Senin, Februari 11, 2008

Krisis Pangan Lalu Sandang?

KRISIS pangan yang terjadi saat ini nampaknya berhasil menggugah kesadaran negeri akan pentingnya ketahanan pangan. Namun, apakah sebenarnya latar dari krisis ini?
Hampir setiap hari media massa menorehkan berita terkait melambungnya harga pangan. Pembicaraan ini tidak saja mendominasi ranah ekonomi, sosial, politik, ataupun budaya. Bahkan, pembahasan telah memasuki berbagai media yang sedianya hanya membahas gaya hidup atau bahkan gosip. Tak kalah meriah obrolan tersebut dibanding obrolan sama di dapau-dapur, pasar ataupun warung nasi. Hal ini menandakan, kondisi ini dirasakan hampir semua lapisan masyarakat.
Rakyat mempertanyakan upaya pemerintah dalam mengatasi krisis ini. Kegagalan pembangunan ekonomi khususnya pertanian dituduh sebagai borok penyebab kekisruhan ini. Sayangya, tamparan krisis ini tidak menggugah kesadaran tentang latar belakang persoalan secara mendasar dan krisis lebih besar yang potensial terjadi.
Tuntutan utama yang timbul dari meroketnya harga pangan hanya penurunan kembali harga. Tuntutan ini hanyalah solusi singkat yang semu dari persoalan yang sangat kompleks. Padahal, inti permasalahan negara ini bukan pada harga tapi pendapatan warganya. Kebijakan komoditas yang tidak pro lokal menjadi salah satu penyebabnya.
***
Naiknya, harga berbagai komoditas pangan tidak terlepas dari trend bio energi dunia. Beberapa negara utama produsen pangan dunia mulai mengalihkan penggunaan komoditas pangannya untuk energi. Selain itu, rusaknya alam yang berujung pada perubahan iklim juga mendorong terganggunya produksi pangan dunia.
Dampak nyata permasalahan ini mulai tampak ketika produsen utama di Amerika menhkonversi pangannya menjadi energi. Di sisi lain produsen utama lain seperti Australia mengalami bencana iklim yang menekan produksi pangan mereka. Akibatnya, Indonesia sebagai konsumen komoditas tersebut mulai didera lonjakan harga pangan.
Di awali krisis harga gula yang terjadi di awal 2007, masyarakat Indonesia kembali dipusingkan dengan kenaikan harga terigu. Bukan hanya kedua komoditas, harga daging dan susu yang didominasi pasokan impor juga mengalami lonjakan harga. Bahkan, kenaikan harga jagung dunia sempat mendongkrak harga telur dan daging ayam. Masyarakat pun menjerit.
Namun hal yang cukup melegakan, tahun lalu harga beras nasional sebagai komoditas utama tidak terlalu bergejolak. Hal ini disebabkan kebijakan beras yang (lagi-lagi) mengimpor beras dalam jumlah fantastis yakni 1,5 juta ton. Selain itu, petani berhasil meningkatkan produksi nasional dengan angka nhampir mencapai dua juta ton. Sehingga, tahun lalu beras tidak terlalu 'bergolak' untuk mendorong inflasi.
Fenomena ini terus berlanjut karena harga gandum dunia seakan enggan untuk turun kembali. Sedangkan, kebijakan petani AS yang mengkonversi tanaman kedelai menjadi jagung berdampak pada kenaikan harga. Walhasil, Indonesia sebagai konsumen utamanya memanen krisis harga kedelai. Berbeda dengan jagung, beras, kumoditas ternak, atau gula, kedelai lokal tidak sanggup menenangkan gejolak. Soalnya, alih-alih meningkat produksi komoditas ini justru anjlok. Alasannya, petani lebih memilih menanam padi atau jagung yang lebih menguntungkan dibandingkan kedelai. Tak pelak lagi, pengerajin tahu tempe di negeri ini mulai terkapar, KO dihantam lonjakan harga bahan baku.
Krisis harga pangan tersebut sebenarnya sudah diprediksi berbagai kalangan di dunia. Akan tetapi, persoalan ini sepertinya kurang digarap pemerintah sebagai regulator. Kendati begitu, pola pikir dan konsumsi rakyat juga semakin memperparah kondisi saat ini. Kita terlena dengan kemudahan semu dari barang-barang impor. Bahkan, kita selalu merasa bangga dengan menggunakan produk-produk impor. Padahal, pemikiran tersebut hanya memicu jarum jam pada bom waktu krisis. Tinggal menunggu waktu kapan bom tersebut akan meledak.
***
Baiklah, kita tinjau kembali seberapa besar ketergantungan kita pada barang impor? Khususnya pada produk-produk yang bersifat pokok seperti pangan, sandang, dan energi. Saat ini Indonesia sudah memanen dampak ketergantungan tersebut di bidang pemenuhan kebutuhan pangan. Akan tetapi, apakah benar kondisi ini merupakan puncak krisis di negeri yang konon gemah ripah loh jinawi ini.
Namun harus diingat, selain pangan Indonesia juga mengalami ketergantungan kronis dalam pemenuhan sandang. Hampir 100% bahan baku sandang bangsa ini digantungkan pada produk impor baik serat, benang, ataupun kainnya. Bahkan, belakangan ketergantungan juga menjurus pada produk hilirnya. Padahal, semestinya bangsa yang mengeklaim sebagai negara agraris bisa memenuhinya. Soalnya, bahan baku sandang berupa kapas merupakan produk pertanian. Artinya, krisis pangan saat ini ibarat gelombang awal dari sebuah gelombang besar yang mungkin akan menimpa negeri ini.
Pemerintah melalui Deptan beberapa waktu lalu sudah mencanangkan peningkatan produksi kapas.Akan tetapi, jika menilik persiapannya akan sangat jauh bagi upaya pengurangan ketergantungan untuk mendapatkan hasil yang memadai. Untuk itu, upaya ini harus didukung berbagai pihak khususnya para pelaku usaha di sektor ini.
Saat ini, Indonesia menargetkan pemenuhan kebutuhan kapas nasional hingga 5% dari total kebutuhan sebesar 550ribu ton per tahun pada 2010. Program perluasan lahan kapas sebesar 60ribu ha hingga 2010 mutlak direalisasikan. Bila perlu langkah tersebut dimaksimalkan untuk mengantisipasi penurunan subsidi pertanian dari negara maju khususnya AS yang saat ini didera krisis ekonomi.
Potensi lahan untuk kapas di Indonesia yang mencapai 300ribu Ha wajib dimaksimalkan produksinya. Fasilitas subsidi benih yakni Rp21ribu/kg atau benih gratis yang saat ini diberlakukan harus ditambah dengan alokasi dana lebih besar. Apabila APBN tidak memadai, swasta khususnya pengusaha TPT wajib menyokongnya. Soalnya keberhasilan program ini akan menjadi modal utama kesinambungan usaha mereka.
Jaminan harga bagi petani bukan saja diberikan pemerintah, pelaku usaha pun harus menjaminnya. Saat ini, harga dasar kapas sebesar Rp2.500/kg serat berbiji. Dengan jaminan ini, tentunya petani bisa mempertahankan produksi dan menambah pendapatannya. Dengan tambahan pendapatan ini sudah barang tentu harga sandang ataupun pangan tidak akan menjadi masalah. Pengusahapun bisa mengoptimalkan pasar domestik sebagai basis pemasaran mereka.
Dengan demikian, peran pengusaha tekstil dan produksi tekstil (TPT) sebagai pemangku kepentingan utama sektor ini menjadi syarat utama. Pasalnya, pengembangan kapas lokal untuk keperluan domestik mutlak didukung menilik pengalaman krisi kedelai yang terjadi saat ini.
Selain itu, pencarian komoditas pengganti kapas juga tidak kalah penting. Indonesia sangat perlu mendapatkan komoditas tersebut dalam waktu dekat. Bila perlu, semua institusi penelitian dan pembiayaannya difokuskan untuk itu. Jika tidak, bukan mustahil krisis pangan akan diikuti krisis sandang dalam waktu tidak jauh.
Menurut data Deptan, saat ini ini perkebunan kapas masih dianggap tanaman sekunder. Sehingga, penggarapannya kurang serius yang menyebabkan rendahnya produktifitas kapas. Produksi kapas petani saat ini masih 0,6 ton/ha atau jauh dari produksi ideal sebesar 5 ton/ha. Tentunya hal ini sama dengan komoditas kedelai yang ditinggalkan petaninya karena tidak menguntungkan.
Selain kenaikan produksi, pemerintah dan masyarakatpun perlu mempersiapkan kebijakan ketika produksi mulai meningkat. Pemenuhan kebutuhan domestik merupakan prioritas utama. Soanya, bila kebutuhan domestik terpenuhi, artinya akan ada efek berrantai (multiflier effect) yang lebih menguntungkan semua pihak. Hal ini untuk mencegah apa yang terjadi dengan minyak sawit, batu bara, atau pun gas yang justru meremehkan kebutuhan domestik.
Larinya, komoditas-komoditas penting ke luar negeri secara langsung mengkeroposi kemampuan lokal. Akibatnya, industri dan masyarakat tidak bisa menikmati nilai tambah komoditas tersebut. Sehingga, kesejahteraan rakyat tidak terwujud. Bahkan kestabilan makro akan sangat terganggu bila kemiskinan terlalu merajalela. Disamping itu, kemiskinan yang besar berpotensi mengganggu kinerja semua usaha termasuk sawit, batubara, gas dan lainnya yang mengabaikan keperluan lokal.
Langkah ini bukan saja diberlakukan pada komoditas sandang. Komoditas lain seperti pangan maupun energi perlu diperlakukan sama. Pasar domestik baik untuk bahan baku maupun produk hilir harus menjadi basis. Basis inilah yang harus dijaga agar tetap hidup dan menjadi perisai dari krisis yang menjadi imbas persoalan global.
Bila ini terjadi, krisis pangan saat ini bisa disebut karunia tersembunyi. Krisis ini merupakan pesan penggugah dari kealpaan bangsa seperti halnya bencana-bencana yang belakangan sering terjadi. Tampaknya Tuhan masih menyayangi bangsa ini. Namun, jika krisis tidak bisa menghasilkan hikmah, maka krisis ini merupakan salah satu kesialan yang menimpa sebuah bangsa yang sial. (*)

Sabtu, Februari 09, 2008

Peternak 0 - 1 Tempe

JUDUL tulisan ini bukan laporan pertandingan sepak bola kulaifikasi piala dunia ataupun persahabatan. Akan tetapi, sebuah gambaran kebijakan stabilisasi pangan nasional yang diumumkan Presiden awal bulan ini.
Dalam kebijakan tersebut, pemerintah memperlihatkan keberpihakannya pada kelompok masyarakat yang terkena dampak kenaikan harga komoditas pangan dunia. Keberpihakan ini dibuktikan dengan dikucurkannya berbagai insentif baik fiskal maupun subsidi. Tujuannya tentu saja menyediakan pangan murah bagi rakyat sekaligus mempertahankan kinerja industri yang terkait.
Melalui berbagai kebijakan tersebut, tidak sedikit dana maupun potensi pendapatan negara yang dikorbankan. Departemen Keuangan memprediksi total anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp13,7 triliun. Angka ini belum termasuk tambahan anggaran peningkatan produksi pangan nasional sebesar Rp1 triliun bagi komoditas beras, jagung, dan kedelai.
Melalui kebijakan ini, pengusaha-pengusaha besar baik perkebunan, importir, dan industri pangan memperoleh insentif fiskal. Insentif tersebut berupa penurunan bea masuk (BM), penanggungan pajak pertambahan nilai (PPN), dan penurunan pajak penghasilan (PPh). Menurut hitungan, alokasi untuk insentif ini memperoleh porsi terbesar yakni Rp10 triliun. Dengan insentif ini diharapkan para pengusaha mau bermurah hati mengurangi keuntungannya dengan menurunkan harga jual produknya.
Sedangkan, untuk subsidi bagi industri kecil dan konsumen, pemerintah mengalokasikan dana Rp3,7 triliun. Anggaran ini dibagi untuk kegiatan penambahan jatah raskin dari 10kg menjadi 15kg per bulan per rumah tangga miskin sebesar Rp2,7 triliun. Sisanya, dibagi untuk subsidi minyak goreng bagi keluarga miskin (migorkin) dan subsidi kedelai bagi pabrik tempe masing-masing Rp500 miliar.
Alokasi subsidi migorkin merupakan program lanjutan yang tahun lalu hanya dialokasikan anggaran sebesar Rp25 miliar. Sedangkan, subsidi kedelai merupakan program baru sebagai respon untuk protes yang dilancarkan asosiasi industri tempe tahu yang sempat menyambangi kantor Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu sebelumnya. Kendati begitu, pelaksanaan program ini masih belum berjalan karena minimnya anggaran dan belum jelasnya mekanisme penyaluran subsidi. Hasilnya, harga tempe dan tahu sampai kini masih tinggi. Meskipun ada beberapa jenis tempe yang harganya tetap tapi ukuran dan kualitasnya jauh berkurang.
Kendati begitu, bisa dikatakan upaya para pengerajin tempe melakukan protes sudah ada hasilnya. Suara kelompok industri kecil ini dalam waktu yang singkat langsung direspon pemerintah. Mungkin khawatir rakyatnya akan merana karena kehilangan tempe pada menu makan harian. Pasalnya, tempe dan tahu merupakan menu pavorit masyarakat Indonesia khususnya di Jawa. Meski bukan rahasia lagi, dewasa ini tempe merupakan produk makanan berbahan baku kedelai impor.
***
Kisah berbeda terjadi pada kelompok peternak unggas. Kelompok yang justru menjadikan Indonesia swasembada daging dan telur unggas ini sedang diambang kehancuran. Penyebabnya hampir sama, kenaikan harga jagung, minyak sawit mentah, dan kedelai membuat harga pakan melambung tinggi. Padahal, pakan merupakan komponen biaya produksi terbesar dengan porsi mencapai 80%.
Para peternak, saat ini sedang berada di ujung tanduk karena melambungnya biaya produksi tidak bisa diimbangi kenaikan harga daging maupun telur. Persoalannya klasik, daya beli masyarakat tidak bisa lagi menoleransi kenaikan harga. Soalnya mereka sudah cukup sulit dengan kenaikan harga beras, tempe, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Tentunya, pilihan hanya tinggal menjual murah atau tidak sama sekali.
Pilihan tersebut dipersulit menjadi buah simalakama. Jika dijual murah sudah tentu peternak akan merugi, tapi jika tidak mereka harusmenambah biaya karena tentunya ayam ataupun itik tidak bisa bertahan hidup jika tidak diberi makan. Kesimpulannya, mempertahankan ternak hanya berarti tambahan pakan atau tambahan biaya. Maju kena, mundur kena, bila ini berlanjut bisa dipastikan mereka akan segera menggulung tikarnya.
Pertanyaanpun mengemuka, mengapa pemerintah membedakan perlakuan pada kelompok peternak dan industri tempe. Padahal, produk yang dihasilkan sama yakni sumber protein atau pangan bagi rakyat. Apakah perbedaan ini disebabkan adanya aksi masa di depan Istana? Jika ini benar, masyarakat harus bisa demonstrasi agar nasibnya diperhatikan.
Dirjen Peternakan Departemen Pertanian Tjeppy D Soedjana mengakui pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi ini. Pihaknya haya menghimbau agar industri pakan sudi mencarikan solusi agar harga pakan terjangkau. Sedangkan, jika ditanya solusi kongkrit jangka pendek, ia hanya bisa memberikan senyuman.
Sedangkan, Menteri Pertanian Anton Apriyantono pun hanya bisa mengangkat bahu. Tidak adanya bantuan baik subsidi ataupun lainnya bagi peternak sepertinya bukan masalah. Nampaknya kelompok peternak harus bisa menyhelesaikan persoalannya sendiri. Bahkan, ketika didesak kenapa tidak ada perlakuan sama seperti pada industri tempe? "Siapa yang minta? Tidak ada yang minta," ujarnya.
Sebuah ironi memang. Di satu sisi Pemerintah menargetkan swasembada daging sapi sebagai sumber protein hewani. Untuk upaya ini berbagai kebijakan dan anggaran digelontorkan. Namun, sumber protein hewani yang justru saat ini sudah swasembada seperti dilepaskan begitu saja. Padahal, industri ternak unggas tengah mendapat tekanan dari berbagai sisi.
Selain persoalan pakan, sebenarnya peternak unggas masih bergelut dengan permasalahan penyakit. Wabah flu burung yang selalu menyerang dimusim hujan sediit banyak juga turut berkontribusi dalam menekan harga produk unggas. Bahkan, asosiasi peternak mengumumkan adanya aksi jual rugi oleh peternak ketika wabah ini santer dibahas di berbagai forum bahkan forum internasional.
Belakangan ini, peternak sempat mengalami pembalikan harga ketika harga telur dan daging ayam membaik menjelang rentetan hari besar keagamaan ahir tahun lalu. Namun, tidak lama kemudian mereka juga dihimpit naiknya harga pakan. Sehingga, berlipatlah beban yang harus mereka carikan solusinya sendiri. Soalnya, harapan akan adanya solusi dari pemerintah seperti ibarat punuk merindukan bulan.
Jika dibandingkan dengan kondisi pengerajin tempe. peternak Indonesia harus mengakui skor saat ini 0-1 untuk kekalahan mereka. Soalnya, peternak gagal menarik perhatian pemerintah. Meski sebenarnya, tugas pemerintahlah yang harus memperhatikan mereka. (Toh)