Minggu, Oktober 01, 2006

Terkejut Kejutan

LADANG, sawah, rumah-rumah, kolam, pepohonan tampak berlarian melintasi jendela kereta di senja hari. Bunyi monoton roda kereta tak henti bergemuruh di raung AC kereta eksekutif jurusan Jakarta. Beberapa, penumpang terlihat terantuk-antuk dibuai mimpi. Hanya beberapa orang berdandan bak eksekutif muda sibuk membolak-balik halaman koran nomor dua di negeri ini.
Seorang gadis dengan seragam blazer berwarna biru gelap tak henti-henti menusukan ballpoint ke layar PDA-nya. Dengan rambut panjang tergerai melintasi selendang merahnya. Polesan merah darah berkilat di bibir munggil. Sesekali ia mengeluarkan cermin kecil hanya untuk memperbaiki poni yang tidak pada tempatnya.
Aku ingat masa dulu, saat masih berprofesi sebagai wanita karier. Dandanan dan langkah percaya diri akan selalu menemani setiap gerak. Seolah setiap mata memperhatikan, sehingga bunyi stileto pun haru ditata bukan hanya poni rambut atau letak selendang. Ahh.. masa muda yang penuh dengan semangat.

"Mau kemana Jeng?"

Suara seorang perempuan setengah baya menghentikan lamunanku.

"Ke Jakarta Bu" jawabku singkat.
"Asli Jakarta atau hanya berkunjung?"
Kembali perempuan itu bertanya, seolah tidak menangkap keenggananku berbicara.

"Saya asli Bandung Bu. Kebetulan suami saya kerja di Jakarta"
"Lho, suaminya kerja di Jakarta, kok Jeng ini dari Bandung? Emang tidak tinggal bareng suami?" Kembali mulut keriputnya meluncurkan tanya.

"Ooh tidak Bu, saya tinggal di Bandung. Yaah biasa Bu, suami saya itu weekend husband," jawabku dengan pengantar senyum.

Terbayang pertama kali ketika memutuskan untuk hidup terpisah, sehari setelah berjalannya resepsi pernikahan, dua tahun lalu. Keputusan tersebut bukannya tanpa protes. Akan tetapi, aku bisa menerima penjelasan suamiku yang memang kerjanya selalu berpindah tempat meski basisnya berada di Jakarta.

"Lebih baik kamu tinggal di Bandung. Kan di sini ada keluarga kamu. Jadi aku ga khawatir kalau harus melakukan perjalanan dinas jauh ke daerah. Soalnya, perjalananku sangat sering dan seringkali sangat jauh," ujar suamiku ketika itu.

Keputusan tersebut tampak sebagai keputusan paling tepat saat itu. Aku pun masih kerja di Bandung saat itu. Sebagai sekretaris sebuah perusahaan lokal yang cukup bonafid. Jadi sayang juga jika harus ditinggalkan karena ikut suami ke Jakarta. Namun, seiring berjalannya waktu, harus jujur aku merasa keputusan tersebut sangat salah saat ini.
Tahun pertama, suamiku selalu rajin datang setiap akhir pekan setiap minggunya. Namun, tahun kedua, kunjungannya mulai jarang. Kadang dua minggu sekali, tak jarang sebulan sekali. Bahkan, dua bula ini, dia seperti menghilang. Ketika di tanya melalui handphone-nya, dia sedang ada di pedalaman Kalimantan. Katanya, sudah tiga minggu dia di sana setelah sebelumnya melawat ke Papua.
Mungkin aku terlalu egois. Mungkin suamiku mulai merasa bosan setiap hari melakukan perjalanan akhir pekan. Padahal, bukan rahasia lagi, bagi orang metropolis, akhir pekan merupakan saat beristirahat dan bukan saat melakukan perjalanan. Sehingga, belakangan ini, aku mulai bisa menerima jika kunjungan yang dia lakukan hanya berbentuk telpon ataupun sebatas sms.

"Anak muda sekarang memang aneh-aneh. Masa sudah menikah masih hidup terpisah? Emang zaman uedan!" ibu tua itu kembali bersuara.

Enggan menjawab, aku kembali memfokuskan pandang pada seorang pemuda dengan boneka masih dibungkus plastik di tangannya tidak jauh di bangku depan. Dia tampak menimang boneka sambil berbicara melalui earphone yang tersambung ke handphone-nya.

"Papa sudah beli boneka buat Ade. Boneka babi pink," ujarnya dengan suara keras. Kebiasaan orang yang kedua lubang kupingnya tertutup. Mereka tidak sadar jika suara mereka cenderung nyaring sehingga teman sebangkunya yang tampak mengantuk memperlihatkan gerutuannya sambil menutupkan bantal ke telinganya.

Seorang anak, itulah yang kurang dalam keluarga yang aku bangun ini. Aku sendiri tidak terlalu keberatan dengan jarangnya kunjungan. Aku tidak pernah menuntut kebutuhan jasmani ataupun kebutuhan material. Namun, aku akan sangat bersyukur bila sumiku mau memenuhi kebutuhan psikis dengan cinderamata seorang bocah yang bisa kupanggil 'anakku'.
Setelah dua tahun perjalanan, hal itu nampak semakin jauh. Suamiku pun semakin jarang 'mengunjungiku'. Dia menjadi terlalu lelah saat tiba di Kota Kembang. Kunjungannya akan dihabiskan dengan tidur seharian. Jika sempat, kami berjalan-jalan ke kawasan utara Bandung sekedar menikmati nyalanya lampu kota di lihat dari ketinggiang perbukitan Bandung Utara.
Bahkan, jika cuti panjangnya dikabulkan, waktu yang tak lebih dari dua minggu itu selalu kami habiskan untuk mengunjungi seluruh sanak keluaraga. Pernah sekali aku dan suamiku melakukan kunjungan ke luar kota bersama. Tujuannya untuk mengganti waktu yang habis digerus pekerjaan masing-masing. Namun, perjalanan itu menjadi terlalu padat dengan seluruh perdebatan yang mengendap ketika tidak bertemu. Semua menjadi samar..
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengakhiri karierku. Keputusan ini kumaksudkan untuk memperkuat alasanku untuk pindah ke Jakarta. Dengan demikian, keluarga kecilku memiliki waktu lebih luas untuk lebih mengenal masing-masing bila berdekatan. Soalnya, meski telah dua tahun menikah, bisa dibilang aku jarang sekali berdekatan dengan suamiku.
Akan tetapi, suamiku bersikukuh agar aku tetap di Bandung bersama mertuanya, orangtuaku. Meski aku tinggal di rumah sendiri yang cukup berjauhan dengan rumah orang tuaku. Bahkan, dukungan dari mertuaku, orang tuanya, agar aku tinggal bersama di Jakarta, tidak diindahkan suamiku. Ahh, keras kepala! Itulah kesan yang pertama kali kudapat dari suamiku pertama kali kita bertemu.
Disinilah aku sekarang, menjelang Ibu Kota. Berharap kunjungan ini bisa menjadi kejutan manis bagi suamiku, dan bagi diriku sendiri. Setelah sekian lama tidak menginjakan kaki di tanah Sunda Kelapa.
Kunjungan ini sengaja aku rahasiakan. Kebetulan minggu ini suamikupun katanya tidak bisa ke Bandung karena kantornya menggelar rapat evaluasi sebuah proyek besar. Kupakai pakaian terbaikku. Kubawa beberapa oleh-oleh dari Bandung termasuk sambal goreng petai kegemarannya. Tak terasa, senyum melintas di bibirku.

"Waduh bahaya Jeng, kalau sudah tersenyum-senyum sendiri!" tegur wanita di sebelahku.

Enggan menjawab, aku hanya melempar kerling padanya dan menyandarkan kepala ke jendela, memandang hamparan sawah yang kering kerontang diterjang kemarau panjang.
Satu jam berlalu, sempat terlelap dalam impian manis tentang keterkejutan di muka suamiku, akhirnya kereta tiba di Gambir. Matahari hampir tenggelam, meninggalkan warna keemasan di dinding tugu Monas. Mengabaikan godaan dan tawaran tukang ojek, aku kabur dengan taksi yang berhasil kustop ke rumah kontrakan suamiku di bilangan Tebet.
Tiba di depan pintu rumah kontrakan, suasana rumah terlihat sepi. Malam sudah mulai merambat. Lampu neon depan rumah berkedip-kedip, tapi lampu dalam rumah masih tampak gelap.

"Jangan-jangan suamiku belum pulang" kataku pada diri sendiri.

Rumah kontrakan ini terletak di sebuah jalan kecil yang cukup nyaman. Suasana jalan sendiri sudah sepi. Dari rumah tertangga terdengar jeritan beberapa pemuda yang menyambut gol dari siaran langsung sepak bola di layar televisi mereka.
Mungkin aku harus menunggu, pikirku. Bila aku telepon dia sekarang, terus dia tahu aku menunggu di depan rumahnya, ini bukan lagi sebuah kejutan. Sebenarnya aku berharap muka terkejutnya saat membuka pintu untukku. Meski dia pasti akan ngomel, tapi aku yakin dia tidak akan keberatan dengan kejutan ini. Bahkan aku siap menyambut pelukan hangatnya, sehangat suasana hatiku sekarang.
Dua jam berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda suamiku akan pulang. Pikiranku sudah terbang pada kemungkinan-kemungkinan terburuk. Tiba-tiba, desir suara Nathalie Merchant mengalun di handphone. Nyanyian pengiring sebuah film lama, One Fine Day mengantar telepon yang aku tahu dari siapa.

"Hallo Mas, ada apa?" tanyaku.
"Hallo Dik. Kamu lagi di mana? Aku sudah menunggu dari tadi."
"Menunggu di mana Mas?" tanyaku was-was. Jangan-jangan dia tahu aku ke Jakarta. Pasti dia sudah menelepon ibuku, menanyakan ke mana diriku.

"Ya, di rumah. Kamu lagi di mana. Sudah sejam lebih aku nunggu di depan pintu rumah kita."
"Rumah kita di mana?"
"Rumah kita di mana, ya rumah kita di Bandung! Emang kamu lagi di mana?"
"Loh kok di Bandung? Katanya, minggu ini Mas tidak akan ke Bandung? Katanya ada rapat penting yang tidak bisa ditinggalkan? Kok sekarang ada di Bandung?"
"Ha..ha.. Maap Dik. Aku bohong. Kan niatnya aku mau buat kejutan buat kamu. Tiba-tiba datang. Ini aku sudah bawa oleh-oleh perhiasan dari Kalimantan nih"
"Ya ampun Mas. Aku juga sedang nunggu di depan rumah kontrakan Mas di Jakarta. Tadinya mau buat kejutan buat Mas. Aku sudah bawa sambel goreng petai kegemarannya Mas. Lha gimana dong!"
"DI JAKARTA! Ngapain kamu ke Jakarta? Kenapa ngga bilang-bilang?"
"..."
"..."
"HA..HA..HA... Kita sama-sama terkejut dong! Ha..Ha..."
"Gimana sih Mas ini? Aku gimana dong?"
"Ha..Ha..Ha.."

Senin, Agustus 28, 2006

Ada Apa Dengan Beras?

JAKARTA (Media): Pemerintah akan memutuskan perlu atau tidaknya impor beras pekan depan. Saat ini, tim perberasan masih mengkaji angka ramalan (aram) ketiga produksi padi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan menunggu masukan dari tim teknis yang melangsungkan rapat di Bandung.
"Saya harap, kalau tidak minggu ini atau minggu depan kita akan finalisasi beberapa pertimbangan, masukan, serta angka-angka yang keluar," ungkap Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kepada wartawan di Jakarta, kemarin.
Lebih lanjut Mari mengatakan, tim teknis perberasan masih meminta masukan dari daerah terkait produksi, konsumsi, pasokan, dan pergerakan harga beras. Tim ini beranggotakan berbagai Direktorat Jenderal terkait yang dipimpin Deputi Menko Perekonomian bidang pertanian dan kelautan. Masukan ini menjadi bahan tambahan dari aram III yang dirilis BPS kemarin. Dari kajian dan masukan itu, akan mengerucut kesimpulan perlu tidaknya dilaksanakan impor beras.
Sebelumnya, tim teknis perberasan telah menyerahkan hasil evaluasi sebagai rekomendasi yang dipresentasikan pada rapat koordinasi terbatas (rakortas) bidang perberasan, Selasa (15/8) lalu. Seperti telah diberitakan Media Indonesia (9/8), melalui surat bernomor 028/D.II.M.Ekon/7/2006, salah satu rekomendasi tim ini ialah melaksanakan impor beras.
Dalam presentasinya, tim teknis menyatakan kondisi kritis terjadi pada cadangan beras pemerintah (CBP) karena banyaknya bencana. Saat ini CBP hanya terdiri dari 240 ribu ton atau kurang 110 ribu ton. Selain itu, harga beras setara kualitas medium di masyarakat, telah mencapai Rp4.900/kg. Kendati demikian, kabar baik datang dari harga gabah petani. Untuk gabah kering panen (GKP), petani menikmati harga Rp2.000/kg. Artinya, lebih tinggi dibanding harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp1.730/kg.
Akan tetapi, rakortas belum bisa menentukan keputusan atas rekomendasi tersebut. Bahkan, pada rapat di kantor wakil presiden Selasa (22/8) lalu, pemerintah masih belum bisa memutuskan. Namun, pemerintah menyimpulkan perlu ada masukan dari daerah mengenai keadaan perberasan. Pasalnya, keputusan impor beras merupakan keputusan yang sangat sensitif.

Harga Beras
Sementara itu, berdasarkan data Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, harga beras nasional bulan ini meningkat 3,31% dibanding rata-rata selama tiga bulan sebelumnya. Harga beras tertinggi tetap terjadi di Jayapura (Rp6.000/kg) dan di Padang (Rp5.625/kg). Namun, kedua kota ini mengonsumsi beras kualitas atas harganya di atas rata-rata.
Sedangkan untuk beras kualitas medium, harga tertinggi terjadi di Pontianak (Rp5.050/kg) diikuti Medan (Rp4.800/kg). Sedangkan terrendah terjadi di Kendari (Rp3.875/kg), Makassar (Rp3.900/kg), dan Surabaya (Rp3.900/kg).
Sedangkan untuk Jakarta sebagai barometer nasional, harga beras kualitas medium mencapai Rp4.440/kg. Harga ini meningkat dibanding rata-rata tiga bulan sebelumnya yakni sebesar 2,77%. Saat ini di Pasar Induk Cipinang (PIC) memiliki stok sebesar 45.347 ton. Meski begitu, jika dibanding bulan Juli, pasokan per hari beras ke PIC bulan ini mengalami penurunan sebesar 6,37%. Rata-rata pasokan beras per hari bulan ini hanya 1.103 ton, sedangkan bulan Juli mencapai 2.075 ton. Hal ini memperlihatkan, musim panen kemarau telah berakhir. (TM)

Minggu, Agustus 27, 2006

"ASEAN Tunggal atau Boneka ASEAN?"

MELIHAT renyah tawa Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, pada setiap kesempatan di sela pertemuan menteri ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Ministers/AEM), yang diabadikan berbagai halaman surat kabar nasional, menggambarkan kegembiraan hatinya sekaligus keramahan bangsa ASEAN. Namun, gambaran ini tidak mengurangi kegelisahan akan masa depan negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN.

Pada pertemuan tingkat menteri yang diadakan hingga 25 Agustus tersebut ASEAN seolah menjadi penari seksi yang menyedot perhatian dunia. Tak urung bahkan Kepala Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative/USTR) Susan Schwab menyempatkan hadir. Bahkan, pejabat-pejabat penting dari raksasa-raksasa ekonomi dunia berdatangan.
Jepang sebagai mitra lama kawasan ini seolah terdepak oleh kiprah raksasa ekonomi baru yakni China. Kecemerlangan mata hari terbit seolah meredup ditelan naga yang beranjak dewasa dari timur. Tidak ketinggalan, India sebagai calon raksasa ekonomi baru tergopoh-gopoh mengejar ketinggalannya menggaet perhatian ASEAN. Hanya Uni Eropa (UE) yang masih malu-malu memperlihatkan sikap mereka kepada ASEAN pada kesempatan kali ini.
Mengapa pertemuan di Kuala Lumpur ini menjadi sangat penting? Jawabannya ialah kesibukan para bidan yang mempersiapkan kelahiran bayi raksasa ekonomi baru. Setelah sempat terseok-seok akibat krisis ekonomi, ASEAN kembali hadir menyemarakan percaturan ekonomi dunia. Dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan basarnya pasar, bukan tidak mungkin ASEAN menjadi pesing terdekat UE atau raksasa lain seperti China, India, Jepang, ataupun AS.
Menurut data sekretariat ASEAN, pertumbuhan ekonomi rata-rata pada 2005 pasca krisis ekonomi mencapai 5,5%. Arus investasi langsung (FDI) mencapai US$ 38 miliar in 2005, meningkat 48% dari tahun sebelumnya. Prognosa 2006 pun tak kalah cemerlangnya pada kwartal pertama arus FDI telah mencapai US$ 14 miliar, atau meningkat 90% dari periode sama tahun lalu yakni US$ 7.4 miliar.
Sedangkan untuk sektor perdagangan, ASEAN memperlihatkan tren positif yakni total ekspor tahun 2005 meningkat 13.5% dari US$ 569.4 miliar di 2004 menjadi US$ 646 miliar tahun 2005. Trend ini berlanjut pada kwartal pertama 2006 dengan pertumbuhan mencapai 17.7% dibanding periode sama tahun lalu. Sedangkan kontribusi perdagangan intra-ASEAN dari total relatif konstan pada 25% tahun 2005, meningkat dari persentasi tahun 2004 sebesar 24.3%.
Hal inilah yang membuat raksasa-raksasa tersebut berlomba mencuri kesempatan untuk menjadi wali atau kakak dari bayi yang segera lahir ini. Tujuannya, agar arah perkembangan bayi ini nanti bisa menguntungkan bagi raksasa-raksasa ekonomi yang sudah ada. Hal inilah yang meresahkan karena ASEAN layaknya sepotong kueh yang diperebutkan ke sana ke mari. Harus diingat ASEAN bukan ‘boneka’ untuk dipermainkan.
Kegelisahan ini semakin menjadi tatkala melihat kiprah ASEAN yang seolah menjadi anak baik yang selalu ‘nurut’ dan ‘manggut’ dengan desakan para raksasa. Sebut saja, ajakan TIFA dari AS yang belum-belum sudah menjejalkan peraturan-peraturan untuk kemaslahatan ‘negeri Paman Sam’ tersebut. Padahal, banyak masalah yang harus diselesaikan ASEAN ketimbang mengikuti ‘ajakan’ dari negara-negara besar tadi.

Sebut saja, peer ASEAN menyelesaikan pembentukan kawasan perdagangan bebas (ASEAN Free Trade Agreement/AFTA), investasi (ASEAN Investment Agreement/AIA), kesenjangan ekonomi dan sosial di antara sesama negara ASEAN, belum lagi target akbar pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan lainnya. Hal-hal tersebut seolah terlupakan karena terbuai ajakan dan rayuan negara-negara besar.
Khususnya Indonesia, sebagai negara terbesar semestinya menjadi tokoh kunci dalam percaturan arah kebijakan ASEAN. Dengan kekuatan setengah penduduk ASEAN, Indonesia merupakan negera yang semestinya memperoleh keuntungan terbesar dari langkah-langkah yang diambil ASEAN. Untuk itulah, antisipasi dominasi negera-negera besar di luar ASEAN harus dikedepankan. Sehingga, kemampuan diplomasi dan negosiasi delegasi Indonesia harus segera diasah dan diperkuat sebelum pertemuan puncak ASEAN di Cebu, Filipina akhir tahun nanti.
Sudah bukan saatnya lagi, Indonesia menjadi anak baik yang mengamini setiap arahan negara-negara lain. Bukan keramahan sebagai wujud rasa tunduk dan 'nurut', tapi ketegasan dipoles keramahan. Pasalnya, 220 juta jiwa rakyat menjadi taruhan yang harus diperjuangkan. Penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan syarat yang tidak bisa ditawar lagi. Tentunya hal ini tidak bisa tercapai jika kita hanya menjadi ‘pasar’ dan ‘pentas’ kekuatan-kekuatan besar lain.
Indonesia harus menjadi yang terdepan bersama negara-negara ASEAN lainnya untuk menentukan arah kebijakan ASEAN. Apabila hadir kekuatan-kekuatan besar ekonomi yang hendak menggandeng ASEAN, tawarannya harus mampu mengangkat derajat dan martabat bangsa-bangsa ASEAN. Sehingga, bukan tidak mungkin lahirnya MEA nanti menjadi bentuk nyata terbitnya kekuatan raksasa baru di kawasan Asia bagian tenggara.
Bila mengutip perkataan Menperdag Mari Elka Pangestu, di era global sekarang liberalisasi dan keterbukaan ekonomi menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan. Akan tetapi, proses ini tetap harus bisa menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Di panggung ASEAN inilah kesempatan Indonesia untuk mewujudkannya. Semoga tawa renyah Menperdag merupakan awal dari tawa renyah rakyat Indonesia yang letih didera kemiskinan dan ketidak berdayaan.(*)

Jumat, Agustus 11, 2006

Apa Kabar?


SETELAH sekian lama, menyenangkan juga ketemu kau kemarin. Tak terasa sudah 10 tahun kita tak jumpa. Namun, apa yang harus aku katakan tatkala kau mengatakan apa kabar? Kau tahu sendiri 10 tahun kemarin merupakan 10 tahun tanpa kabar.
Tapi, jika yang kau tanyakan kabar pekerjaanku..masih baik, masuk pagi pulang pagi tanpa uang lembur. Semua terbilang baik mengingat dalam satu dekade ini aku tak sekalipun dapat surat peringatan (SP). Meski tak sekalipun juga dapat kenaikan gaji.
Atau kalau yang kau maksud, kabar tetanggaku. Mereka baik-baik saja, meski tiga anak lelakinya sedang dibui karena nyolong ayam. Atau anak bungsunya yang menjadi hiasan di cafe striptease di pusat kota.
Anjingku.. yah mungkin dia lebih beruntung. Dia telah mati karena terlindas truk. Padahal sebelumnya dia sudah bisa mengangkat kaki ketika diajak salaman.
Sedangkan, bila yang kau maksud kabar bangsa ini, ... ah aku tidak mau berkomentar. Nanti, dibilang subversif atau anti pembangunan. Ah sudahlah, kau tahu sendiri. Sepuluh tahun sejak kau tinggalkan, aku sudah lama menjadi bisu, tuli, buta, dan mati. JADI JANGAN TANYAKAN APA KABARKU?!!!
"Ah, maap. Aku sedikit emosional. Baik aja kok. By the way apa kabarmu?"

Eh aku mau tanya, sebenarnya perempuan yang kau telepon tadi itu siapa? Istrimu?

Minggu, Juli 30, 2006

Kuda Troya NSW

HAMPIR satu dekade pasukan besar dari Yunani mengepung benteng Troya. Sebanyak 10 ribu lebih pasukan dari berbagai kerajaan di kepulauan Aegea bak air bah menghantam benteng kokoh yang dijaga Hector anak Priam raja Troya. Satu persatu prajurit gagah gugur di medan laga, tak terkecuali Achilles, mesin pembunuh yang konon mampu membunuh sepuluh orang dengan sekali tebas. Meski kematiannya mampu membawa nyawa Hector turut serta, tak ayal lagi ini menjadi ini menjadi kehilangan yang teramat besar bagi pasukan penyerbu yang telah kelelahan dibawah pimpinan raja agung dari Mycenea, Agamemnon.
Kendati demikian, dadu nasib sudah dilempar. Kekalahan bukan merupakan pilihan dan kemenangan menjadi satu kewajiban. Helen anak Zeus bukan lagi alasan penghentian perang, hanya kemenangan yang bisa. Dalam kondisi seperti ini, figur Odysseus, raja bijak dari Ithaca, hadir mempersembahkan kejayaan bagi Yunani.
Sebuah penggalan dari epik Yunani klasik buah cipta Homer, barangkali cukup pantas untuk dijadikan cerminan kondisi Indonesia saat ini. Hal ini terkait dengan isu yang sedang mengemuka, meski sedikit sekali yang memahaminya, yakni National Single Window (NSW). Bahkan, hingga kini belum ada kata dalam bahasa Indonesia untuk NSW. Ini merupakan gambaran nyata keterasingan kita pada 'mahluk' bernama NSW ini.
Sebagai gambaran, NSW bisa diibaratkan sebuah pengontrol jarak jauh (remote control) dalam sistem besar perdagangan ekspor impor (eksim). Bila kita menekan tombol yang tepat, maka akan mampu menggerakan barang dagangan keluar atau masuk sebuah negara. Pengontrolan jarak jauh ini dimungkinkan dengan teknologi informasi yakni komputerisasi dan internet on-line. Artinya, sebuah terobosan yang bisa dibilang revolusioner dalam fasilitasi eksim.
Melalui NSW, seluruh pedagang dari berbagai belahan bumi bisa mengurus dokumen perdagangan yang diperlukan di Indonesia, dengan mengakses internet (trade-net). Sehingga, mereka tidak perlu pulang pergi mengunjungi kantor atau instansi penerbit dokumen. Bukan hanya itu, NSW juga memberikan kemudahan dalam pelepasan barang di pelabuhan dan bandara (port-net). Dengan demikian sistem ini akan mempermudah arus barang (flow of good) dan juga arus dokumen (flow of document).
Kendati masih asing, Indonesia melalui kesepakatan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) telah berjanji merampungkan NSW paling lambat akhir tahun ini. Selanjutnya, masing-masing negara akan mengintegrasikan sestem mereka menjadi ASEAN Single Window (ASW) pada 2008 dan 2012. Hal ini merupakan kesepakatan Agreement to Establish and Implement the ASEAN Single Window yang ditandatangani para Menteri Ekonomi ASEAN pada 9 Desember 2005 Kuala Lumpur, Malaysia.

Secara ekonomi NSW bisa menjadi senjata untuk mencapai target perdagangan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Soalnya, sistem ini mampu memberikan kemudahan yang signifikan sebagai insentif untuk meningkatkan ekspor. Bahkan, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, NSW merupakan instrumen efektif mencegah penyelundupan. Dengan demikian, NSW bukan lagi kewajiban, tapi merupakan kebutuhan.
Sebagai contoh, sukses membangun sistem NSW, Singapura mampu menghemat pengeluaran para pedagang mereka hingga US$1 miliar/tahun untuk pengurusan dokumen. Selain itu, kecepatan pengelolaan data bertambah drastis. Dibutuhkan waktu hanya dua menit mengurusan dokumen eksim dari sebelumnya seminggu.
Hal ini dimungkinkan karena dari 3 sampai 35 dokumen yang dibutuhkan, telah berintegrasi menjadi hanya satu dokumen. Sehingga, pelayanan dokumen eksim meningkat tiga kali lipat dari 10ribu dokumen/hari menjadi 30ribu dokumen/hari. Sayangnya, langkah menuju terwujudnya NSW di Indonesia saat ini masih teramat jauh. Meski pada 27 Maret 2006, Surat Keputusan (SK) No Kep 22/M.Ekon/03/2006 tentang Tim Persiapan National Single Window telah terbit. Namun, hingga kini tim tersebut sama sekali belum bergerak. Bahkan, baru Rabu (19/7) lalu tim ini melaksanakan rapat pertamanya, itupun gagal karena terganggu gempa yang mengguncang Jakarta. Alhasil, hingga kini tim tersebut belum memiliki pembagian tugas dan rencana aksi yang jelas.
Sedianya tim nasional (timnas) NSW yang diketuai Menteri Keuangan ini, harus membuat dan melaksanakan rencana aksi secepat mungkin. Akan tetapi, sejak terbentuk empat bulan lalu, tidak satupun keputusan tercapai karena belum pernah rapat atau koordinasi. Entah karena kesibukan atau tidak ada kemauan yang kuat dari anggotanya.
Kondisi ini hampir sama dengan posisi pasukan Yunani yang terjebak dalam kondisi yang mereka ciptakan sendiri. Mereka harus bisa merebut kemenangan setelah kehilangan banyak prajurit seperti Achilles. Sedangkan, Indonesia harus bisa menyelesaikan NSW karena telah menjadi kebutuhan wajib yang sudah disepakati pemerintah di ASEAN. Untuk itu diperlukan terobosan brilian, seperti kuda Troya karya Odysseus. Timnas NSW harus menjadi kuda Troya yang mampu menghancurkan kebuntuan ke arah terwujudnya NSW.
Sesuai dengan perjanjian yang telah diteken Menperdag, enam negara ASEAN yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, termasuk Indonesia, harus membuat sistem NSW. Selanjutnya, NSW dari berbagai negara harus digabungkan menjadi ASEAN single window (ASW). Berdasarkan rencana aksi ASW, system dan uji coba NSW di enam negara sudah harus diselesaikan tahun 2006. Artinya, Indonesia hanya punya waktu lima bulan untuk merealisasikan NSW. Meski menurut Menko Perekonomian Boediono (Media Indonesia, 22/7) "Kita tidak tertinggal dibanding negara ASEAN lain."
Sebagai Kuda Troya, timnas NSW harus bisa menyatukan visi dan bergerak cepat. Seluruh pemangku kepentingan harus mau merendahkan ego sektoral mereka. Jika perlu, para menteri yang tergabung dalam timnas harus mau masuk ke dalam perut kuda troya NSW. Pasalnya, sudah tidak mungkin lagi Indonesia mundur dari kesepakatan. Harga diri bangsa dipertaruhkan di sini. Kesuksesan membangun sistem NSW menjadi target yang tidak bisa ditawar.
Angin segar datang dari satuan tugas sistem prosedur (satgas sisdur). Menurut Dirjen Perdagangan Luar Negeri Deperdag Diah Maulida, satgas yang dipimpinnya telah mampu mengumpulkan berbagai dokumen terkait eksim. Sebanyak 48 jenis dokumen perizinan dari berbagai instansi telah terkumpul. "Kita tinggal memetakan dan membuat flow chart-nya agar bisa dikomputerisasi," katanya, Jumat (21/7).
Meski timnas NSW sepertinya mandeg, tapi satgas di bawahnya ternyata masih tetap gigih melangkah. Sekarang tinggal timnas NSW. Mampukah tim ini menjadi kuda Troya NSW yang menggelinding meruntuhkan benteng kebuntuan pencapaian target NSW? Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Bukan mewujudkan sistemnya yang sulit, tapi sosialisasi dan implementasinya yang sukar. Bukan tidak mungkin kemudahan yang dari NSW di Singapura malah menjadi hambatan di Indonesia. Butuh langkah bijak dan cepat seperti yang dicontohkan Odysseus raja Ithaca.(*)

Senin, Juli 03, 2006

Momen Religius


KEJATUHAN tim kandidat kuat juara dunia tahun ini, Inggris, menghadirkan kekecewaan di berjuta pendukungnya di seluruh Britania Raya dan Dunia. Namun, ada catatan menarik dari pertandingan yang diwarnai kartu merah untuk penyerang yang diramalkan bakal bersinar di piala dunia kali ini, Wayne Rooney. Inggris kembali tersingkir melalui adu penalti oleh Portugal, atau sebuah siaran ulangan dari Piala Eropa.
Yah, Inggris yang dianggap negara tempat kelahiran olahraga paling popular di bumi ini, kembali gagal dalam tos-tos-an. Sehingga, komentator dalam bahasa Inggris yang sudah jelas dari nada bicaranya merupakan orang Inggris mengatakan "As Usual, England fail to win in Penalty shootout!". Itulah kenyataan tragis yang harus dialami negeri Ratu Elizabeth, gagal dalam setiap adu penalti di turnamen Piala dunia. Masih segar kegagalan David Batty cs, atau David Beckham cs di setiap adu penalti, mereka gagal.
Namun, adu satu kalimat yang menggelitik saat menyimak pertandingan yang disiarkan langsung oleh hampir seluruh stasiun televisi di dunia ini, sebuah pernyataan komentator dalam bahasa Inggris. "It's a praying time", saatnya berdoa. Inilah saat semua pemain, offisial, pendukung, ataupun bukan untuk berdoa. Berdoa bagi kesuksesan timnya, berdoa untuk kegagalan tim lawannya. Inilah saatnya berdoa.
Bagi Inggris, negara yang menganggap sepakbola sebagai agama tentunya akan berdoa dengan caranya sendiri. Negara satu-satunya yang mengenal istilah "boxing-days" ini bisa dipastikan akan berdoa dengan agama bola. Akan tetapi, bukan sekali dua kali mereka gagal pada momen ini. Inggris selalu gagal dalam adu pinalti di piala dunia!
Sebuah fakta lucu tapi menyedihkan bagi seluruh insan persepakbolaan di negeri asalnya ini. Hal ini membuktikan, sepakbola sebagai sebuah sistem tidak bisa dijadikan sebuah dogma. Sepakbola ialah sebuah gerak yang asal katanya permainan. Saatnya bermain, bermain dengan keceriaan, bermain seperti jiwa anak kecil yang asik dengan permainannya. Hal inilah yang mungkin membuat pasukan Sven Goran ini kembali gagal dalam adu pinalti dengan Portugal.
Sebagai pertimbangan lain ialah tampak pada momen selebrasi. Menjadi pemandangan biasa ketika selebrasi sebuah gol, pencipta gol akan menunjuk langit atau tertunduk ke tanah. Hal ini memperlihatkan rasa terima kasih pada sesuatu yang 'Ilahiah'. Tapi hanya saat itu saja, pada saat bermain mereka kembali menjadi anak kecil yang sedang bermain. Beda dengan pemain Inggris, saat selebrasi mereka jarang memperlihatkan hubungan vertikal. Soalnya, saat mereka bermain itulah justru mereka sedang menapaki tangga vertikal. Penapakan tangga inilah yang membuat permainan mereka tidak seperti bermain. Justru seperti serdadu 'salib' menyongsong perang.
Hasilnya, mereka kehilangan spirit bermain. Memang harus diakui, mereka memperlihatkan kekuatan dengan power yang dikenal kick n rush. Seperti barisan fanatis yang kerasukan setan. Meski begitu, hal inilah yang membuat mereka selalu gagal pada 'moment religius' ketika 90 menit permainan tidak memberikan hasil dan 30 menit tambahan pun idem. Terbukti tahun ini, mereka kembali gagal. Gagal memenangkan proses adu pinalti.
Pendapat ini wajib disanggah, tapi boleh juga untuk ditimbang dan dihayati. Kembali lagi seperti telah disebutkan sebelumnya, bola dipandang dari sisi manapun akan terlihat bundar. Karena itulah bola.

kantor redaksi
abdisalira c 030706

Jumat, Juni 30, 2006

Galau


MENCIPTAKAN peluang bukanlah suatu hal yang sulit baginya. Dengan kemampuan heading yang mumpuni dan tendangan keras bak geledek ia telah menjebol banyak gawang yang dijaga berbagai jenis keeper. Bahkan, di timnya yang telah menjadi kampiun di negeri Pangeran Charles, laki-laki ini menjadi pencetak goal terbanyak. Padahal, ia hanya serang gelandang, bukan striker.
Namun, belakangan ini di partai yang didambakan seluruh insan persepakbolaan di seantero jagad raya, pria kelahiran Romford, London pada 20 Juni 1978 ini menjadi pria mandul. Mandul dalam mecetak gol yang semestinya menjadi rutinitas baginya. Beberapa kali sepupunya, Jamie Redknapp, memberikan saran tentang ketenangan. Bahkan pamannya, pelatih terkenal Harry Redknapp menyiramnya dengan kuliah tentang konsentrasi.
Apalah daya, piala dunia memiliki atmospher tersendiri yang lebih gaib ketimbang dunianya Harry Potter. Seluruh pemain yang terlibat dalam turnamen ini seperti terisolasi dari pengaruh sihir dunia lain. Beberapa pemain seperti tersihir untuk membisu, meredup, dan menghilang. Sebagian lainnya malah bersuara, bersinar, dan muncul. Semua seperti keajaiban, orang hilang ditemukan, orang yang ada kemudian menghilang. Sebuah ruang yang dikelilingi teka-teki dan keajaiban.
Pengaruh sihir yang mungkin saja bisa menembus sekolah Hogwart, tak akan mampu menembus atmospher gaib turnamen empat tahunan ini. Piala dunia membawa keinginannya sendiri untuk tersujud. Hal ini, tampak pada kegagapan dan keanehan yang menimpa laki-laki putra pemain Inggris kenamaan Frank Lampard Snr. Sesuatu yang tidak menguntungkan.
Sejak masa pendidikan di sekolah sepakbola milik klub yang dijuluki The Hammers ia telah mengenal semua sudut jaring gawang. Karena kepiawaiannya ini, ia dihargai £11.5 juta oleh tim milik Roman Abramovitch. Ia seperti kembali tertutupi bayangan ajaib persis ketika ia berada di bawah keindahan bayangan pemain munggil negeri Pizza, Gianfranco Zola. Ada apa gerangan???
Hal ini juga dipertanyakan pendamping setia yang telah melahirkan anak perempuan pertamanya, Luna. Pada malam hari, Elen Rives yang sengaja didatangkan Eriksson untuk membangkitkan motivasi pria ini, hanya bisa memandang sendu sambil menepuk-nepuk pundaknya. Bila itu terjadi, pria ini akan membawa putri kecilnya berjalan-jalan menikmati udara hangat di sekitar Baden-baden, negeri Bavaria.
Di pagi hari, pemain terbaik liga Inggris musim 2004-05 ini kembali melangkahkan kakinya ke lapang tempat latihan sebelum pertandingan. Nanti malam (1/6), timnya akan menjalani pertandingan ketat melawan Portugal. Meski tim 'samba' Eropa ini telah kehilangan beberap pilar, Portugal tetap merupakan lawan yang berat bagi pemain tim St George Cross ini. Untuk itu, pria yang melakukan debut di timnas pada 1999 ketika berhadapan dengan Belgia ini mesti kembali menemukan performa terbaiknya. Ia harus menghilangkan kenyamanan selimut gaib atmospher piala dunia yang memandulkannya.
Pria ini harus merekonstruksi ingatannya tentang seluk-beluk jaring gawang. Ia harus bisa bersahabat dengan "Teamgeist" untuk mengantarkan gol-gol indah dari kaki emasnya, ataupun melalui sundulan tajamnya. Di pundaknya, bersinar tidaknya tim dari daratan Britania akan ditentukan. Ia harus menembak dan terus menembak agar The Three Lions bisa kembali mengulangi kejayaan 1966. Meski sejuta kali percobaan, wajib ia lakoni. Hingga jaring gawang lawan kembali bergetar.
Bahu-membahu dengan rekannya Gerard, Cole, dan Beckham dia harus menguasai bidang tengah lapangan. Melindungi bidang belakang yang dihuni sobat dekatnya, Terry dan Ferdinand sekaligus mendukung kesuksesan Rooney dan 'si Jangkung' Chrouch di depan. "Lupakan keraguan yang tampak pada pertandingan melawan Ekuador, jangan ragu menembak, kembalilah untuk kami," sebuah pesan singkat ia terima dari Owen yang secara menyedihkan harus pulang kampung. Kembalilah untuk Inggris!

kantor redaksi 300606
abdisalira c 2006

Brudak


Barudak Forward

Rabu, Juni 28, 2006

Striker


BELAJAR menjadi eksekutor bukan berarti harus melupakan latar belakang dari sebuah eksekusi. Seorang eksekutor mesti mengetahui dan memahami seluruh grand design dari tindakannya. Menjadi eksekutor tunggal, duo, ataupun trisula sama saja merupakan bagian dari sebuah rencana besar. Dia harus bisa menganalisa kapan saat yang tepat, di mana tempat paling pas, apa yang harus dilakukan, bagimana melaksanakan dan siapa eksekutornya.
Apapun pola pertahanan atau pola yang diterapkan, tidak ada satu aspek yang tertinggal. Sepakbola menjadikan sebuah tim menjadi kesatuan utuh. Seorang striker tidak bisa menghilangkan seorang keeper, atau seorang sweeper melupakan wing back. Semua menjadi harmonisasi nada dari irama joga bonito, total footbal, catenatcio, kick and rush, ataupun pola tarkam. Pada irama apapun, eksekutor menjadi titik penentu jaringan nada tersebut.
Seorang eksekutor sejati tidak akan berlari-lari sendiri di barisan depan. Akan tetapi, ia menjadi mahkota dari badan yang dijalin kerjasama apik. Ia menjadi label pada sebuah produk, atau menjadi ujung sebuah tombak. Yap, sebuah ujung tombak tidak akan sah bila tidak ada batang tombaknya. Inilah pesan yang bisa diambil dari kiprah anak muda asal Everton Inggris. Ketika pertandingan melawan Ekuador, ujung tombak negeri tiga singa ini kehilangan makna karena tidak ada badan yang terdiri dari para gelandang, back, dan kiper.
Bukan kah nama seperti Ronaldo atau Miroslav Klose yang diragukan seluruh dunia justru bersinar karena dukungan para gelandangnya. Tengok kegagalan Shevchenko dan Wyne Rooney yang justru dijagokan bersinar malah meredup. Mengapa hal ini terjadi? Sepak bola punya jawaban yang multi dimensi. It's up to you untuk memaknainya.

redaksi koran tender
280606 c abdisalira

Selasa, Juni 27, 2006

Debutan


SEORANG anak udik hadir dengan kalungan pita warna-warni, menenteng tas dari kain karung terigu. Tak kalah aneh dia mengenakan topi dari kertas koran. Kaus kaki norak membungkus betis gendut dijejali lemak. Sendal jepit berwarna merah di sebelah kiri kaki mencibir sepatu oranye di kaki kanannya. Dengan semangat besar ia berlari-lari kecil menyeret balon gas yang terikat di jambul rambut yang tersisa karena sebagian lainnya telah diplontos.
Ia berlari-lari mengitari lapangan di gedung kampus mewah yang hingar bingar dengan exterior baroque. Beberapa anak udik lainnya berdesak-desak mencoba melaju di barisan paling depan. Sementara, anak-anak lain yang berpenampilan perlente dan sebagian lainnya lebih enak dibilang normal ketimbang anak-anak udik yang berlari mengitari lapangan. Anak-anak 'normal' tersebut berkali-kali melonjorkan kakinya, sekedar membuat suasana lebih renyah. Hal yang lucu akan menjadi meriah menurut mereka.
Itulah suasana yang kental terasa pada perhelatan piala dunia FIFA di Jerman yang berlangsung penuh selama sebulan ini. Beberapa negara 'udik' berdatangan di kehebohan empat tahunan ini. Beberapa dari mereka membawa nama-nama besar sedangkan yang lain layaknya penduduk dari terra incognito bahkan namanya sangat asing di kuping.
Dari daratan Afrika, nama-nama seperti Togo, Angola, dan Pantai Gading mencoba mengadu nasib pada debutnya di piala dunia. Sedangkan dari Amerika ada nama Ekuador, Trinidad Tobago, dan Kostarika, sedangkan wakil pertama dari Oceania yang bisa menembus putaran final turnamen olahraga terbesar di semesta ini muncul nama Australia. Terakhir dari daratan Eropa ada nama Ukraina pecahan Sovyet.
Beberapa debutan berhasil menitipkan gaung di gemuruh pesta akbar, Australia sempat mengejutkan dengan menggeser Kroasia begitu pula dengan Ekuador yang membungkam Polandia. Satu lagi, bangkit dari keterpurukan di pertandingan perdana, Ukraina melaju ke babak enambelas besar. Namun, selebihnya, mereka terjungkal di babak pertama dengan menjadi juru kunci atau posisi ketiga.
Seperti sebuah perpeloncoan, satu persatu tim debutan ini terjungkal. Beberapa yang beruntung lolos dari putaran pertama dibekap di babak knock out. Ekuador ditatar Three Lions, paling tragis Australia dikacangi raja mafia Italia dengan trik diving di penghujung pertandingan. Padahal, Socceroos telah unggul pemain dari awal babak kedua.
Di putaran delapan besar, tinggal tersisa satu nama debutan yakni Ukraina. Mampukah tim yang dimotori Andriy Shevchenko ini melaju menjadi kuda hitam. Atau lebih tepat menjadi kuda Troya yang menembus benteng tradisi yang diisi tim-tim mapan? Ah layak dicermati kiprah tim debutan satu ini. Hidup Acep!!

ps: masa piala dunia tidak menulis soal bola. So setelah sekian lama vekeum nulis... yah lumayan lah :p

redaksi koran nomer berapa ya sekarang?
270606 c abdisalira

Sabtu, Juni 17, 2006

Epitaph

Doa Dalam Sunyi

Angin datang darimana
Merayapi lembah gunung
Ada luka dalam duka
Dilempar ke dalam kawah

Memanjat tebing-tebing sukai
Memasuki pintu misteri
Mengores batu-batu
Dengan kata sederhana
Dengan do'a sederhana

Merenung seperti gunung
Mengurai hidup dari langit
Jejak-jejak yang tertinggal
Menyimpan rahasia hidup

Selamat jalan saudaraku
Pergilah bersama nasibmu
Pertemuan dan perpisahan
Dimana awal akhirnya
Dimana bedanya

Doa-doa terdengar dalam sunyi
Doa-doa terdengar dalam sepi

Iwan Fals © 1993

Kamis, April 06, 2006

Bertanduk

AKU ingin mendekapmu
dengan pelukan yang tak menambat.
Aku ingin menciummu
dengan jilatan yang tak meludah
Aku ingin menelanjangimu
hingga tak ada sehelaipun duka di kulitmu
Membawamu menuju puncak
untuk kau terbang ke cerahnya pagi.

Jakarta 050406
abdisalira

Selasa, April 04, 2006

Baru Getho Looh..

KE-BARU-AN ialah perkara yang identik dengan tantangan ataupun misteri. Akan tetapi, hal baru yang tidak sejalan dengan keinginan akan menjadi siksaan tanpa batas. Namun, hal baru sebenarnya bukanlah baru bila hal tersebut telah terjadi sebelumnya. Inilah pertanyaan besarnya.
Manusia bukanlah makhluk yang sempurna dengan ingatan. Bahkan ingatan sangat dipengaruhi dengan kemauan dan kemampuan untuk mengingat. Sehingga bukan mustahil ketika memasuki lingkungan baru, justru tidak merasa baru. Soalnya, aktor-aktor baru tersebut sering di-personifikasi-kan menjadi orang-orang lama.
Tak pelak lagi, berharap menjadi pendamping baru tapi kenyataannya malah menjadi bayangan dari orang lama. Bercita-cita menemukan hal-hal baru kenyataannya kerap disebut plagiator. Berencana menjalani hidup baru tapi tikungan ataupun tujuannya tetap lama. Jadi apakah yang dialami sekarang merupakan perkara baru?

abdisalira©040406

Jumat, Maret 24, 2006

To You...

Tough, you think you’ve got the stuff
You’re telling me and anyone
You’re hard enough

You don’t have to put up a fight
You don’t have to always be right
Let me take some of the punches
For you tonight

Listen to me now
I need to let you know
You don’t have to go it alone

And it’s you when I look in the mirror
And it’s you when I don’t pick up the phone
Sometimes you can’t make it on your own

We fight all the time
You and I… that’s alright
We’re the same soul
I don’t need… I don’t need to hear you say
That if we weren’t so alike
You’d like me a whole lot more

Listen to me now
I need to let you know
You don’t have to go it alone

And it’s you when I look in the mirror
And it’s you when I don’t pick up the phone
Sometimes you can’t make it on your own

I know that we don’t talk
I’m sick of it all
Can - you - hear - me – when – I -
Sing, you’re the reason I sing
You’re the reason why the opera is in me…

Where are we now?
I’ve got to let you know
A house still doesn’t make a home
Don’t leave me here alone...

And it’s you when I look in the mirror
And it’s you that makes it hard to let go
Sometimes you can’t make it on your own
Sometimes you can’t make it
The best you can do is to fake it
Sometimes you can’t make it on your own

By U2

Rabu, Maret 15, 2006

Reunited

MEMACU kendaraan pada kecepatan 120 km/jam konstan sepanjang ruas tol Cipularang memang melelahkan. Apalagi, perjalanan kali ini bukan perjalanan biasanya yang sering dilakukan warga Bandung atau Jakarta di akhir pekan. Perjalanan kali ini lebih merupakan keterpaksaan dari sebuah kondisi memaksa, yang membuat diri merasa terpaksa. Terpaksa untuk melakukan hal yang cukup memaksa dilakukan, bukanlah sesuatu yang mengenakkan. Itulah, inti perjalanan dengan kecepatan tinggi sepanjang jalur penghubung dua kota besar di barat pulau Jawa.
Jarum di arloji masih menunjuk angka empat tigapuluh. Angin subuh bertiup kencang melalui jendela yang sedikit terbuka. Beberapa kali larikan sinar menyelinap di antara jejak air hujan di kaca depan mobil. Menyilaukan sekaligus menenggelamkan diri dalam kenangan di kota Priangan. Dari sebelah kiri, sesekali sedan atau truk menyalip dengan kecepatan tinggi, menjelang hari merambati pagi.

"Bo! Malam ini kita ke mana? Jojing, senam, fitnes, atau cuma nongkrong saja?"

Sebaris kata dalam suara sofran kembali terdengar di ujung helaan nafas udara dingin di ujung malam di tengah bulan Maret. Suara klakson sebuah bis antar kota terbirit-birit meninggalkan daun telinga. Mengembalikan sekuen sebuah adegan yang kerap terjadi di akhir jaman kuliah dulu. Masa keemasan, tanpa janji tanpa piala. Hanya canda dan tawa menyerta semua gerak di siang maupun malam.

"Bo Bo! Aku tadi makan di Bebek Darmo ketemu cowok keren. Jadi makan gratis deh!"

Suara sofran lain bertamu di helai daun ingatan di ujung kepala. Menghabiskan malam diiringi dentum musik tak tentu. Menghitung detik dalam lipatan buku ataupun kartu. Berbincang hangat membahas lirikan seorang pria atau siulan tetangga depan kos yang kerap mengiringi pagi menuju kampus.
Bila dana melimpah, bolehlah remang bioskop kita jajaki, atau kafe di Bandung Utara pun akan dituju. Akan tetapi, bila tak ada, cukup menanti ajakan teman yang memiliki freepass atau menunggu ladiesnight itupun jadi. Begitu ringan betapa sederhana. Semua tertata rapi di sepanjang koridor masa keemasan di akhir jaman kuliah. Pameran di Bumi para Dewa, Para Hyangan.

"Pagi Mbaaak!"

Suara serak menyentak. Cukup jelas dan dekat. Jarum di arloji menunjuk angka lima empatpuluhlima. Suara ini bukan suara kenangan, ini suara kenyataan. Pintu tol terakhir menuju kota sudah tiba. Seorang pemuda tanggung masih berbungkus sarung menawarkan senyum. Melintasi portal suara Bono melengking tinggi dari handphone di dalam tas.

"Woi kamu lagi di mana? Buruan ke kantor! Kita masih banyak tugas. Kamu ga usah nyari kost-an segala. Pokoknya cepat ke kantor! Awas kalau ga!!"

Suara bos baru dari kantor baru tidak menunggu sapa, langsung mendera. Suara memuakkan, lebih dari menyebalkan. Kembali lagi ke Bandung, kembali lagi ke kehidupan. Perjalanan sepi untuk kembali merambah masa yang sepi. Selamat pagi Bandung!

150306
kantor redaksi koran nomor dua
abdisalira

Kamis, Maret 09, 2006

Mentok


Fokus pada suatu masalah adalah perkara yang tidak gampang. Terlebih ketika angin tidak bertiup ke arah yang dikehendaki.

Bila hendak melintasi sepanjang Sudirman dan Thamrin, dulu hanya perlu memakai busway. Tidak panas, tidak berdesakan, kadang malah udaranya terlalu dingin, jadi perlu jaket. Namun, siang ini rencana seperti itu mustahil dilaksanakan. Udara panas sepanjang hari tak henti memproduksi keringat sehingga punggung terasa dingin ketika ada angin debu menerpanya. Keringat bukan lagi bercucuran, tapi lebih pas dibilang membanjiri. Alhasil, dengan kondisi jalur biasa yang macet, semua orang kontan memilih busway sebagai kendaraan menuju tujuannya masing-masing.

Tak seperti dulu, busway hanya terdiri dari satu koridor. Saat ini Jakarta telah memiliki tiga koridor. Tujuannya mulia, agar penduduk pinggiran kota bisa turut merasakan nyamannya busway guna melintasi kota Jakarta dari Timur hingga Barat, atau dari Selatan menuju Utara. Namun, karena proyek tersebut masih berbentuk euforia, hasilnya tidak begitu baik. Pengaturan jalur bisa dibilang kacau dari pada amburadul.
Puluhan penumpang berdesakan hampir di seluruh halte. Jalur-jalur busway berlubang dan berebut dengan jalur umum, tidak mengenakkan. Apalagi di halte transit Monas ini. Halte darurat tidak memberikan kesejukan air conditioner karena halte benar-benar terbuka. AC-pun jadi sia-sia, malah debu yang membonceng buswaylah yang mendominasi.

Wah bener susah untuk fokus! Ga tau deh ini tulisan mau ke mana? give-up deh. Pikirin sendiri!

Selasa, Februari 28, 2006

Gudeg



"Namamu siapa?"
"Ika ajah!" senyum manis menyelip
"Ooh Ika."
"Iya." korsace masih terbaring di atas buah dada
"Emang orang mana?"
"Jogja," jemari menerjang helaian rambut pirang terkena cat
"Ngapain kamu berdiri begitu? Sini duduk!"
"Nggak ah," kerling menunjuk seorang pria
"Kenapa?"
"Bosku masih berdiri," kerling yang sama menatap nanar kursi kosong
"Emang kenapa kalo bosnya berdiri?"
"Iya ya, padahal semua kursi masih kosong," bahu bergoyang menebar tatap
"Trus kenapa ga duduk?"
"Aaah ga enak ah," darah menebar rona di pipi
"Ga enak kenapa?"
"Kan bosku berdiri. Masa aku duduk?" bibir mengerucut
"Lho apa salahnya?"
lesung pipit menyembul, simpul, pukul..
"Aaaah!"
...

Kamis, Januari 26, 2006

HUT Sopir Metromini

Terima kasih atas kadonya dik
Tapi ga usahlah doa panjang umurnya.
Kalau berkenan dik, doakan semoga bapak-bapak polisi di perempatan
jalan jadi konglomerat. Biar tak ada lagi uang rokok atau salam
tempel.
Atau kalau tidak doakan agar abang-abang bertato itu dapat lotere
agar semuanya bisa balik ke kampung-kampungnya.
Jangan lupa dik doakan agar abang dapat borongan dari pak presiden
saat beliau berkunjung ke ruang-ruang pengusaha.
Mungkin jika beliau yang menyarter, ongkosnya bisa jaguar.
Tapi yang paling penting dik, doakan agar abang bisa dapat uang
setoran untuk hari ini, esok, lusa, dan hari selanjutnya.
Terima kasih dik..

kantor redaksi koran nomor dua
260106

Rabu, Januari 18, 2006

Semek Down

MEMBALIK tanah, mengalirkan air, membajak, dan menanam, setiap tahun, setiap musim tanam pekerjaan itu menjadi langkah otomatis yang terprogram rapi dalam software kepalaku. Perpindahan matahari, wujud awan, dan pergerakan angin menjadi panduan yang lebih setia ketimbang para penyuluh dari desa.
Bila tanaman, memasuki masa tanam dan tiga minggu, serbuk urea dicampur sedikit sp36 ditaburkan di antara himpitan padi muda. Bak, gadis abg binal, tubuhnya merekah menampakan keelokan tubuh yang sehat. Hyang Sri memandu gadis-gadis itu agar mempercantik diri dengan perhiasan emas. Alhasil, pada hitungan bulan para gadis menguning karena kemilau di sekujur tubuhnya.
Sesekali, aku turun menyambangi para gadis. Tak lupa rumput penggoda dan benalu pengganggu dibabat agar senyum sang gadis semakin manis. Tidak jarang semprotan parfum pestisida dibalurkan bila buduk, kurap, dan koreng terlihat di kulit mulus para gadis. "Kangjeng Sri, lindungilah gadis-gadisku, berilah bayi-bayi yang gemuk dan sehat. Karena jika sakit, tak ada pilihan lain nilainya akan jatuh dan hanya Bulog yang mau membelinya dengan harga sangat murah," doaku setiap hari.

Ah! Orang-orang gila. Lebih baik mengasah ani-ani. Soalnya, dari perhitungan lalulintas mentari, dua minggu lagi gadis-gadis Hyang Sri akan melahirkan bayi. Biarkan orang-orang gila itu berkelahi, hanya cukup sebagai hiburan. Bukan sesuatu yang berarti apapun. Hanya hiburan bagi para penganggur yang konon banyak di negeri kaya ini.


"Pak petani, jangan takut pak, kami akan mendukung bapak. Pemerintah memang tidak pernah peduli dengan petani. Mereka hanya bisa mengambil keuntungan dari impor yang jelas merugikan kalian wahai petaniku!"

Tiba-tiba seorang priayi perlente menyapaku, berkoar-koar entah apa yang dibicarakan. Jangankan mengenal namanya, wajahnyapun baru kali ini terlihat, itupun dari selembar koran butut bekas alas pembungkus cangkul.

Sebuah suara lain menampar gendang perutku. Wajahnya kembung tak berhasil menekan baju safari yang kepayahan membungkus tubuh bongsornya. Dari balik safari tersebut terdengar cicit binatang yang paling aku takuti. Saku bajunya yang besar terlihat lembaran-lembaran warna-warni kertas bertandatangan direktur BI.

"Bapak petani, jangan percaya! Kami pemerintah melakukan impor demi terciptanya kesejahteraan petani. Kami tahu kalian juga makan beras. Harganya sekarang kan lagi tinggi, untuk itu demi kesejahteraan kalian kami akan mengimpor sedikit beras dari negeri tetangga!"

Tak ada aba-aba, tak terdengar bunyi bel, kedua orang tersebut berkelahi dalam pertempuran yang seru. Seperti pertandingan smek down yang ada di tivi, saling banting, saling jepit. Namun, anehnya semakin keras bantingan, semakin erat jepitan tak ada darah yang keluar. Sepertinya lantai sangat empuk, hanya gemuruhnya yang memekakan telinga.
Ah! Orang-orang gila. Lebih baik mengasah ani-ani. Soalnya, dari perhitungan lalulintas mentari, dua minggu lagi gadis-gadis Hyang Sri akan melahirkan bayi. Biarkan orang-orang gila itu berkelahi, hanya cukup sebagai hiburan. Bukan sesuatu yang berarti apapun. Hanya hiburan bagi para penganggur yang konon banyak dinegeri kaya ini..

Kantor Redaksi Koran Nomor Dua
abdisalira 180106