Sabtu, Januari 20, 2007

Menjinakkan Pasar

SEDERHANA, selalu ingin tahu, spontan, dan akan tumbuh berkembang. Itulah gambaran seorang bocah pada umumnya. Pikirannya tidak pernah rumit, selalu praktis tapi tetap merupakan misteri bagi manusia dewasa. Kesedihan mereka hanya akan terlihat dari air matanya. Begitupula kebahagian akan diwakili ulasan senyum.
Gambaran tersebut sangat mirip dengan 'makhluk' yang dinamakan pasar. Dia selalu praktis dengan kesederhanaannya. Ketersediaan barang atau komoditi di pasar bisa dilihat dari besar kecilnya harga. Akan tetapi, sangat sensitif dengan berbagai pengetahuan. Setiap isu, akan direspon makhluk ini tanpa bisa dibendung.
Seperti telah diberitakan berbagai media termasuk surat kabar ini, pasar Indonesia saat ini tengah 'ngadat' khususnya pasar kebutuhan pokok. Semua harga melambung sangat tinggi. Akibatnya, rakyat di bumi Nusantara ini susah payah menggapainya.
Untuk itu, pemerintah selaku pengelola pasar telah mengambil berbagai langkah untuk menenangkan amukannya. Tak kurang, rayuan berupa operasi pasar sampai impor telah dilakukan. Bahkan, setiap pejabat di pemerintahan berlomba-lomba mengalunkan senandung stabilnya harga, melimpahnya pasokan, dan tingginya stok barang-barang kebutuhan pokok. Anehnya, pasar seolah menjadi tuli dan buta. Dia tidak lagi terpengaruh dengan berbagai rayuan tersebut.
Misalnya beras, sejak kenaikannya Lebaran lalu, dia tetap berada dikisaran tinggi. Bank Dunia pun dengan membabi buta menuduh beras penyebab miskinnya rakyat Indonesia. Panen musim gadu bukan lagi mainan yang bisa menenangkan pasar beras. Bahkan, impor yang bertubi-tubi tidak lagi terasa manis di lidah pasar. Dia tetap ngadat dan harga beraspun tetap mahal.
Hal sama terjadi dengan gula. Sejak berakhirnya giling pabrik gula, harganya mulai merambat naik. Kurangnya produksi dibanding kebutuhan direspon dengan kenaikan harga yang berkesinambungan. Puncaknya, ketika musim hari raya, harga bisa dibilang melonjak. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Ardiansyah Parman tak bisa membantahnya lagi. Sejak minggu ketiga Desember, harga gula nasional memang terus meningkat. Saat ini harganya telah mencapai Rp 6.500/kg hingga Rp7.500/kg. Harga ini jauh di atas harga lelang gula tertinggi yang hanya sebesar Rp5.600/kg.
Untuk itu Ardiansyah mengabarkan opsi menambah impor. Bahkan jika perlu
menggelontorkan gula rafinasi yang bisa membuat 'gerah' kalangan produsen gula eks tebu dan 'konco-konconya'. Entah ini rencana matang atau gertak sambal, tapi tujuannya satu, menekan harga kebutuhan pokok gula.
Lebih jauh, dalam kesempatan peresmian pabrik gula beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan Indonesia akan swasembada gula pada 2008. Khusus beras, beliau menyatakan pemerintahnya akan menambah produksi beras hingga dua juta ton. Pernyataan-pernyataan ini merupakan alat perayu agar pasar bisa kembali tenang.
Namun, mungkin pemerintah lupa, pasar juga bisa tumbuh. Sehingga tipuan tidak bisa lagi mempan. Pasar bahan pokok telah berubah menjadi anak bandel yang keras kepala. Hal ini seharusnya bisa menjadi peringatan. Menenangkan pasar harus kembali pada sifat aslinya. Menurunkan dan menyetabilkan harga hanya bisa dilakukan dengan memperbanyak stok dan menyetabilkan pasokan.
***
Impor bukanlah hal yang haram. Bahkan seorang Anton Apriyantono mengakui impor merupakan salah satu instrumen perdagangan dan pasar. Kendati demikian, menyandarkan stabilnya harga pada instrumen impor tidak bisa berlangsung lama. Apalagi, komoditi yang dibicarakan di sini ialah komoditi pokok yang sampai kapanpun akan meningkat permintaannya.
Ibaratnya, bergantung di ranting kecil di dinding jurang. Dia akan patah, jika dijadikan tempat bergantung lebih lama. Perlu solusi yang lebih langgeng dan manjur. Tentunya, solusi ini ialah peningkatan produksi dalam negeri, jika perlu lebih dari tingkat swasembada.
Kendati begitu, pencapaian tersebut tidak bisa dilakukan hanya pada sebatas wacana seperti revitalisasi pertanian. Harus ada langkah kongkrit sebagai pendukung cita-cita ini. Mulai dengan peningkatan produksi melalui intensifikasi lahan. Peningkatan kapasitas petani dan penyediaan penbiayaan dan peningkatan riset.
Menyatir ucapan mantan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudhohusodo, revitalisasi pertanian harus diawali rasa percaya diri. Bangsa ini harus mulai meyakini kemampuan para petani dalam berproduksi. Dengan begitu, petani akan semakin termotivasi. Impor hanya menjadi opsi terakhir saat terjadi gejolak pada komoditas pertanian.
Selanjutnya, perlu dilakukan audit untuk mencapai keseimbangan harga komoditi. Pasalnya, sistem perdagangan komoditi pertanian masih terlalu menguntungkan pedagang dan spekulan pasar. Petani tidak pernah menikmati keuntungan dari berapapun tingginya harga. Keadilan dalam pasar dan distribusi keuntungan harus ditegakkan. Jika keseimbangan harga tercapai, bukan hanya petani yang akan diuntungkan, konsumen pun tidak perlu lagi meragukan harga.
Sedangkan, untuk komoditi gula pencapaian swasembada akan lebih sempurna jika semuanya merupakan karya anak bangsa. Artinya, swasembada gula bukan hasil jerih payah bangsa lain dalam memproduksi bahan bakunya. Sistem seperti ini bisa saja dilakukan pada komoditas lain. Akan tetapi, untuk komoditas sepenting beras dan gula semua aspek produksinya harus swasembada. Ini merupakan syarat mutlak jaminan ketahanan pangan.
Bila semua itu tercapai, bukan tidak mungkin petani akan menjadi pilar perbangunan ekonomi Indonesia. Selain itu, pengendalian makhluk bernama pasar tidak akan lagi mengalami kesulitan. Sehingga, media massa tidak perlu lagi menulis berita yang sama setiap akhir tahun seperti kelangkaan stok, lonjakan harga, kisruh impor, dan lainnya. Namun, semua ini kembali pada armada di bawah duet SBY-JK, sanggupkah beliau-beliau ini mewujudkannya? (Toh)