Jumat, Desember 12, 2008

Mencari Pengganti

"Andai aku mati, apakah kau akan mencari penggantiku?"
 
Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba menggelegak di kepala. Kenapa pertanyaan ini tiba-tiba seperti gunung api yang sudah jatuh tempo untuk meletus. Apakah ini menandakan kerendahdirian, perasaan takut, atau hanya pikiran iseng daripada memikirkan hal yang jorok.
 
"Kamu pasti nyari pengganti kan?"
 
Bibir munggil yang berkerut karena tergigit geligi yang putih tertata rapih menyuarakan pertanyaan dengan nada cemas. Kata-kata itu mengiringi bunyi tuts pada keyboard di laptop yang berdesakan mengisi meja kecil di cafe dengan fasilitas wide fidelity gratis yang menjadi salah satu menu favorite tempat bertema Paris tersebut. Sebatang rokok putih terantuk-antuk karena abunya sudah sangat panjang terbengkalai di atas asbak.
Di belahan lain meja kecil, secangkir kopi panas, mungkin sudah tidak layak disebut begitu karena udara AC sudah lama mendinginkannya, menyisakan segaris merah jejak lipstik di salah satu sisinya. Sementara itu, sesekali bunyi getaran menyela dari handphone mengabarkan adanya panggilan atau sekedar sms.
Namun, perempuan itu seolah melupakan semuanya. Bahkan, croissant yang sudah dipotong itupun terbengkalai tidak sempat dirasakan. Mata coklatnya terfokus pada layar laptop dan tuts keyboard yang menjadi pijakan jemari yang kuku-kukunya jelas memperlihatkan bekas gigitan. Di sisi lain, beberapa helai tissue dan menyeruak dari tas kecil yang terjepit pembungkus laptop, terdesak, hampir jatuh diujung meja.
 
"Aku cuma ingin tahu saja"
 
Perempuan itu kembali menginterogasi laptopnya. Sementara, matanya mulai berkaca-kaca dengan raut wajah khawatir. Sesekali dia melirik meja sebelahnya. Sekedar meyakinkan dirinya bahwa tak seorangpun memperhatikan kata-katanya tadi.
Meski dia berusaha memelankan suaranya, namun suara sopranonya terdengar melengking memperdengarkan nada takut. Tampak jelas dia berusaha menekan suara tersebut. Akan tetapi suara yang bersumber dari pojok otak tempat berkumpulnya elemen paranoid itu seperti kuda liar yang sukar dijinakan.
Sementara itu, di sebelah meja perempuan itu terlihat sepasang muda-mudi tengah asik berdiskusi mengenai situs yang dia lihat di laptopnya. Sementara di sisi lainnya, seorang perempuan setengah baya tampak sibuk merapikan rambutnya sambil berbicara melalui handphone-nya. Selain keempat orang itu, beberapa gadis sibuk dengan catatannya di balik counter cafe yang memang siang itu tidak terlalu ramai.
Setelah meyakinkan diri bahwa tidak satu orangpun peduli, perempuan itu kembali memusatkan pandangnya ke layar laptop. Tidak sabar menunggu jawaban, dia kembali menyalakan sebatang rokok. Tidak sampai dua isapan, dia menaruhnya di atas asbak dan kembali menyusun jarinya di tuts keyboard.
 
"Kan bisa saja sesuatu terjadi padaku".
 
Mengeja kata demi kata, perempuan itu mengakhiri gerakan jarinya dengan hentakan sedikit keras di tuts bertanda panah bengkok dan tulisan 'enter'. Menunggu lagi. Stilettonya diketuk-ketukan pada kaki meja. Ketukan yang sama sekali tidak sesuai dengan alunan suara Diana Krall yang sayup melantunkan 'The Look Of Love'.
Tak kunjung tiba jawaban yang diharapkan, perempuan itupun kembali menyelipkan sebatang rokok di jarinya. Dia rebahkan punggungnya di sandaran sofa kecil. Matanya menerawang tanpa tanda-tanda akan menyalakan rokok yang terselip di jemari berhiaskan sebilah cincin palatinum dengan mata berlian.

***
 
Setahun sudah kantor mengalami sepi order. Mungkin krisis keuangan yang konon sebagai karya besar Tuan Greenspan ini sudah menyentuh bisnis di Indonesia. Beberapa klien asing sudah enggan mengadakan kegiatan yang memanfaatkan jasa konsultan atau event organizer seperti kantorku.
Namun berbeda dengan mejaku yang selalu sepi kegiatan, meja Murni yang terletak tidak jauh di sisi kiri mejaku selalu sibuk. Setiap hari penghuninya selalu keluar, hanya beberapa berkas menumpuk di meja tersebut. Kadang di pagi hari masih terlihat beberapa bekas bungkus makanan China masih berserakan sebelum OB kantor membersihkannya.
Berawal dari pengalihan tugas awal tahun lalu, Murni yang saat itu merupakan asistenku mulai naik daun. Berkat rekomendasiku, Si Bos memberikan penugasan pertama untuk merancang sebuah acara sebuah perusahaan domestik menengah. Bagiku, sudah saatnya dia mulai memegang tanggung jawab mengingat gadis itu cukup cekatan.
Harus kuakui, kehadirannya sebagai asisten membuat semua pekerjaanku terasa ringan. Pembawaannya yang luwes membuat negosiasi yang kurancang selalu berhasil. Bukan hanya itu, perintahku untuk mencari data, membuat dokumen, atau sekedar mencari informasi selalu diselesaikan dengan sukses.
Akan tetapi, setelah penugasan pertamanya yang berjalan gemilang, berkat semua ide-ideku tentunya, Si Bos mulai memercayakan beberapa proyek klienku padanya. Tentu hal ini sangat meringankan bebanku. Akan tetapi, dari waktu ke waktu, posisiku semakin terpinggirkan. Bahkan ketika aku tanyakan pada Si Bos, dia hanya tersenyum mengejek.
 
"Tenanglah Sayang, belum ada proyek yang cukup besar untuk kau tangani." Begitulah jawabannya tidak lupa menyelipkan panggilan sayang yang sangat kubenci.
 
Hari berganti, minggu berlalu, bulan berjalan tak satupun proyek klien didisposisikan ke mejaku. Sehingga, setiap hari kerjaku hanya membuang waktu menjawab telepon beberapa klien yang menanyakan kondisiku. Dalam basa-basi mereka, beberapa menanyakan mengapa aku tidak mau lagi menangani acara mereka.
 
"Biar ada regenarasi lah Mas," jawabku ringan.
 
Tidak adanya pekerjaan sebenarnya bisa memberiku banyak waktu menyelesaikan disertasi S2 yang sudah lama terbengkalai. Mungkin aku juga bisa memperbaiki hubungan dengan 'calon suami'-ku yang sudah dua tahun seperti mengering dalam long distance relationship yang kami jalani selama tujuh tahun lebih.
Namun, semua itu tidak bisa mengkompensasi perasaan 'aneh' yang muncul tiap kali masuk ke kantor. Perasaan tergantikan yang tak terkira ini tidak bisa ditutupi dengan kesibukan menyelesaikan disertasi atau dengan percakapan singkat melalui video call dengan calon suamiku. Pada dasarnya aku ini seorang penggila kerja atau beken disebut workoholic.
 
"Sepagi ini kamu sudah ngantor. Kamu memang hebat Sayang," suara si Bos mengejutkan lamunanku.
 
"Iya pak, ada sesuatu yang harus saya bicarakan dengan bapak."
 
Kata-kata itu keluar dengan santainya dari mulutku. Padahal semalaman aku merancang kalimat yang lebih elegan untuk diucapkan pada Si Bos pagi ini. Apa daya yang keluar hanya kalimat itu. Ok, langkah pembukaan sudah dilancarkan. Aku harus menjalankan semua rencanaku sampai akhir. Sekarang bukan saatnya untuk mulai melakukan sesuatu tak terselesaikan.
 
"Ada apa sih? Ya udah, kamu masuk saja ke ruanganku. Di sana kita bisa bicara lebih enak," ujar Si Bos sambil ngeloyor ke ruangannya, seolah tahu apa yang akan kubicarakan.
 
Baiklah, semua redaksinya sudah kususun. Alasan melanjutkan studi ke luar negeri cukup kuat. Jika kurang, aku tambahkan alasan memperbaiki hubungan dengan Calon Suami yang hingga kini masih berdinas di London. OK London, here I come.

***
 
"Jangan-jangan kamu sudah menemukan penggantiku,"
 
Perempuan itu kembali menggerakan jemarinya di atas tuts keyboard. Kali ini dia teringat mencicipi croissant yang disusul ekspresso yang sudah terasa sedikit aneh karena terlalu dingin. Karena perhatiannya terbagi, setetes ekspresso jatuh tepat di Blazer legam yang terkulai di pangkuannya. Menutupi bagian kaki yang tidak tertutup rok mini yang juga legam berkerut karena posisi duduknya yang menjorok ke depan layar laptop.
Meski suasana dingin, perempuan itu terlihat tidak peduli meski hanya mengenakan tanktop tipis berwarna putih. Rambut dengan polesan merah tergerai kusut menutupi leher jenjang, putih tampak jarang terkena sinar mentari.
Binar kegelisahan memancar dari gelak bola matanya. Sesekali mengibaskan rambut yang tertiup menghalangi pandangan. Kembali dia menarikan jarinya di atas tuts keyboard menghamburkan semua pertanyaan yang mengendap di sanubari.
 
"Aku hanya ingin tahu jawaban kamu kok. Bukan menghakimi."
 
Beberapa menit terdiam. Perempuan itu seolah lupa bernafas, dia memgang dada menanti kata-kata melompat dari laptop. Tiba-tiba sekelebat balon suara terpampang di layar disertai bunyi klik mengabarkan kondisi batere yang sudah sekarat. Balon suara itu hany muncul beberapa detik diikuti layar laptop yang mendadak gelap.
 
"...!"
 
Terdiam, perempuan itu hanya mengangkat tangan menutup mulutnya. Dipandangnya handphone yang kembali bergetar. Namun, tidak terlihat gerakan untuk merespondnya. Sampai handphone berhenti bergetar. Hanya denting lonceng dari pintu cafe terdengar mengabarkan kehadiran beberapa orang pengunjung.
Sementara di luar hujan lebat kembali turun. Namun, jalan-jalan di Jakarta tidak takut akan hujan. Ribuan mobil mengendap di sela hunjaman jutaan tetas air, saling memaki saling mendorong. Sedangkan pengendara motor menyerah berdesakan di bawah fly over. Ibukota ini tidak akan kegabisan batere, semua berjalan tanpa ada habisnya. (*)
 
Nusa Dua, 091208

Selasa, November 04, 2008

Sendirian Euy!

Pada dasarnya semua sendiri. Meski berdua atau bertiga, bahkan lebih, itukan hanya kumpulan orang-orang sendiri. Bull-shit dah kalo kumpulan orang bisa jadi satu sendiri. Paling ada sendiri yang mendominasi atau sendiri terdominasi. Sementara yang lain sendiri yang menyoraki atau asli sendirian. Migren euy Cui!!

Senin, September 15, 2008

Rumah Tuhan

Ayo ke Masjid
Udaranya sejuk, enak buat rebahan sambil bolos kerja
Ayolah ke Masjid
Tidak kalah dengan pasar Inpres lho
ada tukang parfum, kitab, tasbih, obat kumis sampai tukang urut
Singgahlah di Masjid
Kamu bisa meminta-minta atau menyemir sepatu
Mari ke Masjid
Lumayan juga buat buang air kalau kebelet di jalan
Jangan lupa ke Masjid
Kalau sandal atau sepatu sudah butut, bolehlah ditukar
Apalagi kalau sedang Lebaran atau Jum'atan
Eh iya, di Masjid juga ada stop kontaknya lho
Bisa buat nge-charge hape kalau lowbat
Syukur-syukur ketemu jodoh di sana
Tak perlu sungkan ke Masjid
Kalau bulan puasa suka ada tajil gratis
Eh iya, Masjid itu penting banget lho
Kalau mau nikah kan, akadnya mesti di sana
Jadi.. Marilah Semua ke Masjid
...
Lalu Tuhan di mana??
 
Sudut Barat Jakarta, 150908

Jumat, Mei 09, 2008

Ayolah Nak..

Ayolah Nak, ayolah keluar
Memang di negara ini masih banyak bencana
Kemiskinannya begitu kronis
Ada suami bunuh istrinya
Ada ibu bantai anak-anaknya
Memilukan..
Mungkin cuma sedikit hiburan yang kita punya
Melihat surya bolak-balik tak henti
Purnama hanya sesaat hadir untuk kembali pekat
Nak, memang panas udara di sini, tapi nanti kita bisa pergi ke pegunungan
Bila hujan, kita bisa berlindung di rimbunnya pepohonan
Apakah kau tidak tertarik mendengar deru samudra
Hembusan angin yang membawa kedamaian
Aku kasih tahu kau Nak, tapi jangan kau bilang ibumu
Ibumu memang tidak pintar memasak
Tapi setiap hidangannya selalu disertai senyuman
Jadi, ayolah Nak, ayolah keluar untuk merekah di kehidupan
 
Lintas Jakarta Cirebon, 090508

Rabu, Maret 26, 2008

Impor beras C'est Passée!

KRISIS pangan dunia sudah mulai santer disuarakan berbagai pihak. Peringatan terbaru datang dari lembaga riset beras dunia (International Rice Research Institute/IRRI). Menurut lembaga tersebut, dunia dihadapkan pada krisis pangan akibat minimnya suplay pangan khususnya beras dibanding kebutuhan.
Kondisi ini ditandai dengan melonjaknya harga beras dunia menjadi US$700 per ton. Harga ini mengalami kenaikan sebesar 50% dibanding harga di akhir Januari lalu. Ditenggarai penyebab lonjakan akibat besarnya permintaan yang tidak bisa diimbangi suplay. Pasalnya, dua eksportir besar beras dunia yakni Thailand dan Vietnam dikabarkan mengalami gangguan produksi akibat serangan hama dan bencana banjir.
Dampak negatif kondisi ini, Filipina sebagai importir besar beras di Asia Tenggara terancam kerusuhan. Bukan rahasia lagi, krisis beras di negara-negara di Asia kerap berujung pada kerusuhan dan revolusi. Hal ini pernah dialami bangsa ini di era tahun 60 dan 90-an akhir. Untuk itu, pemerintah Arroyo nekad meneken kontrak pembelian beras seharga US$708/ton awal bulan ini.
Namun, menurut IRRI kondisi ini hanya indikasi awal dari krisis pangan yang membayangi dunia. Lembaga ini menyoroti bukan saja masalah perubahan iklim global dan serangan hama. Secara mengejutkan IRRI juga menyoroti konversi lahan padi menjadi non padi atau malah menjadi non pertanian. Bila konversi lahan tidak distop bukan tidak mungkin dunia akan mengalami pertumbuhan negatif produksi beras. Padahal, pertumbuhan konsumsi merupakan keniscayaan seiring pertumbuhan penduduk dunia.
Lebih jauh, IRRI memprediksi sedikitnya dibutuhkan peningkatan produksi sebesar 50% untuk memenuhi kebutuhan beras dunia di 2025. Artinya, bila saat ini produksi beras dunia hanya 520juta ton maka 2025 dibutuhkan sediknya 880juta ton produksi beras. Bila tidak, dunia akan mengalami lonjakan harga sebagai awal krisis pangan yang berujung pada kelaparan.
Berdasarkan data IRRI, saat ini terdapat 2,4miliar penduduk dunia sangat bergantung pada beras. Dengan kontribusi belanja rumah tangga sebesar 20%, kenaikan harga akan memicu inflasi besar-besaran. Apalagi jika menyoroti porsi belanja rumah tangga miskin yang 70% pendapatanya dialokasikan untuk beras. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki karakter tersebut.
Dengan kondisi tersebut, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan ketahan pangannya kepada impor beras. Soalnya, sekarang hanya Thailand yang masih melakukan ekspor beras dalam jumlah besar. Vietnam, meski tetap mengizinkan ekspor, pemerintahnya menerapkan kebijakan pajak ekspor bagi komoditas beras. Sedangkan, China, India, dan negara produsen lainnya telah lama membatasi bahkan menutup keran ekspor beras.
Tahun ini, Vietnam dan Thailand sebagai suplayer tradisional beras Indonesia dikabarkan terserang wabah yang mengganggu persawahannya. Disamping itu, seiring kemajuan industri, sejak 2001 Vietnam kehilangan 700ribu Ha lahan sawah karena konversi menjadi pabrik dan perumahan. Akibatnya, Vietnam merevisi target ekspor berasnya dari lima juta ton menjadi hanya 4,5juta ton. Sedangkan, Thailand masih mematok angka 9,5juta ton dengan catatan tidak terjadi gangguan produksi. Padahal, pasar beras dunia masih membutuhkan pasokan sebesar lebih dari 28juta ton per tahunnya.
Sementara itu, Indonesia tahun ini diprediksi akan mengalami swasembada beras. Asumsi ini datang dari angka ramalan Badan Pusat Statistik (BPS) I 2008 yang menyatakan produksi padi nasional akan mencapai 58,27juta ton gabah kering giling. Dengan randemen 56% maka produksi beras nasional tahun ini bisa mencapai 32,63juta ton. Sedangkan, kebutuhan beras nasional per kapita sebesar 139kg. Artinya, kebutuhan per tahun hanya berada di kisaran 31,45juta ton.
Hal ini dipertegas oleh pernyataan Menteri Pertanian Anton Apriyantono. Menurutnya, di negeri ini setiap bulan selalu ada panen beras di berbagai daerah. Meski begitu memang terdapat beberapa bulan tertentu ketika produksi lebih rendah ketimbang kebutuhan. Untuk itulah, di masa panen raya Bulog dijagokan untuk bisa menyerap beras sebagai stok untuk cadangan pengisi ketika paceklik datang.
Selain pengamanan oleh Bulog, Anton mengingatkan dengan tingginya harga di luar negeri perlu ada pengawasan khususnya terkait ekspor. Baginya, langkah ini lebih baik dibanding menaikan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk menyamakan harga dengan harga dunia. Pasalnya, kenaikan HPP akan sangat memberatkan masyarakat yang saat ini sudah didera kenaikan harga berbagai barang kebutuhan.
Pernyataan serupa disuarakan berbagai pejabat pemerintah lainnya. Tidak kurang Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyatakan stabilisasi harga dan pasokan beras sebagai prioritas utama pemerintah. Bahkan, dalam rapat koordinasi di kantor Bank Indonesia, pembahasan soal ini menjadi topik utama. Baik pemerintah maupun BI sepakat, beras merupakan kunci menjaga inflasi.
Persoalan mendesak yang harus segera diputuskan solusinya terkait beras ialah kemungkinan pelarian keluar negeri. Dengan tingginya harga dunia (khususnya di Filipina), surplus besar beras di masa panen raya sekarang terancam diboyong eksportir ke luar negeri. Pasalnya, tidak ada aturan yang membatasi kegiatan ekspor.
Baik Anton, Boediono, maupun Mari sepakat bahwa pemerintah akan mulai memperketat pintu keluar bagi beras. Apalagi, saat ini petani Indonesia tengah memasuki masa panen raya. Di masa ini biasanya diproduksi 60% dari total produksi padi nasional. Jika menilik aram I (58,27juta ton), dalam tiga bulan kedepan akan ada produksi beras hampir 20juta ton. Padahal, kebutuhan beras selama tiga bulan hanya 7,5juta ton. Sehingga, terdapat surplus lebih dari 12juta ton yang berpotensi diekspor. Apalagi, di masa panen raya petani kerap dihadapkan pada jatuhnya harga padi.
Pemerintah masih menggodok opsi pengetatan pintu keluar beras. Opsi ini bisa berbentuk larangan, kuota, atau pengenaan tarif tinggi. Dengan langkah ini diharapkan stok beras nasional akan tetap aman khususnya di masa paceklik ke depan. Selain kebijakan pengaturan, pemerintah juga menyatakan akan mengetatkan pengawasan di semua pintu. Sedangkan, untuk pengamanan di dalam, Bulog tetap menjadi senjata utama dalam meningkatkan stok sekaligus mengamankan harga di tingkat petani.
Sedangkan, untuk kebijakan jangka panjang, pemerintah masih mempertahankan target peningkatan produksi beras nasional sebesar 5%. Meski target ini terlihat sedikit muluk melihat parahnya kerusakan infrastruktur pengairan di berbagai daerah. Khususnya di sepanjang aliran Bengawan Solo, kerusakan bukan saja merusak sawah tapi juga pemukiman penduduk.
Selain persoalan infrastruktur, Departemen Pertanian juga dihadapkan pada ancaman gangguan kesinambungan pasokan pupuk akibat minimnya anggaran subsidi. Diperkirakan tahun ini subsidi masih kurang Rp2,7 triliun akibat lonjakan harga pupuk dan gas dunia. Begitu juga dengan melambungnya harga jagung sementara HPP gabah dan beras dipertahankan, konversi sawah masih akan berpotensi besar.
Menilik perkembangan dunia saat ini, Indonesia mau tidak mau harus segera memperbaiki kinerja sektor pertanian. Jika perlu, revitalisasi pertanian kembali direkonstruksi bukan hanya sebatas wacana. Pasalnya, impor beras bukan lagi menjadi solusi murah. Peningkatan produksi dan kesejahteraan petani padilah solusi utama yang bisa mengamankan ketahanan pangan nasional. Impor beras C'est Passée! (Toh)

Senin, Februari 11, 2008

Krisis Pangan Lalu Sandang?

KRISIS pangan yang terjadi saat ini nampaknya berhasil menggugah kesadaran negeri akan pentingnya ketahanan pangan. Namun, apakah sebenarnya latar dari krisis ini?
Hampir setiap hari media massa menorehkan berita terkait melambungnya harga pangan. Pembicaraan ini tidak saja mendominasi ranah ekonomi, sosial, politik, ataupun budaya. Bahkan, pembahasan telah memasuki berbagai media yang sedianya hanya membahas gaya hidup atau bahkan gosip. Tak kalah meriah obrolan tersebut dibanding obrolan sama di dapau-dapur, pasar ataupun warung nasi. Hal ini menandakan, kondisi ini dirasakan hampir semua lapisan masyarakat.
Rakyat mempertanyakan upaya pemerintah dalam mengatasi krisis ini. Kegagalan pembangunan ekonomi khususnya pertanian dituduh sebagai borok penyebab kekisruhan ini. Sayangya, tamparan krisis ini tidak menggugah kesadaran tentang latar belakang persoalan secara mendasar dan krisis lebih besar yang potensial terjadi.
Tuntutan utama yang timbul dari meroketnya harga pangan hanya penurunan kembali harga. Tuntutan ini hanyalah solusi singkat yang semu dari persoalan yang sangat kompleks. Padahal, inti permasalahan negara ini bukan pada harga tapi pendapatan warganya. Kebijakan komoditas yang tidak pro lokal menjadi salah satu penyebabnya.
***
Naiknya, harga berbagai komoditas pangan tidak terlepas dari trend bio energi dunia. Beberapa negara utama produsen pangan dunia mulai mengalihkan penggunaan komoditas pangannya untuk energi. Selain itu, rusaknya alam yang berujung pada perubahan iklim juga mendorong terganggunya produksi pangan dunia.
Dampak nyata permasalahan ini mulai tampak ketika produsen utama di Amerika menhkonversi pangannya menjadi energi. Di sisi lain produsen utama lain seperti Australia mengalami bencana iklim yang menekan produksi pangan mereka. Akibatnya, Indonesia sebagai konsumen komoditas tersebut mulai didera lonjakan harga pangan.
Di awali krisis harga gula yang terjadi di awal 2007, masyarakat Indonesia kembali dipusingkan dengan kenaikan harga terigu. Bukan hanya kedua komoditas, harga daging dan susu yang didominasi pasokan impor juga mengalami lonjakan harga. Bahkan, kenaikan harga jagung dunia sempat mendongkrak harga telur dan daging ayam. Masyarakat pun menjerit.
Namun hal yang cukup melegakan, tahun lalu harga beras nasional sebagai komoditas utama tidak terlalu bergejolak. Hal ini disebabkan kebijakan beras yang (lagi-lagi) mengimpor beras dalam jumlah fantastis yakni 1,5 juta ton. Selain itu, petani berhasil meningkatkan produksi nasional dengan angka nhampir mencapai dua juta ton. Sehingga, tahun lalu beras tidak terlalu 'bergolak' untuk mendorong inflasi.
Fenomena ini terus berlanjut karena harga gandum dunia seakan enggan untuk turun kembali. Sedangkan, kebijakan petani AS yang mengkonversi tanaman kedelai menjadi jagung berdampak pada kenaikan harga. Walhasil, Indonesia sebagai konsumen utamanya memanen krisis harga kedelai. Berbeda dengan jagung, beras, kumoditas ternak, atau gula, kedelai lokal tidak sanggup menenangkan gejolak. Soalnya, alih-alih meningkat produksi komoditas ini justru anjlok. Alasannya, petani lebih memilih menanam padi atau jagung yang lebih menguntungkan dibandingkan kedelai. Tak pelak lagi, pengerajin tahu tempe di negeri ini mulai terkapar, KO dihantam lonjakan harga bahan baku.
Krisis harga pangan tersebut sebenarnya sudah diprediksi berbagai kalangan di dunia. Akan tetapi, persoalan ini sepertinya kurang digarap pemerintah sebagai regulator. Kendati begitu, pola pikir dan konsumsi rakyat juga semakin memperparah kondisi saat ini. Kita terlena dengan kemudahan semu dari barang-barang impor. Bahkan, kita selalu merasa bangga dengan menggunakan produk-produk impor. Padahal, pemikiran tersebut hanya memicu jarum jam pada bom waktu krisis. Tinggal menunggu waktu kapan bom tersebut akan meledak.
***
Baiklah, kita tinjau kembali seberapa besar ketergantungan kita pada barang impor? Khususnya pada produk-produk yang bersifat pokok seperti pangan, sandang, dan energi. Saat ini Indonesia sudah memanen dampak ketergantungan tersebut di bidang pemenuhan kebutuhan pangan. Akan tetapi, apakah benar kondisi ini merupakan puncak krisis di negeri yang konon gemah ripah loh jinawi ini.
Namun harus diingat, selain pangan Indonesia juga mengalami ketergantungan kronis dalam pemenuhan sandang. Hampir 100% bahan baku sandang bangsa ini digantungkan pada produk impor baik serat, benang, ataupun kainnya. Bahkan, belakangan ketergantungan juga menjurus pada produk hilirnya. Padahal, semestinya bangsa yang mengeklaim sebagai negara agraris bisa memenuhinya. Soalnya, bahan baku sandang berupa kapas merupakan produk pertanian. Artinya, krisis pangan saat ini ibarat gelombang awal dari sebuah gelombang besar yang mungkin akan menimpa negeri ini.
Pemerintah melalui Deptan beberapa waktu lalu sudah mencanangkan peningkatan produksi kapas.Akan tetapi, jika menilik persiapannya akan sangat jauh bagi upaya pengurangan ketergantungan untuk mendapatkan hasil yang memadai. Untuk itu, upaya ini harus didukung berbagai pihak khususnya para pelaku usaha di sektor ini.
Saat ini, Indonesia menargetkan pemenuhan kebutuhan kapas nasional hingga 5% dari total kebutuhan sebesar 550ribu ton per tahun pada 2010. Program perluasan lahan kapas sebesar 60ribu ha hingga 2010 mutlak direalisasikan. Bila perlu langkah tersebut dimaksimalkan untuk mengantisipasi penurunan subsidi pertanian dari negara maju khususnya AS yang saat ini didera krisis ekonomi.
Potensi lahan untuk kapas di Indonesia yang mencapai 300ribu Ha wajib dimaksimalkan produksinya. Fasilitas subsidi benih yakni Rp21ribu/kg atau benih gratis yang saat ini diberlakukan harus ditambah dengan alokasi dana lebih besar. Apabila APBN tidak memadai, swasta khususnya pengusaha TPT wajib menyokongnya. Soalnya keberhasilan program ini akan menjadi modal utama kesinambungan usaha mereka.
Jaminan harga bagi petani bukan saja diberikan pemerintah, pelaku usaha pun harus menjaminnya. Saat ini, harga dasar kapas sebesar Rp2.500/kg serat berbiji. Dengan jaminan ini, tentunya petani bisa mempertahankan produksi dan menambah pendapatannya. Dengan tambahan pendapatan ini sudah barang tentu harga sandang ataupun pangan tidak akan menjadi masalah. Pengusahapun bisa mengoptimalkan pasar domestik sebagai basis pemasaran mereka.
Dengan demikian, peran pengusaha tekstil dan produksi tekstil (TPT) sebagai pemangku kepentingan utama sektor ini menjadi syarat utama. Pasalnya, pengembangan kapas lokal untuk keperluan domestik mutlak didukung menilik pengalaman krisi kedelai yang terjadi saat ini.
Selain itu, pencarian komoditas pengganti kapas juga tidak kalah penting. Indonesia sangat perlu mendapatkan komoditas tersebut dalam waktu dekat. Bila perlu, semua institusi penelitian dan pembiayaannya difokuskan untuk itu. Jika tidak, bukan mustahil krisis pangan akan diikuti krisis sandang dalam waktu tidak jauh.
Menurut data Deptan, saat ini ini perkebunan kapas masih dianggap tanaman sekunder. Sehingga, penggarapannya kurang serius yang menyebabkan rendahnya produktifitas kapas. Produksi kapas petani saat ini masih 0,6 ton/ha atau jauh dari produksi ideal sebesar 5 ton/ha. Tentunya hal ini sama dengan komoditas kedelai yang ditinggalkan petaninya karena tidak menguntungkan.
Selain kenaikan produksi, pemerintah dan masyarakatpun perlu mempersiapkan kebijakan ketika produksi mulai meningkat. Pemenuhan kebutuhan domestik merupakan prioritas utama. Soanya, bila kebutuhan domestik terpenuhi, artinya akan ada efek berrantai (multiflier effect) yang lebih menguntungkan semua pihak. Hal ini untuk mencegah apa yang terjadi dengan minyak sawit, batu bara, atau pun gas yang justru meremehkan kebutuhan domestik.
Larinya, komoditas-komoditas penting ke luar negeri secara langsung mengkeroposi kemampuan lokal. Akibatnya, industri dan masyarakat tidak bisa menikmati nilai tambah komoditas tersebut. Sehingga, kesejahteraan rakyat tidak terwujud. Bahkan kestabilan makro akan sangat terganggu bila kemiskinan terlalu merajalela. Disamping itu, kemiskinan yang besar berpotensi mengganggu kinerja semua usaha termasuk sawit, batubara, gas dan lainnya yang mengabaikan keperluan lokal.
Langkah ini bukan saja diberlakukan pada komoditas sandang. Komoditas lain seperti pangan maupun energi perlu diperlakukan sama. Pasar domestik baik untuk bahan baku maupun produk hilir harus menjadi basis. Basis inilah yang harus dijaga agar tetap hidup dan menjadi perisai dari krisis yang menjadi imbas persoalan global.
Bila ini terjadi, krisis pangan saat ini bisa disebut karunia tersembunyi. Krisis ini merupakan pesan penggugah dari kealpaan bangsa seperti halnya bencana-bencana yang belakangan sering terjadi. Tampaknya Tuhan masih menyayangi bangsa ini. Namun, jika krisis tidak bisa menghasilkan hikmah, maka krisis ini merupakan salah satu kesialan yang menimpa sebuah bangsa yang sial. (*)

Sabtu, Februari 09, 2008

Peternak 0 - 1 Tempe

JUDUL tulisan ini bukan laporan pertandingan sepak bola kulaifikasi piala dunia ataupun persahabatan. Akan tetapi, sebuah gambaran kebijakan stabilisasi pangan nasional yang diumumkan Presiden awal bulan ini.
Dalam kebijakan tersebut, pemerintah memperlihatkan keberpihakannya pada kelompok masyarakat yang terkena dampak kenaikan harga komoditas pangan dunia. Keberpihakan ini dibuktikan dengan dikucurkannya berbagai insentif baik fiskal maupun subsidi. Tujuannya tentu saja menyediakan pangan murah bagi rakyat sekaligus mempertahankan kinerja industri yang terkait.
Melalui berbagai kebijakan tersebut, tidak sedikit dana maupun potensi pendapatan negara yang dikorbankan. Departemen Keuangan memprediksi total anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp13,7 triliun. Angka ini belum termasuk tambahan anggaran peningkatan produksi pangan nasional sebesar Rp1 triliun bagi komoditas beras, jagung, dan kedelai.
Melalui kebijakan ini, pengusaha-pengusaha besar baik perkebunan, importir, dan industri pangan memperoleh insentif fiskal. Insentif tersebut berupa penurunan bea masuk (BM), penanggungan pajak pertambahan nilai (PPN), dan penurunan pajak penghasilan (PPh). Menurut hitungan, alokasi untuk insentif ini memperoleh porsi terbesar yakni Rp10 triliun. Dengan insentif ini diharapkan para pengusaha mau bermurah hati mengurangi keuntungannya dengan menurunkan harga jual produknya.
Sedangkan, untuk subsidi bagi industri kecil dan konsumen, pemerintah mengalokasikan dana Rp3,7 triliun. Anggaran ini dibagi untuk kegiatan penambahan jatah raskin dari 10kg menjadi 15kg per bulan per rumah tangga miskin sebesar Rp2,7 triliun. Sisanya, dibagi untuk subsidi minyak goreng bagi keluarga miskin (migorkin) dan subsidi kedelai bagi pabrik tempe masing-masing Rp500 miliar.
Alokasi subsidi migorkin merupakan program lanjutan yang tahun lalu hanya dialokasikan anggaran sebesar Rp25 miliar. Sedangkan, subsidi kedelai merupakan program baru sebagai respon untuk protes yang dilancarkan asosiasi industri tempe tahu yang sempat menyambangi kantor Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu sebelumnya. Kendati begitu, pelaksanaan program ini masih belum berjalan karena minimnya anggaran dan belum jelasnya mekanisme penyaluran subsidi. Hasilnya, harga tempe dan tahu sampai kini masih tinggi. Meskipun ada beberapa jenis tempe yang harganya tetap tapi ukuran dan kualitasnya jauh berkurang.
Kendati begitu, bisa dikatakan upaya para pengerajin tempe melakukan protes sudah ada hasilnya. Suara kelompok industri kecil ini dalam waktu yang singkat langsung direspon pemerintah. Mungkin khawatir rakyatnya akan merana karena kehilangan tempe pada menu makan harian. Pasalnya, tempe dan tahu merupakan menu pavorit masyarakat Indonesia khususnya di Jawa. Meski bukan rahasia lagi, dewasa ini tempe merupakan produk makanan berbahan baku kedelai impor.
***
Kisah berbeda terjadi pada kelompok peternak unggas. Kelompok yang justru menjadikan Indonesia swasembada daging dan telur unggas ini sedang diambang kehancuran. Penyebabnya hampir sama, kenaikan harga jagung, minyak sawit mentah, dan kedelai membuat harga pakan melambung tinggi. Padahal, pakan merupakan komponen biaya produksi terbesar dengan porsi mencapai 80%.
Para peternak, saat ini sedang berada di ujung tanduk karena melambungnya biaya produksi tidak bisa diimbangi kenaikan harga daging maupun telur. Persoalannya klasik, daya beli masyarakat tidak bisa lagi menoleransi kenaikan harga. Soalnya mereka sudah cukup sulit dengan kenaikan harga beras, tempe, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Tentunya, pilihan hanya tinggal menjual murah atau tidak sama sekali.
Pilihan tersebut dipersulit menjadi buah simalakama. Jika dijual murah sudah tentu peternak akan merugi, tapi jika tidak mereka harusmenambah biaya karena tentunya ayam ataupun itik tidak bisa bertahan hidup jika tidak diberi makan. Kesimpulannya, mempertahankan ternak hanya berarti tambahan pakan atau tambahan biaya. Maju kena, mundur kena, bila ini berlanjut bisa dipastikan mereka akan segera menggulung tikarnya.
Pertanyaanpun mengemuka, mengapa pemerintah membedakan perlakuan pada kelompok peternak dan industri tempe. Padahal, produk yang dihasilkan sama yakni sumber protein atau pangan bagi rakyat. Apakah perbedaan ini disebabkan adanya aksi masa di depan Istana? Jika ini benar, masyarakat harus bisa demonstrasi agar nasibnya diperhatikan.
Dirjen Peternakan Departemen Pertanian Tjeppy D Soedjana mengakui pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi ini. Pihaknya haya menghimbau agar industri pakan sudi mencarikan solusi agar harga pakan terjangkau. Sedangkan, jika ditanya solusi kongkrit jangka pendek, ia hanya bisa memberikan senyuman.
Sedangkan, Menteri Pertanian Anton Apriyantono pun hanya bisa mengangkat bahu. Tidak adanya bantuan baik subsidi ataupun lainnya bagi peternak sepertinya bukan masalah. Nampaknya kelompok peternak harus bisa menyhelesaikan persoalannya sendiri. Bahkan, ketika didesak kenapa tidak ada perlakuan sama seperti pada industri tempe? "Siapa yang minta? Tidak ada yang minta," ujarnya.
Sebuah ironi memang. Di satu sisi Pemerintah menargetkan swasembada daging sapi sebagai sumber protein hewani. Untuk upaya ini berbagai kebijakan dan anggaran digelontorkan. Namun, sumber protein hewani yang justru saat ini sudah swasembada seperti dilepaskan begitu saja. Padahal, industri ternak unggas tengah mendapat tekanan dari berbagai sisi.
Selain persoalan pakan, sebenarnya peternak unggas masih bergelut dengan permasalahan penyakit. Wabah flu burung yang selalu menyerang dimusim hujan sediit banyak juga turut berkontribusi dalam menekan harga produk unggas. Bahkan, asosiasi peternak mengumumkan adanya aksi jual rugi oleh peternak ketika wabah ini santer dibahas di berbagai forum bahkan forum internasional.
Belakangan ini, peternak sempat mengalami pembalikan harga ketika harga telur dan daging ayam membaik menjelang rentetan hari besar keagamaan ahir tahun lalu. Namun, tidak lama kemudian mereka juga dihimpit naiknya harga pakan. Sehingga, berlipatlah beban yang harus mereka carikan solusinya sendiri. Soalnya, harapan akan adanya solusi dari pemerintah seperti ibarat punuk merindukan bulan.
Jika dibandingkan dengan kondisi pengerajin tempe. peternak Indonesia harus mengakui skor saat ini 0-1 untuk kekalahan mereka. Soalnya, peternak gagal menarik perhatian pemerintah. Meski sebenarnya, tugas pemerintahlah yang harus memperhatikan mereka. (Toh)

Selasa, Januari 01, 2008

Bon Annee!!


Mencari kegilaan di akhir tahun kayaknya merupakan kewajiban bagi orang-orang di Ibukota ini. Tengok saja setiap malam tahun baru ratusan bahkan mungkin ribuan orang ke luar, ke jalanan, atau cuma buat hang out entah di mana. Masalahnya, tahun baru ini diawali dengan malam berhujan lebat. akan tetapi, busyet dah masih saja ribuan orang bergerombol di jalanan. Kembang api berletusan ingin menyaingi gelegar petir yang sesekali terlihat. Hujan malam itu sangat lebat. Hawa dingin mengisi setiap ruang di Jakarta (bayangkan Jakarta bisa dingin!). Saking dinginnya mau sepuluh botol tuh minuman keras ditenggak, tetap dingin apalagi mereka sedang kuyup disiram hujan. Lumayan tapi, kata orang untuk buang sial.
Sebenarnya untuk apa ya kegilaan menghadapi pergantian tahun?
Toh hanya untuk mengganti kalender. Wong sehari-hari kadang kita lupa ini hari apa atau bahkan ini tahun apa. Apalah artinya? Seorang sahabat yang menemani saat nongkrong di koridor loteng kost-an malam itu tiba-tiba bertanya. "Apa resolusi loe tahun ini?"
Hahaha.. meski setiap hari berotak mesum ternyata kalau tahun baru kesadaran kawan ini bisa lurus juga. Mungkin itulah, saat awal tahun orang tiba-tiba jadi sadar waktu. Selanjutnya, berjuta janji diumbar tapi tahun berjalan, janji tinggal janji. Ok lah, tahun ini apa yang harus dilakukan?
Ada satu resolusi yang selalu gagal diterapkan tiap tahun. Berbaik sangka kepada orang lain. Mungkin pengaruh pekerjaan atau mungkin bawaan orok, susah sekali untuk berbaik sangka apalagi pada seseorang yang baru dikenal. Lebih parah lagi kalau rupa orang tersebut mirip penjahat kartun haha.. Mungkin hal ini layak diangkat sebagai resolusi tahun ini.
Resolusi lain mungkin tidak jauh dari materi, aah semua pasti berpikir demikian. Cukup satu sajalah resolusinya. Salam untuk Gramedia, Gunung Agung, Kino, Aksara, QB, dan kawan-kawannya. Tahun ini mungkin akan sedikit sombong untuk berkunjung. Maklum, jika Tuhan mengizinkan, tahun ini akan ada seorang bayi mengetuk pintu.

Jakarta 010108