Kamis, September 23, 2010

Être Libre

Quand la presse est libre, cela peut être bon ou mauvais ; mais assurément, sans la liberté, la presse ne peut être que mauvaise. Pour la presse -comme pour l'Homme- la liberté n'offre qu'une chance d'être meilleur, la servitude n'est que la certitude de devenir pire.

---Alberth Camus---


• M E N J A D I A R T I •

Jumat, Juli 09, 2010

Apa Kabar??

Sudah lama tidak meninjau blog ini. Saking lamanya sampai lupa apa email yang dipakai, username ama password-nya. Untung saja kecanggihan teknologi masih bisa membantu. Sudah saatnya menulis lagi, mari kita giatkan lagi blogger lifestyle. Setelah sekian lama tergerus berbagai kesibukan dan mainan baru seperti twitter hahaha...

Tapi jangan hari ini lah.. ini masih dalam rangka coba-coba nginget cara nge-blog..

See you soon blog reader!!

Jumat, Desember 12, 2008

Mencari Pengganti

"Andai aku mati, apakah kau akan mencari penggantiku?"
 
Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba menggelegak di kepala. Kenapa pertanyaan ini tiba-tiba seperti gunung api yang sudah jatuh tempo untuk meletus. Apakah ini menandakan kerendahdirian, perasaan takut, atau hanya pikiran iseng daripada memikirkan hal yang jorok.
 
"Kamu pasti nyari pengganti kan?"
 
Bibir munggil yang berkerut karena tergigit geligi yang putih tertata rapih menyuarakan pertanyaan dengan nada cemas. Kata-kata itu mengiringi bunyi tuts pada keyboard di laptop yang berdesakan mengisi meja kecil di cafe dengan fasilitas wide fidelity gratis yang menjadi salah satu menu favorite tempat bertema Paris tersebut. Sebatang rokok putih terantuk-antuk karena abunya sudah sangat panjang terbengkalai di atas asbak.
Di belahan lain meja kecil, secangkir kopi panas, mungkin sudah tidak layak disebut begitu karena udara AC sudah lama mendinginkannya, menyisakan segaris merah jejak lipstik di salah satu sisinya. Sementara itu, sesekali bunyi getaran menyela dari handphone mengabarkan adanya panggilan atau sekedar sms.
Namun, perempuan itu seolah melupakan semuanya. Bahkan, croissant yang sudah dipotong itupun terbengkalai tidak sempat dirasakan. Mata coklatnya terfokus pada layar laptop dan tuts keyboard yang menjadi pijakan jemari yang kuku-kukunya jelas memperlihatkan bekas gigitan. Di sisi lain, beberapa helai tissue dan menyeruak dari tas kecil yang terjepit pembungkus laptop, terdesak, hampir jatuh diujung meja.
 
"Aku cuma ingin tahu saja"
 
Perempuan itu kembali menginterogasi laptopnya. Sementara, matanya mulai berkaca-kaca dengan raut wajah khawatir. Sesekali dia melirik meja sebelahnya. Sekedar meyakinkan dirinya bahwa tak seorangpun memperhatikan kata-katanya tadi.
Meski dia berusaha memelankan suaranya, namun suara sopranonya terdengar melengking memperdengarkan nada takut. Tampak jelas dia berusaha menekan suara tersebut. Akan tetapi suara yang bersumber dari pojok otak tempat berkumpulnya elemen paranoid itu seperti kuda liar yang sukar dijinakan.
Sementara itu, di sebelah meja perempuan itu terlihat sepasang muda-mudi tengah asik berdiskusi mengenai situs yang dia lihat di laptopnya. Sementara di sisi lainnya, seorang perempuan setengah baya tampak sibuk merapikan rambutnya sambil berbicara melalui handphone-nya. Selain keempat orang itu, beberapa gadis sibuk dengan catatannya di balik counter cafe yang memang siang itu tidak terlalu ramai.
Setelah meyakinkan diri bahwa tidak satu orangpun peduli, perempuan itu kembali memusatkan pandangnya ke layar laptop. Tidak sabar menunggu jawaban, dia kembali menyalakan sebatang rokok. Tidak sampai dua isapan, dia menaruhnya di atas asbak dan kembali menyusun jarinya di tuts keyboard.
 
"Kan bisa saja sesuatu terjadi padaku".
 
Mengeja kata demi kata, perempuan itu mengakhiri gerakan jarinya dengan hentakan sedikit keras di tuts bertanda panah bengkok dan tulisan 'enter'. Menunggu lagi. Stilettonya diketuk-ketukan pada kaki meja. Ketukan yang sama sekali tidak sesuai dengan alunan suara Diana Krall yang sayup melantunkan 'The Look Of Love'.
Tak kunjung tiba jawaban yang diharapkan, perempuan itupun kembali menyelipkan sebatang rokok di jarinya. Dia rebahkan punggungnya di sandaran sofa kecil. Matanya menerawang tanpa tanda-tanda akan menyalakan rokok yang terselip di jemari berhiaskan sebilah cincin palatinum dengan mata berlian.

***
 
Setahun sudah kantor mengalami sepi order. Mungkin krisis keuangan yang konon sebagai karya besar Tuan Greenspan ini sudah menyentuh bisnis di Indonesia. Beberapa klien asing sudah enggan mengadakan kegiatan yang memanfaatkan jasa konsultan atau event organizer seperti kantorku.
Namun berbeda dengan mejaku yang selalu sepi kegiatan, meja Murni yang terletak tidak jauh di sisi kiri mejaku selalu sibuk. Setiap hari penghuninya selalu keluar, hanya beberapa berkas menumpuk di meja tersebut. Kadang di pagi hari masih terlihat beberapa bekas bungkus makanan China masih berserakan sebelum OB kantor membersihkannya.
Berawal dari pengalihan tugas awal tahun lalu, Murni yang saat itu merupakan asistenku mulai naik daun. Berkat rekomendasiku, Si Bos memberikan penugasan pertama untuk merancang sebuah acara sebuah perusahaan domestik menengah. Bagiku, sudah saatnya dia mulai memegang tanggung jawab mengingat gadis itu cukup cekatan.
Harus kuakui, kehadirannya sebagai asisten membuat semua pekerjaanku terasa ringan. Pembawaannya yang luwes membuat negosiasi yang kurancang selalu berhasil. Bukan hanya itu, perintahku untuk mencari data, membuat dokumen, atau sekedar mencari informasi selalu diselesaikan dengan sukses.
Akan tetapi, setelah penugasan pertamanya yang berjalan gemilang, berkat semua ide-ideku tentunya, Si Bos mulai memercayakan beberapa proyek klienku padanya. Tentu hal ini sangat meringankan bebanku. Akan tetapi, dari waktu ke waktu, posisiku semakin terpinggirkan. Bahkan ketika aku tanyakan pada Si Bos, dia hanya tersenyum mengejek.
 
"Tenanglah Sayang, belum ada proyek yang cukup besar untuk kau tangani." Begitulah jawabannya tidak lupa menyelipkan panggilan sayang yang sangat kubenci.
 
Hari berganti, minggu berlalu, bulan berjalan tak satupun proyek klien didisposisikan ke mejaku. Sehingga, setiap hari kerjaku hanya membuang waktu menjawab telepon beberapa klien yang menanyakan kondisiku. Dalam basa-basi mereka, beberapa menanyakan mengapa aku tidak mau lagi menangani acara mereka.
 
"Biar ada regenarasi lah Mas," jawabku ringan.
 
Tidak adanya pekerjaan sebenarnya bisa memberiku banyak waktu menyelesaikan disertasi S2 yang sudah lama terbengkalai. Mungkin aku juga bisa memperbaiki hubungan dengan 'calon suami'-ku yang sudah dua tahun seperti mengering dalam long distance relationship yang kami jalani selama tujuh tahun lebih.
Namun, semua itu tidak bisa mengkompensasi perasaan 'aneh' yang muncul tiap kali masuk ke kantor. Perasaan tergantikan yang tak terkira ini tidak bisa ditutupi dengan kesibukan menyelesaikan disertasi atau dengan percakapan singkat melalui video call dengan calon suamiku. Pada dasarnya aku ini seorang penggila kerja atau beken disebut workoholic.
 
"Sepagi ini kamu sudah ngantor. Kamu memang hebat Sayang," suara si Bos mengejutkan lamunanku.
 
"Iya pak, ada sesuatu yang harus saya bicarakan dengan bapak."
 
Kata-kata itu keluar dengan santainya dari mulutku. Padahal semalaman aku merancang kalimat yang lebih elegan untuk diucapkan pada Si Bos pagi ini. Apa daya yang keluar hanya kalimat itu. Ok, langkah pembukaan sudah dilancarkan. Aku harus menjalankan semua rencanaku sampai akhir. Sekarang bukan saatnya untuk mulai melakukan sesuatu tak terselesaikan.
 
"Ada apa sih? Ya udah, kamu masuk saja ke ruanganku. Di sana kita bisa bicara lebih enak," ujar Si Bos sambil ngeloyor ke ruangannya, seolah tahu apa yang akan kubicarakan.
 
Baiklah, semua redaksinya sudah kususun. Alasan melanjutkan studi ke luar negeri cukup kuat. Jika kurang, aku tambahkan alasan memperbaiki hubungan dengan Calon Suami yang hingga kini masih berdinas di London. OK London, here I come.

***
 
"Jangan-jangan kamu sudah menemukan penggantiku,"
 
Perempuan itu kembali menggerakan jemarinya di atas tuts keyboard. Kali ini dia teringat mencicipi croissant yang disusul ekspresso yang sudah terasa sedikit aneh karena terlalu dingin. Karena perhatiannya terbagi, setetes ekspresso jatuh tepat di Blazer legam yang terkulai di pangkuannya. Menutupi bagian kaki yang tidak tertutup rok mini yang juga legam berkerut karena posisi duduknya yang menjorok ke depan layar laptop.
Meski suasana dingin, perempuan itu terlihat tidak peduli meski hanya mengenakan tanktop tipis berwarna putih. Rambut dengan polesan merah tergerai kusut menutupi leher jenjang, putih tampak jarang terkena sinar mentari.
Binar kegelisahan memancar dari gelak bola matanya. Sesekali mengibaskan rambut yang tertiup menghalangi pandangan. Kembali dia menarikan jarinya di atas tuts keyboard menghamburkan semua pertanyaan yang mengendap di sanubari.
 
"Aku hanya ingin tahu jawaban kamu kok. Bukan menghakimi."
 
Beberapa menit terdiam. Perempuan itu seolah lupa bernafas, dia memgang dada menanti kata-kata melompat dari laptop. Tiba-tiba sekelebat balon suara terpampang di layar disertai bunyi klik mengabarkan kondisi batere yang sudah sekarat. Balon suara itu hany muncul beberapa detik diikuti layar laptop yang mendadak gelap.
 
"...!"
 
Terdiam, perempuan itu hanya mengangkat tangan menutup mulutnya. Dipandangnya handphone yang kembali bergetar. Namun, tidak terlihat gerakan untuk merespondnya. Sampai handphone berhenti bergetar. Hanya denting lonceng dari pintu cafe terdengar mengabarkan kehadiran beberapa orang pengunjung.
Sementara di luar hujan lebat kembali turun. Namun, jalan-jalan di Jakarta tidak takut akan hujan. Ribuan mobil mengendap di sela hunjaman jutaan tetas air, saling memaki saling mendorong. Sedangkan pengendara motor menyerah berdesakan di bawah fly over. Ibukota ini tidak akan kegabisan batere, semua berjalan tanpa ada habisnya. (*)
 
Nusa Dua, 091208