merah. Sementara sang pedagang mulai melipat seadanya kaos merah, membungkusnya dengan kertas koran, memasukan kedalam kantong plastik dan menyerahkan pada sang perempuan.

Setelah menerima bungkusan kaos, perempuan itu mendekap bungkusan kaos. Setetes air bening terjatuh dari sudut matanya. Selanjutnya ia menyerahkan selembar uang sambil menunduk dan menyelinap di antara kerumunan orang. Pedagang kaos menerima uang dari perempuan dengan pandangan membuntuti arah perginya. Setelah tak terlihat, ia menjatuhkan tatap pada helaian uang.

"Wei Neng! Duitnya kebanyakan, kembaliannya belum diambil!"

Tak ada respon dari kerumunan orang, hanya beberapa mata menolehkan kepenasaranan pada si pedagang.

"Aaah aneh-aneh aja, tapi lumayan buat penglaris!"

Pedagang itu menepuk-nepukkan uang lima pulahan pada kaos dagangannya. Kerumunan bak tirai gedung bioskop kembali menutup pandang ke arah pedagang kaos. Hawa panas kembali bertawap di wajah. Deru suara mobil masih terdengar, tatkala lantunan dangdut memasuki akhir lagu. Beberapa teriakan pedagang semakin jelas tersimak.

Kota Bandung masih genit mempertontonkan kesemrawutan, tapi tak luput sebuah drama menghiasi jalanan padat di sepanjang Oto Iskandardinata.


Ruang redaksi koran nomor dua
abdisalira©041005

Tidak ada komentar: