Selasa, Desember 27, 2005

Cerita di Kolong-kolong Jakarta




BERCERITALAH tentang hingar bingar kota megapolitan dengan kualitas kacang. Katanya ada sejuta impian di bawah benderangnya lampu merkuri jalan. Semua bergunjing tentang sejuknya air di bunderan HI sehingga tiap kegelisahan selalu mengerubutinya. Megahnya gedung beratap buah dada perempuan masih jelas mencoreti catatan mahasiswa gelisah. Berceritalah tentang kesaktian pengemudi metromini, meliak liuk di padatnya jalan ibukota. berceritalah tentang legenda bajaj. berceritalah.. berceritalah. diam. (CR-54)

Senin, Desember 12, 2005

Konser jazz yang cukup niat






Menonton konser bersama kawan-kawan memang asik. Apalagi kalau kawannya special pake telor. Tapi lebih asik lagi jika tontonannya cukup bermutu. Mengingatkan pada jaman kejayaan masa muda. Menggoyang-goyangkan dagu sambil mata merem melek sesekali menjepretkan kamera poket.. hmm asik juga. (CR-54)

Menengok dari jendela pesawat.






Tadinya mau mencari hutan pohon ulin tapi tidak berhasil. Jadi yaa cuma mengambil gambar awan dan apapun yang terlihat dari pesawat. Maklum dari dusun, jarang banget naik pesawat. (CR-54)

Sabtu, Desember 10, 2005

Aneka Rasa di Jalan



No comment... Lagi ga mood, tanpa inspirasi, kehilangan asa.. help..

Jumat, Desember 02, 2005

Berfikir Dalam




MEMBACA pikiran tak semudah membaca koran ecek-ecek atau tesis seorang profesor. Penyebabnya, pikiran manusia -seperti orang tua bilang- lebih dalam dari samudera. Alangkah sialnya jika kita tak menggunakan kedalaman tersebut. Betapa kita meremehkan kemampuan berpikir kita bila kita hanya berpikiran dangkal dan pendek. Dalam lah dalam hingga sinar dari lampu hologen terkuat pun tak mampu menjangkaunya.
Menyelaaam...

Kamis, November 24, 2005

Narcistist





Aku, kata yang sering keluar ketika berapology, atau mengklaim sesuatu dalam kata. Tapi yang jelas aku bukan penjelmaan seorang suci. Bukan pula sinthese dari gelap terang, hanya kata multy perception yang menunggu untuk didefinisikan. Aku sama seperti kamu, dikau ataupun siapa..

Rabu, November 23, 2005

Stil n Life






Diam dan hidup, hah judul yang aneh. Tapi setidaknya ini jadi rebound activity karena ga bisa nulis di blog lagi. Buset dah kering ide banget neh. Seperti diam tak berdetak tak bergerak, tapi tetap hidup baik rasa, bau, atau pandang. Hanya saja kehidupan yang diam membatu tak menentu.. Njriss pusing deh. udah ah jangan nulis banyak-banyak. Tambah ngaco ntar.

Senin, November 21, 2005

Old Frames






HA..HA.. kalo ingat Bandung pasti inget dinginnya air mandi dan senyum manis mojang-mojang Dago. Tapi itu dulu, sekarang Paristj van Java itu jadi tempat sampah super besar. Trus yang banyak terlihat senyum licik copet dan bapak polisi.
Yaa gitu deeeh..

Future tenses





KALAU kaset bagus habis lagunya, harus diputar balik, atau dibalik kasetnya. Tapi kalau sudah jenuh, regenerasi lah jawabannya. Kerja baru, langkah baru, harapan baru, dan tentunya masa depan baru yang lebih indah.


Kantor redaksi koran nomor dua
211105
abdisalira

Sabtu, November 05, 2005

Rindu Dendam

Lumayan beberapa kali revolusi bulan telah berlalu sebelum aku kembali
ke kota kembang, kota kelahiran, kota Bandung. Perasaan rindu seakan
telah meluberi dada hingga sedikit menyesaki dada. Kendati demikian
tak kunjung tiba kesempatan berkunjung ke kota Paristj van Java.
Hingga akhir minggu lalu, kesempatan tersebut hadir jua. Meski
kesempatannya yang terbilang pendek, tak cukup waktu meski untuk
berkunjung ke kediaman dua orang sahabat lama. Namun, perasaan rindu
sepertinya menjadi remote yang menggerakan kaki melangkah ke terminal
Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Tindakan ini bukannya tanpa konsekuensi. Sebuah permintaan dari
seorang yang 'istemewa' harus ditampik dengan berbagai alasan.
Begitupun kehendak seorang yang 'terhormat' turut terlindas oleh
gerakan kaki yang disetir perasaan rindu.
"Bukan apa-apa, hari ini hari istimewa, hari fitri ketika setiap
insan, secara instingtif, tertarik untuk kembali ke 'habitatnya' atau
lebih dikenal dengan istilah mudik. Buat apa kita bercokol di kota
yang telah sepi ini?"
Kota Bandung...

Selasa, November 01, 2005

Lebaran Bung!

Aaah setahun lebih aku tinggal di Jakarta. Kota megapolitan dengan
multi etnis dan multi kepribadian so pasti. Tepat lebaran lalu aku
tiba di kota ini, beberapa ruas jalan di Jakarta ini pernahlah
kuinjaki. Tapi tak sepicis pun pengertian mendalam tiba di nalar
berkenaan penduduk ibukota negara yang kayaraya dalam sumber daya,
tapi miskin dalam ekonomi dan moral.
Setahun bukan waktu yang singkat, tapi cukup kuat untuk membawa kesan
berikat. Segala sepak terjang pasti akan bersinggungan dengan perasaan
dan kepekaan orang lain. Hal itu membor kesadaran di lapisan ketujuh
pikir dan rasa. Untuk itu ada baiknya kita kembali merevisi segala
tindak dan tanduk yang salah dan merugikan.
Untuk melangkah menuju ke mahligai itu tentunya butuh pijakan baru
yang terlepas dari kesalahan di masa lalu. Mungkin dalam suasana
lebaran yang suci ini, pijakan baru tersebut kita gelar. Mohon maap
lahir dan batin, mungkin segala macam keureuteug di blog ini
menyinggung atau mengganggu pembacanya. Mohon maap lahir dan batin,
mumpung langkah masih lah bertambah, hinga zaman baru mulai tergugah.
Mohon maap lahir dan batin, minal aidzin wal faidzin.

kantor redaksi koran nomor dua
abdisalira@011105

Jumat, Oktober 28, 2005

Mempertanyakan arti keikhlasan

MUMPUNG masih dalam suasana bulan ramadhan, bolehlah kita bicara hal-hal yang spiritual. Supaya pembahasan lebih singkron, kita lihat salah satu iklan yang dalam bulan ini banyak menghiasi layar kaca kita setiap hari.
Sebuah iklan dari perusahaan besar pembuat rokok yang dananya banyak dikucurkan untuk menghibur penggila bola di Indonesia. Ya Jarum (ini bukan iklan; cateut).
Iklan ini mengetengahkan kehidupan sebuah rumah kost pria. Di dalamnya terdapat mahasiswa-mahasiwa yang tipikal anak kost lah, pas-pasan. Sedangkan pemilik kost-an sendiri ialah ibu-ibu beretnis tionghoa yang tampaknya bukan muslim.
Hal menarik dari iklan ini justru pada pesan moralnya tentang toleransi. Toleransi yang ditawarkan dibumbui keikhlasan. Oke pokok pembicaraan kita rasa ikhlas. Menurutku, gambaran keikhlasan di iklan ini cukup mengena. Sangat sederhana dalam pembobotannya, tapi berdampak cukup ngeh saat memandangnya. Seorang ibu non muslim membantu proses ibadah dua anak muda muslim dalam menjalankan ibadah
puasa.
Oke lah, mungkin kadar ikhlas ini bisa dipertanyakan. Soalnya, sang ibu berbuat tersebut dengan membayangkan anak-anaknya yang tak ada info apakah masih hidup atau tidak. Yang jelas mereka tidak hadir di rumah tua tersebut. Bisa dibilang perbuatan si ibu didorong perasaan kasih pada anak-anaknya.
Tapi, jika kita mempertanyakan kenyataan itu, timbul perasaan merendahkan keluhuran budi seorang ibu. Berdosalah kita. Bukankah setiap perbuatan orang selalu ada motifnya. Seorang pacar berbaik-baik berharap mendapat kasih. Seorang abdi beribadah berharap mendapat pahala. Seorang ignorant berdiam diri berharap tak mendapat
gangguan. Selalu ada motif. Jadi keikhlasan pada dasarnya bukan sesuatu itikad tanpa pamrih.
Permasalahannya pamrih jenis apa yang ditujunya. Menurutku pamrih yang dipertunjukan dalam iklan tersebut cukup mulia. Cukup ideal untuk mendefinisikan arti ikhlas. Ah.. jika gambaran tersebut adalah gambaran nyata, betapa indah hidup kita ini. Sayangnya gambaran tersebut adalah gambaran dari sebuah iklan yang nyata-nyata bertujuan
menggiringa penonton untuk bersimpati (baca: membeli produk) pada Jarum.
Tapi tak apa lah setidaknya gambaran tersebut cukup menghibur. Salut pada kreatornya, siapapun dia.

Ruang redaksi koran nomor dua
281005@abdisalira

Senin, Oktober 17, 2005

Pejuang Kehidupan, Pejuang Indah



"Hai apa kabar? Sudah lama ga ketemu."

Bangsat! Masa hanya itu yang bisa aku pikirkan. Padahal, tiga bulan gaji yang tak seberapa kuterima telah dihabiskan untuk membeli tiga buah buku; sebuah roman picisan, sebuah buku tips mendapatkan perempuan dalam seminggu, dan buku tata cara menghipnotis pikiran perempuan. Tapi, cuma itu yang bisa aku pikirkan. Sialaaan!

Malam sudah menembus level akhir, tepatnya 23.30 WIB. Jakarta masih saja menari. Deru berbagai kendaraan masih saja mampir di daun telinga yang mulai emoh menyimak kenapa. Terkadang jerit sirine mobil entah polisi atau ambulans atau mungkin mikrolet yang sok menakut-nakuti mobil di depannya, menyelinap di antara gemuruh tak henti. Jika sedang beruntung bisa terdengaran lantunan pria khas Madura meneriakan sebuah kata panjang.

"SATEEEEEEEEEEEEEEEE!"

Kamar kost-an ini memang terletak tepat di pinggir jalan di ujung selatan kota megapolitan ini. Ruas jalan yang tak terlalu besar kerap kali dilalui truk, bus, dan kendaraan lainnya yang hendak memasuki Jakarta dari pintu selatan. Lazimnya mereka membawa berbagai oleh-oleh dari kota-kota di kaki Gunung Gede-Pangrango dan Halimun. Puluhan keranjang berisi ayam, sayuran, buah, atau buruh yang komuter pada malam hari mengiringi kendaraan berbentuk aneh penyebar aspal hotmix.

Kamarku hanya dibatasi dinding tipis dengan kamar tetangga yang hingga kini tak kukenali siapa nama-nama mereka. Kusen jendela yang keropos seperti enggan menggenggam kaca yang menempel, hingga tiap mobil besar lewat dia selalu bergetar menimbulkan bunyi seperti kekeh menyebalkan. Dari bawah daun pintu triplek yang ngatung kerap menyelinap mahluk menjijikkan seperti tikus ataupun coro.

Semua itu menjadi tetangga yang paling sering menyambangi dibanding tetangga lain berwujud orang. Sudah setahun aku tinggal di Jakarta. Kebiasaan para penghuni kota ini tak pernah bisa kumengerti. Mungkin aku sendiri terlalu sibuk, meski untuk mencoba mengerti. Aku tak ada niat mengenal tetangga, aku ingin tak dikenal. Toh mereka sendiri tak ada niat mengenalku. Malas! Jakarta memang aneh.

"Kenali tetangganya dong Mas. Kalau ada apa-apa kan bisa ada yang membantu," kata Sum suatu ketika. Entah kenapa dia bicara begitu, mungkin karena dia melihatku tak pernah punya teman.

Di kota ini sebuah senyuman bisa dianggap sebuah ancaman. Bukannya akan dibalas senyum, salah-salah malah digebuk orang. Mungkin karena tak ada hal yang gratis di ibukota ini. Itu pula yang membuatku selalu langsung masuk kamar sepulang kerja, tanpa senyum, tanpa basa-basi. Persetan dengan tetangga.

Ah iya, Sum, Sumiati. Perempuan yang membuatku merasa sakit di dalam pinggang. Kadang-kadang merasa sesak di dada. Tapi merasa nyaman saat mendengar suaranya. Dialah alasan utama aku tinggal lama di kota ini. Kota yang setiap hari mempertemukan muka-muka baru di hadapanku. Datang dan pergi, entah kemana. Hanya berpapasan, tanpa ekspresi, melintas tanpa sapa.

Ah, mengapa memikirkan kota dan penduduknya yang aneh ini. Biarkan hanya koran dan para pujangga saja yang memikirkan kota asing ini. Bahkan koran nomor dua yang tergeletak di atas mejaku sudah tersiram kopi hitam yang sedianya menemaniku merangkai jurus menggaet Sumiati. Ya, Sum, perempuan penghuni mesin jahit nomor delapan di pabrik garmen tempatku bekerja. Perempuan yang setiap harinya, selama 16 jam lebih selalu kulihat menempel pada mesin jahit produk Cina.

Selama itu, binar matanya tak pernah lepas mengomandoi jemari lentiknya menari-nari menuntun benang-benang perajut kaos bermerek yang hanya dijual di luar negeri. Aku selalu kagum dengan keperkasaan perempuan itu. Meski setiap bulan hanya menerima gaji yang masih kurang bila ingin membeli sepatu bola merek adidas yang diiklankan David Beckham, toh ia tetap antusias dengan pekerjaannya.

"Aku harus kerja Mas. Buat bantu adikku, si Adi, biar dia bisa sekolah. Sampai dia lulus SMA deh, supaya aku bisa tenang," ujarnya suatu saat ketika aku mampir membeli pisang goreng yang ia jajakan sebelum ia memasuki kerangkengnya untuk bekerja.

Aaah, dialah perempuan idamanku. Seorang perempuan yang kegagahannya melebihi kegagahan seorang aparat yang kerjanya nyegatin sopir mikrolet di persimpangan depan. Ya, kegagahan menghadapi permasalahan hidup, tanpa menjadi masalah bagi hidup orang lain. Dialah jiwa yang aku cari untuk mengisi kerangka yang hilang di pinggangku.

"Dikuliahin malah drop out! Mau jadi apa kamu? Jadi pegawai pabrik?!"

Itu wejangan terakhir ibuku, saat aku meninggalkan kota kelahiranku lima tahun lalu. Apa salahnya jadi pegawai pabrik. Buktinya, aku menemukan Sum yang jauh lebih mulia dari semua direktur perusahaan multinasional yang fotonya terpampang di setiap sudut ruang rumah orangtuaku di sana. Sum.. Sumiati, perempuan dengan keindahan memancar yang hingga kini tak pernah kuketahui dimana rumahnya.

Keindahan bukan datang dari banyaknya kepala tertunduk karena takut dipecat, berjejer setiap melangkah. Keindahan justru datang dari ketegaran jiwa yang membuat sesuatu di dalam pinggang melilit dan kedua bola mata berkaca-kaca. Keberanian, perjuangan, dan ketabahan. Itulah Sumiati, perempuan yang hilang dari dalam pinggangku.

Aaah, dia terlalu indah untukku. Meski ruang tempat mesin jahit yang sering ia duduki berada dalam kerangkeng kawat yang dikunci supervisor galak yang badannya semakin bengkak setiap kutemui. Kerangkeng kawat tersebut merupakan ruang koleksinya, tempat ia menyimpan angsa-angsa indah yang bertelur emas. Tapi hanya satu angsa yang hampir meledak meluberi otakku. Dialah Sum.. Sumiati.

Sudah puluhan, bahkan ratusan angsa pergi meningalkan sangkar tersebut akibat kejenuhan, ketidakpuasan, atau kalah. Hanya Sum yang selalu bertahan, menghasilkan jutaan telur emas yang memperkaya para petinggi perusahaan yang menggurita di seluruh dunia. Sum bertahan bukan karena ambisi karir (tak ada karir di dunia sangkar kawatnya), bukan karena putus asa, bukan karena gaji yang jelas-jelas jauh di bawah standar UMR. Dia bertahan karena sebuah harapan, harapan memandang dunia yang layak di depan adik satu-satunya. Dunia yang ia sendiri tak pernah mengecapnya. Itulah Sum, Sumiati-(ku).

Kopi yang tumpah di atas koran nomor dua bergambar orang kontet yang juga nomor dua di negara ini, mulai menetes akibat gravitasi. Bercak hitam jelas tampak di bungkus gorengan yang terbuat dari koran dengan berita lintas dengan judul "Grup Bukaka menguasai proyek-proyek infrastruktur, selebihnya dikuasai Ical". Ah, apa pula pembangunan infrastruktur, toh hasilnya tak pernah nyata dirasakan oleh orang-orang seperti Sum. Nampaknya, berita seperti itupun tidak istimewa, buktinya hanya menghiasi berita lintas di koran yang ga jelas asal muasalnya itu.

"Fokus! Fokus! Bagaimana caranya dapatin Sum, itu yang utama!"

Semua buku bekas yang aku temukan di emper jalan dan berderet di rak darurat di sudut kamar masih saja bisu. Lembaran kertas kusut semakin menumpik di atas kasur butut, tak ada rumusan kata yang cukup indah bagi jiwa seperti Sum. Dua tahun menggeluti pelajaran sastra di kota gudeg sepertinya tak cukup. Bahkan sastra sendiri akan malu, mengkerut dihadapan Sum. Lalu apa dayaku mendapatkan Sum.. Sumiati.

Radio transistor masih mendendangkan Meggy Z, suaranya tergagap-gagap, entah chanelnya tak tepat atau baterenya sudah sekarat. Baiklah, sastra bukan cara yang tepat, dangdut mungkin akan lebih cepat. Bullshit dengan sastra, yang penting isi kepalaku harus mengalir, biar isi pinggang tak lagi melilit. Biarlah gagal menjegal, yang penting aku tak akan menyesal meski memiliki Sum akan batal.

Segelas kopi lagi mungkin akan memperlancar makna yang ingin kusampaikan, mengalir melalui tinta penaku. Yaa, hanya segelas kopi hitam dengan sebatang rokok, teman setiaku dalam setiap keadaan. Mereka sahabat yang memberikan jalan bagi isi kepalaku agar menjadi makna.

"Segelas kopi hitam sudah tersedia, sebatang rokok telah menyala. Tunggu aku Sum!"

Hai Sum, masih ingat aku ndak? Aku pembeli setia pisang goreng yang hingga kini masih mengutang untuk lima biji pisang goreng buatanmu. Sebenarnya aku mau ngomong langsung, tapi aku ndak berani...

"PAK RT! PAK RT! BANGUN PAK!"

Jeritan suara sopran mencegat perjalanan khayalku yang coba mengalir ke dalam lembaran kertas. Suara tersebut jelas terdengar dari kamar tetengga yang merupakan ketua RT di lingkungan ini. Ia lah pemilik petakan kamar yang menurut dia sendiri, seluruhnya dihuni pegawai pabrik termasuk diriku sendiri.

"Iya..iya..!" Suara lemah terdengar menjawab. Nampaknya, pak RT telah terlelap sebelum gedoran di pintunya membangunkan. Bunyi putaran kunci terdengar diikuti kreot pintu triplek yang sepertinya telah dibuka pak RT.

"ANU PAK.. SI ADI..."

"Ada apa dengan si Adi Bu?"

"Si Adi nangis di depan kamarnya Pak!"

"Lho Ibu ini, ya ga apa-apa toh kalo dia nangis. Laki-laki juga kadang bisa nagis loh Bu. Paling-paling dia diputusin pacarnya."

"Bukan Pak! Anu Pak, waktu saya tanya kenapa, dia bilang kakaknya mati. Itu loh Pak si Sum, Sumiati!"

"Yang benar toh Bu! Ibu sudah melihatnya? Kemarin emang dia ngaku agak demam, tapi masa bisa meninggal?"

"Iya Pak RT, saya sama suami saya sudah melihatnya. Dari hidung, telinga, dan mulutnya keluar darah! Dan..dan.. yang jelas dia ga bernafas! Sudahlah Pak ayo lihat sendiri, saya ga tega melihatnya, juga melihat si Adi. Dia lagi ditemani suami saya, ayo Pak!"

"Iya iya. Ayo kita ke sana Bu!"

Keributan sejenak tersebut berlalu begitu saja, hanya bara dari rokokku yang membangunkan kesadaran. Kopi dalam gelas kedua telah tumpah tanpa disadari. Air hitam menggenangi lembaran kertas yang sedianya menjadi surat buat Sum, Sumiati si pejuang gagah, Sumiati-(ku).

Ruang redaksi koran nomor dua
abdisalira©171005

Selasa, Oktober 04, 2005

Refleksi

BERJALAN di kerumunan orang, bukanlah pekerjaan yang mudah. Menginjak jempol kaki, menjitak pantat dan mencium sikut merupakan bonus yang tak terelakkan. Belumlah dihitung bau keringat, bau mulut dan beribu macam bau lainnya tak henti menikam indra penciuman. Tak lupa, dentum kendang dari penyanyi dangdut yang disetel pada volume penuh dari sebuah tape dengan speaker rakitan turut memekakan telinga.

Meski begitu, suasana akrab akan lebih terasa pada suasana tersebut. Tak jarang senyum kenes mampir di pelupuk mata, sedikit bonus kerling akan menjadi paduan meriah yang murah bagi badan dengan kondisi lelah. Simpan tas di depan perut, masukkan dompet ke saku depan, matikan hape, tajamkan pandang, itulah pesan seorang teman. Kabarnya, jalan Pasar Baru, di jantung kota kembang ini merupakan sarang ratusan copet yang terbilang ganas.

Lebar trotoar yang tak seberapa masih harus mengalah dengan pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai barang dagangan. Dari aksesoris perak sampai celana dalam lokal berlabel impor berduyun-duyun menyerang pandang di sepanjang jalan dengan rentetan gedung tua khas jaman kolonial.

Matahari masih saja memajang senyumnya yang terik menghunjam jalanan hotmik di Jalan Oto Iskandardinata, Bandung. Kendati sinarnya tak jua menyentuh sang hotmik karena ratusan angkot, mobil pribadi, bus Damri, sampai gerobak pedagang kaki lima seperti tak sudi membiarkan keromantisan antara sinar surya dengan sang hotmik. Mereka silih berganti menyelimuti badan jalan dengan langkah tertatih-tatih.

Namun, hal tersebut tak mengurangi hawa panas yang menyengat tenggorokan dan membakar kulit dengan suhu mencapai 37 derajat celcius. Entah kemana kesejukan Paris van Java yang kondang dengan kerya artdeco anak-anak kompeni? Hari ini hanya keakraban Sahara, terpampang jelas di kerumunan orang, di jalan Otista, di bawah terik surya pukul 13.27 WIB.

"Neng, ini mah katun asli. Pasti adem, sudah gitu cocok dengan sepatu eneng kan bisa mecing kata anak-anak mahasiswa mah!"

Celotehan seorang pedagang cukup menarik perhatian. Ia menawarkan sebuah t-shirt merah menyala. Tulisan 'happy girl' besar, terpampang tepat di bagian dadanya. Tulisan berwarna putih tanpa outline itu tajam mencolok mata akibat warna kontras dari merahnya warna kaos.

Sesosok perempuan dengan potongan rambut pendek berdiri tepat di depan kaos yang di pampang penjual tadi. Perempuan itu mengenakan blouse putih yang dipampang di atas rok panjang berwarna hitam. Di bahunya tergantung tas kecil berwarna hitam. Hanya sebuah stileto setinggi 12cm, berwarna merah, menjadi aksen kontras bagi paduan warna yang melekat di tubuhnya.

Dari bibir polos sang perempuan tak terlihat akan datangnya suara menjawab tawaran penjaja kaos. Hanya seulas senyum, sempat melintas singkat di bawah hidung munggil lancip yang menggantung di permukaan muka yang berbentuk oval sempurna. Meski, mata yang bening itu seperti lembab menahan cairan bening di selaputnya, tapi diam tetap menyegel mulutnya.

"Murah kok Neng, cuma Rp15 ribu saja. Kalau beli dua dapat satu, bonus!"

Penjaja kaos itu kembali melapalkan jampi pemikat bagi pembeli yang masih bimbang. Beberapa pedagang tetangganya melirik sang perempuan, iri melihat keberuntungan temannya. Sebagian lain hanya menengok sejenak dan kembali melipat-lipat dagangannya sambil tak lupa berteriak-teriak menawarkan jajaanya.

Menahan godaan sang pedagang, tangan yang juga munggil milik sang perempuan terangkat dengan getaran kecil. Seolah ia dipaksa menyentuh benda yang seumur hidup pun tak mau ia sentuh. Jari-jarinya menyusuri lengan kaos, melaju ke bagian bahu dan berakhir di bagian dada, tepat di atas tulisan putih. Sedangkan tangan satunya masih saja menggepit tas di dadanya.

"Bagus kok Neng! Ini bahannya dari katun asli, jahitannya juga bagus. Pokona mah cocok lah dipake sama eneng!"

Seolah mendapat penonton yang apresiatif, pedagang kaos kembali melantunkan khotbah tentang kualitas kaos. Tak lupa ia membolak-balik kain di bagian jahitan kaos. Kemudian ia juga mengambil warna lain kaos. Bukan saja merah, kaos-kaos dagangannya memiliki berbagai variasi warna; biru, hijau, pink, sampai ungu pun ada. Hal yang pasti semua kaos tersebut memiliki hiasan berupa tulisan yang sama.

Setelah menjejerkan kaos-kaos tadi di atas lapaknya, pedagang tersebut kemudian terdiam. Aral penyebabnya, sang perempuan hanya terdiam, memeluk tas dan tetap berdiri. Walau kadang bergoyang karena tertabrak pedagang asongan yang entah sengaja atau tidak menyenggol lengan perempuan. Seorang preman sedikit menempelkan hidungnya di depan muka perempuan, penasaran dengan kulit langsat di lengan dan betis perempuan ber-stileto merah.

Selama hitungan detik, suasana seperti sebuah pantomim. Gerakan terhenti, waktu seperti termanggu, bak gambar yang terpenjara dalam bingkai kamera.

"Saya ambil satu, yang merah deh Mang!"

Tiba-tiba, sebuah suara sopran melonjak dari bibir tanpa polesan, memperlihatkan deretan gigi yang rapi terselip di selanya. Waktu kembali bergulir, suasana menjadi cair, dan keheningan pun berakhir. Perempuan itu merogoh tasnya, mengambil dompet merah. Sementara sang pedagang mulai melipat seadanya kaos merah, membungkusnya dengan kertas koran, memasukan kedalam kantong plastik dan menyerahkan pada sang perempuan.

Setelah menerima bungkusan kaos, perempuan itu mendekap bungkusan kaos. Setetes air bening terjatuh dari sudut matanya. Selanjutnya ia menyerahkan selembar uang sambil menunduk dan menyelinap di antara kerumunan orang. Pedagang kaos menerima uang dari perempuan dengan pandangan membuntuti arah perginya. Setelah tak terlihat, ia menjatuhkan tatap pada helaian uang.

"Wei Neng! Duitnya kebanyakan, kembaliannya belum diambil!"

Tak ada respon dari kerumunan orang, hanya beberapa mata menolehkan kepenasaranan pada si pedagang.

"Aaah aneh-aneh aja, tapi lumayan buat penglaris!"

Pedagang itu menepuk-nepukkan uang lima pulahan pada kaos dagangannya. Kerumunan bak tirai gedung bioskop kembali menutup pandang ke arah pedagang kaos. Hawa panas kembali bertawap di wajah. Deru suara mobil masih terdengar, tatkala lantunan dangdut memasuki akhir lagu. Beberapa teriakan pedagang semakin jelas tersimak.

Kota Bandung masih genit mempertontonkan kesemrawutan, tapi tak luput sebuah drama menghiasi jalanan padat di sepanjang Oto Iskandardinata.


Ruang redaksi koran nomor dua
abdisalira©041005

Rabu, Agustus 31, 2005

Pledoi


SAAT hati sedih, paling enak tentunya segelas kopi hangat, sebatang rokok, musik melow dipadu dengan rintik hujan gerimis. Ya kalau ada sedikit dana, mungkin sebotol 'Jack D' akan semakin meriah. Layak menjadi katarsis segala kesedihan.

Akan tetapi, jika hal itu tak memungkinkan, cukup sebuah korsi nyaman yang menghadap kegelapan malam, bisa menjadi latar untuk melamun. Setidaknya, menghindarkan diri dari lamunan jorok atau yang terlalu dramatis. Soalnya, kondisi seperti itu harus tepat penatalaksanaannya. Sebisa mungkin, jauhkan segala jenis racun (racun tikus, pun serangga), segala jenis tali atau batang pohon nangka yang menganggur. Bahaya nanti, bisa-bisa masuk catatan para loser yang berpikiran kate.

Pokoknya, banyak alternatif bisa dilakukan sebagai pelipur sendu, penghilang lara, dan pengusir sedih. Namun beda ceritanya jika kondisi hati sedang senang. Perasaan senang ternyata membutuhkan partner yang lebih kompleks ketimbang segelas kopi atau sebatang rokok. Perasaan senang membutuhkan orang yang bisa ikut merespon atau minimal berresonansi dengan perasaan bahagia kita. So, here I am, a very happy man. Hanya yang kurang.. tidak ada any happy partner.

Ok, cukup pembicaraan sentimentil tentang senang dan sedih. Berapa orang mati dalam sehari di seluruh dunia ini? Berapa orang lagi terlahir disambut senyum antusias dari orang-orang tuanya. Walhasil, kesedihan dan kebahagiaan tetap akan menjadi siklus yang secara simultan akan saling bertumpang tindih, silih berganti mewarnai atmosfir dunia.

Masih perlukah pembicaraan sentimentil ini dilanjutkan. Karena toh kehidupan tetap berlalu. Sang kala akan tetap berkelana menjelajahi dimensi ruang di setiap sudut kehidupan.

Hari ini seperti berbagai hari sebelum kemarin, kehidupanku tetap menampakkan dua sisi berlawanan. Ibarat kulit keping uang recehan tak cukup berharga untuk membeli asa yang menggelembung di kepala. Ia hanya pas dimasukan ke dalam kaleng yang diedarkan di mesjid-mesjid, di kabin bis patas reguler atau di beberapa jalan sempit dekat pemukiman kumuh yang banyak terdapat di kota-kota besar. Tak cukup memberi kenyamanan pribadi, hanya bisa berkontribusi untuk kemaslahatan bersama.

Hari ini pula, suara burung hantu seperti kehilangan makna. Tertunduk malu di hadapan merdu bunyi kutilang dari sangkar burung tetangga yang cukup keras bersuit mengalahkan desau angin dingin malam. Hari ini seperti halnya hari-hari setelah besok dan lusa, tetap hanya menjadi hiasan kalender yang dibuang saat tahun berganti.

Sehingga, buat apa aku berspekulasi dengan berbagai praduga atau prafakta yang terrencana? Entoh aku hanya salah satu punakawan yang mencoba lucu dengan gestur yang didorong gerak lembut jemari Ki Dalang. Hanya penghayatan yang aku butuhkan. Bukan penyesalan atau kepongahan yang menjadi atribut setiap keberhasilan. Cukup menjadi catatan kecil yang menempel di pintu kulkas berisi berbagai bahan makanan jiwa.

Teriakan Eddie Vedder terdengar dari ponsel buluk dalam saku celana. Jeremy spoken in the class today. Suara itu cukup menyentakkan dada dalam kesunyian. Mengapa ponsel selalu berdering saat malam menjelang larut. Mengapa pula ia tak pernah mengucap permisi atau sekedar mengetuk pintu. Apakah dia mendapat jatah lembur?

Hanya sebuah miscall. Nampaknya ia menyadari perasaan sebal yang terpancar di bibirku. Namun tak berlangsung lama, dering sederhana kembali bergaung dari dalam saku celana. Pesan pendek telah sampai dalam kotak surat ponsel buluk sisa-sisa kejayaan masa kuliahku. Sebuah sms menanti apresiasi.

Sebuah nama muncul di layar kecil dengan goresan di mana-mana. Sebuah sms telah tiba tepat jam satu lewat duapuluh tujuh malam. Menekan tombol ponsel berarti menggelindingkan diri ke dalam dunia si empunya nama. Kutimang-timang, akhirnya kutekan juga tombol.

Sial! sudah datang tanpa sopan masih menyuruh menunggu. Dasar ponsel lapuk buatan orang-orang buluk! Sebaris kalimat singkat tertera di layar. "Mas, bapakku meninggal."

...

Sebuah pertanyaan sederhana menghantam fondasi kesadaranku. Sebuah pertanyaan tak bermakna menghancurkan tiang-tiang penalaranku. Sebuah pertanyaan tanpa kata membanjiri otak yang menembus batas pemisah rasio dan emosi. Bagaimana menyambut kesedihan orang lain?


kantor redaksi koran nomor dua
abdisalira©270905

Sabtu, Agustus 27, 2005

Absorber


abdisalira©150805

Deru

“Puisi merupakan gelombang perasaan yang menderu menjadi ombak, dan sajak-sajak adalah pecahan mutiara ratnanya. Dalam puisi, rasa harus menjadi mutiara, artinya ia bukan sekadar letupan emosi-emosi yang liar mencari jalan pembebasan, tetapi ia merupakan sumber daya kejujuran emotif yang akhirnya memberi dampak efektif berupa makna. Baik bagi pemiliknya, penyair, maupun bagi penerima yaitu pembaca.”
(Ade Kosmaya, Pesan Ombak Padjadjaran, 1993)

Mogok Diam

“Abaaaah! Gimana atuh itu si Kabayan dan si Armasan lagi mogok diam? Mereka tak mau datang ke acara syukuran keberhasilan Abah. Tiap ditanya selalu tidak nyambung. Gimana atuh Abah?!”

Iteung berteriak-teriak hendak mengadu pada bapaknya, yang sore tadi telah merayakan kemenangan atas haknya menjadi Kepala Dusun. Bukankah seharusnya suami dan sahabatnya itu datang dan turut bersuka cita atas apa yang terjadi pada mertua dan mertua sahabatnya itu? Ditambah lagi mengingat begitu kencangnya hujatan para tetangga dan warga dusun yang menuduh Abah sebagai pelaku penyabotan bibit padi jatah penduduk, yang kebanyakan adalah petani tersebut.

“Mereka teh nyerocos dan meracau terus-menerus tanpa mau berhenti. Padahal, sudah malam begini mereka tetap tak mau berhenti bicara. Katanya mereka melakukan mogok diam!”

Meskipun Iteung tak tahu alasan pasti perbuatan suami dan sahabatnya tersebut dan apa yang dimaksud degan mogok diam. Bagi dia, tindakan kedua orang terdekatnya itu tidak masuk di akal. Soalnya ketika seseorang melakukan sesuatu harus ada alasan dan alasan tersebut harus diungkapkan agar semua orang mengerti. Akan tetapi, hal tersebut tidak dilakukan oleh baik Kabayan maupun Armasan. Ia menduga tindakan mereka didasari pencalonan Abah sebagai Kadus. Meskipun demikian, bukankah Abah sudah sangat qualified untuk menjadi Kadus, mengingat kemampuannya menyuburkan lahan pertanian miliknya? Padahal, seluruh lahan sawah di dusunnya saat ini tak satupun yang menghasilkan panen, karena tak memiliki bibit untuk ditanam.

“Abah! Bagaimana atuh? Abah harus menjelaskan pada mereka bahwa Abah teh telah terbukti layak menjadi Kadus, kan sudah dibuktikan dengan keputusan rapat para sesepuh dusun dalam pertemuan tadi sore.”

Iteung masih saja merengek pada bapaknya yang saat itu masih berada di ruang pavilyun dengan semua jendela dan pintunya tertutup rapat. Ia berharap bapaknya akan menemukan solusi untuk menghentikan tingkah laku suami dan sahabatnya. Pasalnya, ia takut kedua orang tersebut akan mengalami hal-hal yang tak diinginkan sebagai efek dari perbuatan mereka.

“Bayangkan atuh Abah, mereka teh sudah berjam-jam ngomel terus, kadang tertawa dan kadang menangis, tanpa berhenti sedikitpun. Saya teh takut mereka akan kehabisan nafas, terus mereka mati karena kekurangan oksigen atau mulut mereka keram karena terus-menerus berbicara.”

Iteung tahu, apa yang terjadi pada bapaknya adalah hasil kerja keras yang tak kenal lelah. Kalau para petani yang lain tak berhasil, kan karena kemalasan mereka dalam menggarap lahan. Meskipun ia sendiri heran, bagaimana Abah memperoleh bibit padi ketika pasokan bibit dari pemerintah tak kunjung tiba ke dusun mereka?

“Iteung juga tahu, para pemuda karang taruna telah menuduh yang bukan-buka pada Abah. Kata mereka Abah telah menggelapkan bibit padi jatah dusun untuk dijadikan modal wawar-wawar kampanye Abah. Tapi, kan sudah terbukti dan terbantahkan dalam rapat kasepuhan dusun, tuduhan itu teh salah, tidak beralasan, tanpa bukti alias fitnah!”

Bagi Iteung, semua tuduhan itu bisa dianggap benar, bila keputusan rapat warga, keputusan musyawarah pimpinan dusun dan akhirnya keputusan rapat kasepuhan menyatakannya benar. Kenyataannya, hanya rapat warga dan musyawarah pimpinan dusun yang menyatakan hal itu memang terjadi. Akan tetapi, keputusan rapat kasepuhan yang menjadi keputusan tertinggi semua keputusan di dusunnya menyatakan bahwa Abah tidak bersalah. Jadi, cukup bagi Iteung untuk percaya kalau bapaknya itu memang bersih dan layak menjadi Kadus.

“Iteung juga tahu kalau Abah teh berniat menjadi Kadus karena ingin memajukan dusun kita. Jadi, mustahil Abah mewujudkan keinginan itu dengan menghalalkan segala cara. Kata orang juga, kalau tujuannya baik, maenya dilaksanakan dengan cara yang salah. Nggak mungkin Abah membeli kasepuhan untuk mendukung tujuan Abah.”

Para kasepuhan, diangkat oleh warga untuk menemukan solusi bagi berbagai permasalahan dusun, bukannya tanpa kualifikasi. Mereka haruslah terdiri dari orang-orang yang legok tapak gentèng kadèk dan orang-orang yang bijak dan adil dalam menghasilkan keputusan. Alhasil, bagi Iteung, mana mungkin bapaknya bisa membeli mereka. Ditambah lagi, meski ia sendiri tahu kadang-kadang bapaknya suka `khilap´, tak mungkin bapaknya tersebut mempunyai duit guna membeli para kasepuhan yang sudah makmur itu.

Setelah beberapa lama berbicara dengan pintu, Iteung mulai tak sabar untuk berbincang dengan Abah, yang tampaknya selalu diam di dalam ruangan papilyun yang tertutup rapat tersebut. Kemudian, karena merasa di rumah sendiri, Iteung menerobos pintu pavilyun rumah orangtuanya. Berharap menemukan Abah guna mendapat jawaban bagi unek-uneknya, Iteung dikejutkan dengan keramaian pavilyun, yang dipenuhi orang-orang tua dengan wajah-wajahnya yang tampak kaget campur takut. Tanpa berkata-kata, walau hanya untuk basa-basi, para tamu yang terdiri dari kasepuhan berloncatan melalui jendela malah salah satu di antara mereka menabrak Iteung dalam usahanya menerobos pintu. Mereka meninggalkan Abah sendiri di tengah ruang papilyun dalam keadaan mukanya tertutup sarung yang ia kenakan. Tindakan Abah itu, tak ayal lagi mengakibatkan terlihatnya barang, yang paling ditakuti dari tubuh laki-laki, miliknya, oleh anaknya sendiri.

“Abaaah! Ari Abah nanahaonan? Abah mana ambu? Abaaah! Iteung harus pulang. Naha Iteung ada di sini? Mau apa Iteung ke sini? Iteung lagi masak nasi. Nasinya bukan hasil panen Abah. Aduuh! Iteung belum nyuguhan si Armasan. Si Armasan teh sobatnya si Kang Kabayan. Si Kang Kabayan teh suami Iteung, jadi Iteung harus pulang buat nyiapin makanan...”

Iteung pun terbirit-birit lari menuju rumahnya tanpa menghiraukan beberapa kursi dan meja yang ia tabrak sampai berhamburan. Di rumahnya, Iteung, Kabayan dan Armasan kadang tertawa, kemudian menangis, selanjutnya berteriak, kadang terisak dan kadang terbahak, tak henti hingga malam terlewat, hari berganti, minggu berlalu dan bulan berjalan sampai ia lupa kapan ia harus terdiam.(*)

Dago, 160204
© abdisalira

Rabu, Agustus 24, 2005

Gundah Gundala

BERBICARALAH perihal gelisah. Gelisah, tak lain dan tak bukan adalah sepupu terdekat dari bayangan sebagai akibat sorotan berjuta lampu terhadap suatu objek. Bayangan itu mengelepar-gelepar mencoba memaknai diri dari wujud, sukar untuk diberi judul bentuk.

Bertanyalah kepada gelisah. Gelisah akan meniupkan sebilah angin dari mulut-mulutnya. Mulut-mulut itu tidak saja terletak di bawah hidung di samping pipi, menumpu pada dagu. Ia berdomisili dalam kepala yang kelelahan menampung dirinya sehingga menimbulkan hembusan angin. Angin itulah jawaban dari berlaksa pertanyaan yang diajukan pada gelisah.

Hayatilah waktu bersama gelisah. Gelisah bisa menghilangkan beberapa angka di jam maupun arloji. Diapun berkuasa menambah angka-angka tersebut hingga hitungan tak terhingga. Tak terhingga karena gelisah ialah sobat ngobrol paling pas untuk semua kesempatan. Kesempatan yang menelorkan rasa rindu pada kesunyian.

Berdamailah dengan gelisah. Gelisah dalam arti yang pas, sanggup menghadirkan bulan dalam menu sarapan pagi, makan siang, ataupun makan malam berhias lilin. Lilin menjadi panggung pertunjukan tari perut api yang bardansa bersama gelisah. “Ayo kawan! Mainkan samba, sambung dengan tanggo! Jika bosan hadirkan gogo atau hanya goyang jempol seirama kendang lagu dangdut!” ujar gelisah.

Bunuhlah gelisah! Gelisah membawa mati benang penarik mentari, laso pengikat candra, dan gelombang yang mengelus pesisir pantai. Pantai menjadi akhir gelora samudra yang resah dirasuki gelisah. Tenteramlah di ujung jalan yang menghubungkan trayek hidup dengan terminal kematian. Kematian hanya dikenali sepeninggalan lara, istri setia sang gelisah.

Ujung Selatan Ibukota
abdisalira©240805

Jumat, Agustus 05, 2005

Blue Note


MEMASUKI bus patas AC jurusan Depok-Kalideres, gerah menjadi raib, keringat terasa sirna, dan letih pun sedikit teralih. Suasana bus begitu sepi, beberapa pria terantuk-antuk menahan beban kepalanya yang seakan ingin menggelinding. Wajah seorang nenek tarsandar nanar menatap arah seakan berserah.
Seorang pemuda dengan dandanan perlente, membolak-balik koran seakan mencari kata-kata tersembunyi dibalik lembaran lusuh koran nomor satu di negeri ini. Kakinya menggantung di sandaran kursi depannya, tak muat untuk menapak lantai bus yang terbuat dari lempengan besi. Sepasang muda, dari tampilannya bisa dipastikan berstatus mahasiswa, asyik bercengkrama. Saling elus, saling cubit, saling bisik, takut pembicaraannya terdengar orang lain. Padahal, tingkah mereka mengabarkan kebebasan seolah merekalah pemilik dunia yang sumpek ini.
Dua orang pria setengah baya yang naik dari pintu belakang langsung mengambil posisi di kursi kosong. Secara otomatis, mereka menyandarkan kepalanya, menutup mata dengan diantar helaan nafas panjang. Bak melepas beban yang mereka pinggul seharian di luar bis. Tak berapa lama, hembusan nafas teratur mengalir dari kedua lubang hidung dan mulutnya.
Suasana begitu tenang, hanya terdengar sayup-sayup suara kondektur memuntahkan beberapa nama tempat yang kebetulan terlintasi bis. Aku pun duduk di bangku sebelah kiri yang mempunyai dua kursi tepat di sebelah sepasang muda yang sedang bercengkrama.
Di sebelahku, seorang gadis manis berambut hitam legam yang dijepit sebagian sedangkan sebagian lainnya dibiarkan terurai melintasi dahinya. Kemeja putih membalut tubuh disambut rok mini berwarna coklat muda tak kuasa menutupi kulit langsat di paha sang gadis. Sebuah tas bernuansa gading teronggok di pangkuannya. Sedangkan sebuah blazer, juga berwarna coklat muda, kepayahan menggapai tali tas kecil karena sebagian darinya telah terjatuh menimpa betis dan sepatu hak tinggi berwarna hitam.
Dari balik kacamatanya, bulu mata lentik terkatup tenang melabeli kepala indah yang tertopang lengan munggil, tersandar di dinding dekat jendela bis. Sebuah pemandangan indah pikirku. Seorang bidadari yang terlena damai setelah seharian bercanda di balik pelangi dan mandi di sebuah telaga.
Aku selalu terpesona dengan pemandangan seperti itu. Seorang pejuang perempuan yang berusaha menghiasi hidupnya dengan makna. Ia tak kenal lelah menggapai beberapa mimpinya, hingga kelelahan tersebut menerjangnya. Kantuk memeluk diantara hembusan udara sejuk dari lubang-lubang AC yang berjajar di atap bis.

**

"UNTARI!! Mana berkas tadi? Kenapa belum kau selesaikan juga?"
"Sudah kok Mbak. Aku sudah menaruhnya di atas meja, di balik map merah yang ada di sudut meja Mbak" jawab Untari.

Untari masih saja sibuk dengan beberapa kertas kecil, memberinya cap dan menjepitnya dengan kliper dan menyusunnya di meja. Blazer coklat mudanya masih terlihat rapi, meski gerakannya sangat gesit. Keselarasan tersebut seolah telah dilatihnya secara intensif sehingga dalam kesibukan apapun ia akan selalu tampak anggun dan ramah.

"UNTARI!! Kemana kuitansinya? Mestinya kan sudah terlampir bersama berkas ini!"
"Ini Mbak, aku sudah memberinya cap stempel dan telah menyusunnya. Maap tadi banyak sekali telepon yang masuk"

Untari tergopoh-gopoh memasuki ruangan asal suara keras tadi memanggilnya. Ia berlari kecil, rambutnya beriak-riak seiring gerakan lembut sepatu hitam berhak tinggi yang mengantarnya menjelang pintu bertuliskan Direktur "Operasional".
Sekeluarnya dari ruangan tersebut, Untari kembali tenggelam di antara tumpukan berkas yang tak henti bertambah seolah enggan untuk sirna. Kemudian seorang perempuan setengah baya mengikutinya. Ia mengenakan blazer merah menyala, dengan make-up yang tebal lengkap dengan lipstik, tak mau kalah, juga berwarna merah darah.

"Tari! Saya harus ketemu Bos dulu, jika ada tamu, bilang saya langsung pulang ke rumah ya! Kamu selesaikan berkas-berkas tadi, jangan lupa kirimkan surat-surat dan e-mail yang saya bikin di komputer!"
"Baik Mbak".

Untari mengantar perempuan tersebut hingga keluar, selanjutnya ia kembali berkutat dengan tugas-tugas yang menjadi warisan bosnya. Sesekali, dering telepon memaksanya mengambil jeda untuk kemudian kembali tenggelam dalam pekerjaannya tersebut.
Detik demi detik menjadi menit, menjadi jam, hingga sorepun tiba. Setelah seharian menulis, mengetik, membolak-balik berkas dan keluar masuk ruangan direktur, Untari hanya menyisakan sebuah berkas di mejanya. Suasana ruang kantor masih terasa sepi, di ruangan itu hanya ada dia dan bosnya.

"Hi Tari! Susi masih ada?"

Sebuah suara bariton meledakan konsentrasi Tari. Sontak ia berdiri dan beberapa langkah mundur, sehingga kursi di belakangnya terjengkang.

"Eh Ba.. ba.. pak. Ka.. ka..pan datang Pak?"
"Baru saja, by the way Susi mana?"

Pria tersebut mendekati meja, tangannya menjulur mencoba menggapai Untari.

"Eh maap pak, mbak Susi sudah pergi, katanya mau langsung pulang."
"Waah kebetulan. Tinggal kita berdua dong."

Pria berbadan gemuk besar tersebut berhasil memegang lengan Untari. Dengan bernafsu ia berusaha menarik tangan munggil tersebut.

"Apa-apaan sih Pak. Awas nanti saya bilang istri bapak!" ancam Untari.
"Bilang aja, paling kamu nanti dipecatnya. Kamu tahu kan bapak suka sekali sama kamu sejak pertama ketemu. Sudahlah, kamu mau apa? Pasti saya beri."

BRUAAANG!

Tiba-tiba suara kencang terdengar. Dengan sekuat tenaga Untari telah melemparkan vase bunga. Vase itu menimpa bahu pria tersebut kemudian hancur lebur menimpa lantai dari bahan keramik. Air, bunga, dan pecahan gelas berserakan di lantai, tepat di depan pintu yang telah terbuka dengan seorang perempuan yang memajang tampang menganga di wajahnya. Seketika segalanya seperti terkena kutukan, musnah kata, hanya kebekuan memenuhi ruangan.

**

Every litlle thing she does is magic.. Suara Gordon Matthew Sumner tiba-tiba menyeruak dari tas gading sang gadis yang sedang terlelap. Gadis itu hanya membuka matanya, namun selang beberapa detik ia merogoh tas kecilnya. Ia menimang-nimang K 750i miliknya, entah menikmati lagu atau menghitung berat HP berwarna hitam tersebut. Selanjutnya melepaskan kacamata dengan batang berwarna coklat dan menempelkan HP ke telinga polos, tanpa anting.

"Iya Kang, ada apa?"
...
"Aku lagi di bis, sejam lagi sampai."
...
"Ngga apa-apa kok, besok aku ga kerja.."
...
"Ngga kok Kang, aku nggak sakit, ..."
...
"Bukan! Bukan cuti, ... aku berhenti"
...
"Nanti aja ya Kang, aku lagi di bis. Nanti aku ceritakan"
...
"Bye"

Setetes air jatuh menimpa layar HP. Diikuti tarikan berat nafas, memulas kedamaian wajah sang gadis dengan goresan kegundahan. Tetap, wajah itu masih menampakan keayuan yang bisa menghisap pandang setiap pejantan.

"GROGOL SIAP-SIAP, YANG GROGOL SIAP-SIAP!"

Suara kondektur bis tiba-tiba memecah suasana. Sepertinya, itu tanda bagi sang gadis untuk bangkit dari kesenduannya. Ia melipat blazer coklat mudanya. Kemudian berdiri, menitipkan senyumnya di mataku.

"Permisi Mas?!"
"Oh iya, a..aku juga turun di sini kok" jawabku gagap.

Menerobos tubuh-tubuh manusia yang secara cermat ditata sang kondektur bukan hal mudah. Sang gadis mengikutiku, memanfaatkan hasil kerjaku menyingkap jalur menuju pintu keluar.

"GROGOL HABIIIS!"

Aku pun menapakan kakiku di aspal. Udara dingin AC berubah drastis dilibas udara Jakarta yang hangat. Kayu bakarnya, tentu saja, asap dari knalpot kendaraan-kendaraan yang berbaris tak beraturan di jalan-jalan Jakarta.

"Terima kasih Mas"
"Oh iya sama-sama"

Setelah meluncurkan kata tersebut, sang gadis melangkah menjelang jembatan penyeberangan. Setiap langkahnya memberikan ketukan yang menghipnotis pandangku untuk membuntutinya. Di sela jeruji jembatan, sosoknya terlihat melangkah gemulai dan anggun dihiasi rona sinar mentari senja yang keemasan.
Grogol masih saja semrawut, pedagang-pedagang asongan, kaki lima, dan pejalan kaki berebutan di lahan trotoar yang tak seberapa luas. Menjadi lahan empuk bagi para pencuri dan pencopet. Namun, hari itu hanya satu pencuri yang berhasil mencuri dariku. Seorang pejuang yang terlelap dihunjami desiran udara AC. (*)

Kantor Redaksi Koran Nomor Dua
abdisalira©050805

Rabu, Agustus 03, 2005

Wish List



I wish I was a neutron bomb, for once I could go off
I wish I was a sacrifice but somehow still lived on
I wish I was a sentimental ornament you hang on
The Christmas tree, I wish I was the star that went on top
I wish I was the evidence, I wish I was the grounds
Or fifty million hands up raised and opened toward the sky

I wish I was a sailor with someone who waited for me
I wish I was as fortunate, as fortunate as me
I wish I was a messenger and all the news is good
I wish I was the full moon shining off a Camaro's hood

I wish I was an alien at home behind the sun
I wish I was the souvenir you kept your house key on
I wish I was the pedal break that you depended on
I wish I was the verb to trust and never let you down

I wish I was the radio song, the one that you couldn't turn up


© Eddie Vedder

ps: Entah kenapa aku jadi mellow ginih euy, tapi ga apa-apa kan? Sesuatu yang terbiasa akan jadi hampa. Kemarin malam aku dengar lagu ini di radio. Kopi yang tinggal setengah gelas, rokok pun tinggal sebatang yang ada di sela jari, itupun sudah hampir habis. Lagu ini mengingatkan aku pada kegilaan masa kuliah. Meski gila, saat itu semua terasa mudah, simpel dan tentu saja asik. Well just to remind me of the glorious day...

Selasa, Juli 26, 2005

Review: The Stranger by Albert Camus


The famous lines introducing Meursault's mother open the novel. He is not sure whether she had died today or yesterday since the telegram was not specific. Furthermore he does not really think it matters. He asks for two days off and takes the bus to the home he had put his mother in when he could no longer afford to take care of her. He sleeps on the way there. At the home, Meursault meets the director and the caretaker and is taken to see his mother. He chooses not to look at her and sits by her side as friends come to mourn during the night. He chats with the caretaker, naps, smokes, and has some coffee. In the morning, the funeral procession walks the hour into town for the ceremony. The sun is scorching and Meursault feels more oppressed by the heat than sad over his mother's death. Her fiancé Thomas Pérez however is in tears and must struggle to keep up by taking shortcuts. After the funeral, Meursault catches the bus home and looks forward to sleeping twelve hours.

He wakes up the next day and realizes that it is a weekend and is not surprised his boss was annoyed. He gets up late and then decides to go to the beach where he loves to swim. Once there he sees a woman he used to be attracted to at work, Marie Cardona. They are instantly attracted and agree to see a movie later that night. Marie is surprised to hear that Meursault's mother died only yesterday. That night they see a comedy and go back to Meursault's. She is gone the next morning before Meursault gets up. He remembers that he hates Sundays because they are boring so he takes a nap. Finally he gets up, makes lunch and settles on the balcony to watch people pass. Different crowds move by throughout the day including families, soccer fans, and moviegoers. He eats dinner standing up, watches some more, and then moves inside when it gets colder and darker.

A work day follows. His boss, trying to be kind, asks about his mother but is relieved when Meursault says his mother was about sixty when she died. Meursault has a great deal of work to do before lunch. On the break, he and Emmanuel jump onto a moving fire truck. Meursault eats lunch, takes a nap, and returns to work. Arriving home after work, he runs into Salamano and his dog and thinks of the routine the ridiculous pair always follow. Meursault sees Raymond next who invites him over for dinner. They talk about Raymond's fight with an Arab and then, his cheating girlfriend. He asks Meursault to write a letter to her for him to make her feel bad about what she did. Then he can punish her when she comes back to him. Meursault agrees to write the letter because he is there and Raymond seems to like it very much and says they are pals.

Meursault works hard the following week and attends the movies twice with Emmanuel. On Saturday he sees Marie and they go swimming. He admires her beauty. They frolic in the water and then hurry back to the apartment to have sex. She stays for the morning and asks if he loves her. He says no. They are interrupted by the loud fight between Raymond and his girlfriend. They go watch as Raymond is beating the woman but Meursault does not want to call the police since he does not like them. The cops break it up, slapping Raymond when he will not remove a cigarette from his mouth. Marie and Meursault make lunch but Marie no longer has much of an appetite. After Marie leaves, Raymond comes over and they agree the woman received her punishment. They go out to drink and play pool. They meet Salamano on the way back. He has lost his dog and is upset. Meursault suggests that he check the pound where he could pay a fee for the dog. Salamano is outraged at the idea of paying. He later gets the rest of the details on the pound from Meursault and then goes home. Meursault can hear him crying. He thinks of Maman and goes to bed without dinner.

Meursault receives a call from Raymond at the office which annoys. He is invited by Raymond to bring Marie to his friend's house and told that an Arab relative of Raymond's woman has been following Raymond. Soon after, Meursault's boss offers him a job where he would be transferred to Paris. Meursault admits he is happy enough where he is and the boss berates his lack of ambition. That evening he sees Marie who asks if he will marry her. Meursault says he will if she wants but still says he does not love her. Marie still wants to marry him. She is excited about the prospect of Paris but he thinks it is dirty. Meursault eats dinner alone at Céleste's until he is joined by a jerky robot-like woman. He follows her when she leaves but loses interest. Back at the building, he finds Salamano waiting. His dog was not at the pound and he tells Meursault stories about him and the dog. He does not want another. He also mentions that he is sorry about Maman and understands why he put her in a home though many neighbors do not.

Marie has difficulty waking Meursault on the day they are to join Raymond and his friend. Once outside they see a group of Arabs, like Raymond had mentioned, across the street. They get on the bus for the beach and are not followed. The cottage belongs to Masson and his Parisian wife whom Marie befriends. Meursault is struck by the idea of getting married. Marie and Mersault enjoy swimming together. Meursault then naps on the beach before playing in the water more with Marie. He devours his lunch and then takes a walk with the other men. They run into two Arabs on the beach and Raymond and Masson fight them. Raymond gets cut and needs to be stitched. When they return, he takes off down the beach again. Meursault follows him though he wanted to be left alone. They find the Arab but Meursault convinces Raymond to give him his gun. Nothing happens and the men walk back. Meursault is affected by the sun and heat and goes back onto the beach. He finds himself near the Arab again and is drawn closer. With the heat and glare of the knife, Meursault shoots the gun once and then four more times, killing the Arab.

Part Two of the novel takes place after Meursault's arrest. He is taken to prison and held there. The magistrate gives him a lawyer although Meursault does not think it is necessary. He is taken into an interrogation room with a single lamp like in books he has read. It seems like a game but the magistrate is reasonable. His lawyer visits him the next day and is disturbed that he will not agree to say that he repressed his natural feelings on the day of Maman's funeral. Meursault considers stopping him to explain but is too lazy. The magistrate calls him again and is bothered by the part in his testimony where he hesitated before firing the last four shots. As Meursault cannot explain why, the magistrate takes out a crucifix and attempts to make Meursault repent so God will forgive him. Meursault does not follow his reasoning nor does he believe in God. Frustrating the magistrate further, Meursault says he is more annoyed than sorry about the crime he has committed. Their discussions after this time are more cordial and Meursault remembers little else he enjoyed as much as these moments between him and the magistrate.

The same eleven months spent talking to the magistrate are also lived daily in the prison. Meursault does not like to talk about this much. Marie visits him once and the visiting room is very crowded, bright, loud, and hot. Meursault finds it hard to concentrate on their conversation, picking up pieces of the mostly Arab conversations around. Marie looks beautiful and Meursault looks at her body more than he listens to her voice. Meursault is hot and dizzy. He almost leaves but wants to take advantage of Marie being there. Soon after she visits, he receives a letter from Marie saying she is not allowed to visit any longer because she is not his wife. Still this time is not so hard for Meursault. He has free man thoughts and urges for awhile, such as the desire to go swimming, but these only last for a few months. He realizes that he can get used to anything. The first months are especially hard because of his desire for women and cigarettes. Women's faces fill his room with desire but they also help to pass the time. He chews on pieces of wood to get over smoking and realizes that the only way to really punish him is by taking away these freedoms. The main problem he faces is killing time. To combat time, he catalogs every item in his apartment gaining more and more detail each time he visualizes its entirety. He learns to sleep two thirds of the day . He finds a scrap of a newspaper crime story about a tragic Czech family and reads it over every day. These items and his memory allow him to ease time. He loses a sense of all but yesterday and today. Meursault realizes that he has even begun talking aloud to himself and that his reflection refuses to smile, but he is not at all unhappy.

The year until the next summer passes quickly and it is time for Meursault's trial. At the courthouse, people cram into to see a spectacle and Meursault realizes that it is he. He feels as if he is being judged. The room is very hot and Meursault feels dizzy. The press has built up his story making the interest and crowds larger than expected. One young reporter in particular examines Meursault thoroughly and the robot woman is also seen in the audience watching intently. His examination is first and he agrees with the judge's reading of his statement. He is irritated by the questions on Maman. After a break, the prosecution's witness are called. The director and caretaker of the home testify on Meursault's lack of sympathy toward his mother at the funeral. Pérez testifies that he could neither see Meursault cry or not cry through his own tears. The defense is then called and Céleste is the first witness. He states that the murder was bad luck. Marie testifies about the day they met following Maman's burial which is turned by the prosecution into a dubious liaison too close to his mother's death. Masson states that Meursault is an honest man and Salamano pleads with the jury to understand. Raymond is the last witness and testifies that Meursault was at the beach by chance and the Arab had hated Raymond. The prosecutor says Meursault is on trial for burying Maman with a crime in his heart. Meursault leaves the courthouse and smells the summer air. He remembers the days when he was happy, noting that his path could have gone either way.

The lawyer's summations follow the next day and Meursault is interested to see what they will say about him. As both speeches are very long, Meursault finds it difficult to pay attention. The prosecutor seems to dwell on his crime being premeditated. Meursault finds the recreation of events plausible and sees how he could be thought of as Raymond's accomplice. Meursault notes how odd it is that his intelligence is used against him. The prosecutor then spends a long time on Meursault's treatment of Maman. Meursault admits to himself that the prosecutor is correct that he is not able to show remorse. The prosecutor ends by declaring that Meursault's soul is empty and that he is a monster who has paved the way for the parricide trial following. Meursault replies that he had no intention of killing the Arab. When asked why he did it, he does not know and can only blurt out that it was because of the sun. The defense lawyer's summation is not as skilled Meursault finds, especially since he does not address Maman's funeral. Meursault does not like how his lawyer replaces his name with "I" and feels further excluded from the entire process. The pointlessness of the trial depresses him and he wishes he could go sleep. Meursault is made to wait in another room as the jury decides and pronounces the verdict. He is brought in for the sentencing and hears that he is going to be decapitated in the name of the French people. He has nothing to say.

In his prison cell, Meursault denies the chaplain three times. He wishes he had paid more attention to executions so that he could think of one possibility where the criminal had escaped the inevitability of the process. He finds the absoluteness of the situation to be arrogant. He remembers Maman's story of his father going to an execution and now understands why. He wishes that he could visit all of the executions from now on. This wish is too painful though since there is such little chance of his freedom. He imagines new penal codes which would allow the condemned to have one chance in ten of escaping his fate. He realizes that his concept of the guillotine has always been skewed. The two things he thinks about most though are dawn and his appeal. Meursault knows that the executioners would come right before dawn so he waits up every night. Although he knows everyone will die, the thought of his appeal is maddening. He must convince himself of its impossibility in order to introduce to himself the chance of a pardon, which when faced rationally, gives him an hour of calm.

He thinks of Marie for the first time in a while at such a moment and the chaplain comes in. Asked why he has refused him, Meursault answers that he does not believe in God. Meursault tries to convince the chaplain that he has little time to devote to other thoughts and the chaplain's words do not interest him. The chaplain is surprised to learn that Meursault truly believes there is nothing after death. He points out that every sufferer has found the face of God in the prison stones. Meursault has looked only for Marie and not found her. The chaplain refuses to accept Meursault's behavior. Meursault snaps, yelling at him that he does wish for another life but one where he could remember the present one. He attacks the chaplain as the one who is dead inside, waiting for something after life. Meursault realizes that he has been right all along. He had lived his life one way but it did not matter and no one's life, death, or love made a difference to him. Every life is worth the same and all are privileged.. The guards tear the chaplain away and Meursault falls asleep. When he wakes, it is night. The sirens blast just before dawn and Meursault thinks of Maman. He understands her need to live life all over again, explaining why she took a fiancé so close to death. No one has a right to cry over her. He opens himself to the indifference of the world and finds it to be a brother. He is happy. To feel less alone, he only hopes that a crowd of haters will welcome him at his execution. (**)

ps: Diambil dari salah satu situs di internet, lupa lagi euy alamatnya. Pokoknya mah cari aja pake gugel atawa yahu...

Rabu, Juli 20, 2005

Ibu

Di sini di badan sungai Barito
Hujan turun membasuh bumi
Perahu di dayung menunggang banyu tiada henti
Menghapus kata menyambut arti
Meski lara, senyum menyusup di corong hati
Panjanglah hidup menyambut hadirnya mati

Sebuah perahu berkelit diserempet beribu mobil
Lainnya terpojok dalam deru berjuta motor
Dering suara hand-phone membakar dayung
Tinggallah perahu berjibaku mejelang hulu
Berdesir di derasnya arus, sendiri dalam sunyi

Sebuah pencakar langit tertawa terbahak
Kakinya menginjak sungai mengaing dan mendengking
Tangannya tak henti menciduk air mata fajar
Hatinya mengeras seiring sungai yang mengering

Suara sang penguasa berdentang lantang
Karpet kelabu pun membentang membelah negeri
Ribuan pabrik terbatuk-batuk mengamininya

Hanya seorang Dayak akan setia pada ibunya
Menyusuri sungai mengisahkan alam semesta

Di sini di badan sungai Barito


abdisalira © 080705
Banjarmasin

Selasa, Juli 12, 2005

Pertanyaan


Image hosted by Photobucket.com


DERAK suara air hujan menimpa atap yang terbuat dari bahan seng. Bunyinya berdentang bak suara simbal beradu tanpa ada ujung. Mentari terkantuk-kantuk diufuk timur, enggan bersabda. Meski belum tiba ayam berkokok, tak ada jejak atau tapak dari larikan sinarnya yang biasanya mengelus cakrawala di pagi buta. Hujan masih saja menjejali mega dengan halilintar yang berkelit malu-malu.

Toh, waktu tetap tak mau kompromi. Ia menggusur jarum dan bandul jam untuk berdentang lima kali menanda subuh kan menjelang. Udara dingin berjingkat manja di permukaan Barito di sepanjang kampung orang Banjar. Akibatnya orang-orang turut bergelung manja, membuai asa dibungkus selimut yang semakin melekat disekeliling aurat.

Bagaimana mungkin bisa berjualan dalam hujan yang tak kunjung reda ini? Tapi bila tidak, apa kata istri nanti? Makan apa pula anak-anak? Masih banyak yang harus dipikirkan ketimbang menyesali hujan yang seharusnya menjadi rejeki ini. Dari jam empat, istriku sudah memasak wadai, menyiapkan gula, kopi, teh, dan susu. Semuanya telah siap. Tinggal aku membawanya menyusuri sungai, munuju pasar yang kian hari kian sepi.

Air sungai sepertinya tetap pasrah membisu. Meski tetesan hujan menuduh dan memprovokasinya. Warna kecoklatan seperti menjadi warna abadi, apalagi di musim hujan yang tidak pada tempatnya ini. Beberapa perahu terlihat didayung pengemudinya, beberapa lainnya terantuk-antuk didorong mesin kecil yang terletak di buritannya.

Di kedua sisi sungai, orang-orang masih jarang terlihat. Hanya beberapa orang perempuan tampak mencuci pakaian, beras, sayuran, bahakan ada yang sedang mandi atau sekedar mengambil air wudhu. Suara orang mengaji saling bersahutan dari surau yang banyak terdapat di pinggir aliran sungai Barito ini. Aku sendiri sudah beberapa lama lupa cara bersembahyang. Sehingga, malu aku menampakan hidung di surau atau mesjid tersebut. Perahu tetap kudayung menjelang pasar yang dulu terkenal karena menjadi jingle salah satu tv swasta nasional itu.

Para pedagang ikan telah banyak bergerombol di bawah haluan sebuah kapal tanker yang tengah menyuplai minyak ke kilang milik Pertamina. Mereka menjajakan berbagai hasil tangkapannya. Sementara para pedagang sayuran sejak subuh tadi sudah menunggu para penjaja sayuran yang datang membeli barang dari perahunya yang dijejali berbagai jenis sayur tersebut. Mereka membenamkan dirinya dalam sarung yang dibungkus plastik. Beberapa malah tampak masih terlelap dalam posisi jongkok di depan dagangannya.

“Kopi.. kopi.. teh manis dengan wadainya pak“

Teriakku mencoba menyingkap tirai kantuk para pedagang disela deru hujan menyiram air sungai. Beberapa orang menjawab dengan memperlihatkan telapak tangannya, sebagian hanya tersenyum, malah ada yang membuka matanya hanya untuk memandang kosong, mungkin belum terkumpul ‘nyawanya'.

Langit mulai menampakkan warna putih. Semburat sinar surya menerobos celah di gumpalan awan yang ber-‘demo' di cakrawala timur. Beberapa perahu datang, sebagian besar ialah ibu-ibu penjaja sayuran. Mereka membeli berbagai barang dari perahu-perahu besar, untuk mereka jajakan melalui sungai-sungai kecil yang masuk ke perkampungan.

Tampak pula berdatangan perahu-perahu angkutan karyawan pabrik. Mereka bertumpuk di atas perahu motor. Sedianya perahu itu akan membawa mereka ke tempat tiga buah cerobong asap, yang tak hentinya meniupkan asap hitam dari lubang-lubangnya. Di antara perahu penumpang yang berlalu-lalang, tampak sebuah perahu berisikan sepasang muda. Kilatan cahaya tak henti terlihat dari dalam perahu mereka. Nampaknya, turis yang tak ada kerjaan, ngotot mendatangi pasar di tengah hujan sambil berusaha mengambil gambar dengan kamera yang tentunya sia-sia.

Perahu tersebut melaju pelan, si pemuda menunjuk-nunjuk ke arahku, entah kenapa. Kemudian, perahu itu membelokkan arahnya meneju tepat ke arah perahuku. Ahh.. akhirnya, pembeli datang juga, lumayan sebagai penglaris.

Seorang pemuda kucel memakai jaket jean yang tak kalah kucel. Wajahnya seperti belum terkena air sejak bangun tidur dengan rambut gimbal yang berserakan menimpa jidat yang bopeng-bopeng bekas jerawat. Kumisnya tak berimbang antara kiri dan kanan, dan ia mengenakan anting yang sama sekali tak cocok dengan penampilannya.

Di samping pemuda tersebut, sedikit di belakang, seorang perempuan duduk memandangi silhuet pabrik dan pohon di timur. Ia mengenakan t-shirt merah cerah ketat, menonjolkan bentuk tubuh yang.. nyaris sempurna. Ia mengenakan celana jean pendek, juga ketat, sehingga terlihat betis putih dihiasi gengge terbuat dari perak dengan batu kecil-kecil berwarna hijau. Rambutnya ikal pendek, mempertontonkan leher jenjang dengan anting di kuping bagian atasnya. Meski hanya terlihat pipi, dari samping bisa dipastikan ia memeiliki paras jelita dengan bibir yang menggoda.

“Minta kopinya satu bang! Juga teh manis buat teman saya dan abang pengemudi!“

Si pemuda mulai memberikan perintah, saat aku tengah menambatkan taliku ke perahunya.

“Waah, kayaknya enak juga nih kue dan gorengan ini. Apalagi saat hujan gini, masih hangat kan Bang?“

Aku hanya mengangguk, enggan berujar. Sempat terlihat, perempuan muda itu masih juga terdiam memandang ke arah yang sama. Bak hidup di dunianya sendiri, kontras dengan temannya yang sangat cerewet ini.

“Oooh ngambil kuenya kayak gini ya Bang.“

Sang pemuda kembali berceloteh sambil mengangkat galah guna mengambil wadai. Sementara perempuan muda itu hanya terdiam, tangannya tak terlepas, erat memegang tiang perahu. Semakin erat pegangannya manakala perahu terguncang akibat ada perahu lain memuntahkan riak sungai ke arah perahu pasangan muda ini.

Sesekali tangannya menyibak rambut ikalnya yang nakal menggelitik dahinya yang putih mulus. Pandangannya menyapu tepian sungai, penuh rumah panggung kayu dengan hiasan orang-orang mandi di depannya. Sementara itu, pemuda kucel mulai beraksi mengarahkan kamera digitalnya ke setiap penjuru angin, mencoba mengabadikan pemandangan buram di pagi yang masih diguyur gerimis.

“AKU GA SUKA DI SINI! AKU MAU PULANG KE JAKARTA! POKOKNYA KITA HARUS PULANG HARI INI JUGA! AKU MAU PULANG!“

Suasana sendu dan monoton seperti meledak tatkala sang gadis tiba-tiba berteriak histeris. Bukan hanya aku, pengemudi perahu pasangan ini pun tampak mencoba menjaga keseimbangannya karena hampir melonjak sehingga membuat perahu oleng.

“Kenapa kamu Lis? Kan kita baru sampai, katanya kamu ingin melihat pasar terapung? Kok minta pulang?“

Si pemuda geragapan, mencoba menenangkan sang perempuan sambil mengelap tetesan kopi yang sempat menyiram dagu dan dadanya. Perempuan itu sekarang bercucuran air mata. Akan tetapi, tetesan air matanya semakin mempercantik parasnya. Bahkan, perahu yang bergoyang pun seperti terkesima, kembali diam, kembali tenang melihat wajah cantik yang sedang berduka itu.

“Pokoknya aku mau pulang... sekarang... kalau enggak..“

Jawab perempuan itu di sela isakannya. Si pemuda seperti kebingungan, ia mengelus rambut perempuan bernama Lis tersebut. Kemudian ia mengeluarkan dompet, menyerahkan selembar uang 50 ribuan dan menyerahkannya padaku.

“Maap bang. Ambil aja kembaliannya!“

Aku hanya terbengong, masih kaget oleh teriakan perempuan muda itu dan terpesona oleh kecantikannya yang entah kenapa, sedang dirundung duka. Suara pemuda itu seperti tak bersangkut di nalarku hingga tak ada sepatah kata meresponnya.

“Sudah Bang, kita balik lagi ke dermaga!“

Seru pemuda itu kepada pengemudi perahunya, bersamaan dengan upayaku melepas tali tambatan hanya untuk memahat pemandangan indah itu di kepala. Lumayan untuk jadi oleh-oleh di rumah. Menjadi bahan lamunan, mencari makna duka di wajah yang mempesona.

Perahu pasangan muda itu kembali melaju. Dari jauh terlihat, perempuan itu masih menangis dibuai elusan si pemuda. Tapi isakannya tertindas suara motor perahu. Semakin menciut perahu itu seiring jarak mendera pandang. Namun, suasana pasar sepertinya tetap tak terpengaruh. Malahan keramaian sudah mulai mengisi setiap sudut sungai. Beberapa teriakan pedagang menawarkan barangnya, diselingi deru motor dari perahu yang hilir mudik.

Bersamaan dengan itu, mentari mulai tersibak di antara awan. Cahayanya menerpa wajah yang sedari tadi ditempa angin dingin subuh. Meski menyilaukan, kehangatannya membuat perasaan tenang. Memang aneh, kenapa hal yang bisa membuat buta, justru memiliki kehangatan yang menenteramkan. Uang 50 ribu kukantongi, bukan hanya penglaris, tapi uang ini bisa menutupi modal jualanku hari ini. Meski begitu, kasihan istriku jika aku pulang membawa kembali semua wadai hasil kreasinya. Kudayung kembali perahu menuju keramaian pasar menyelusup di keabsurdan proses transaksi.

090705
Jakarta.

Selasa, Juli 05, 2005

Journal

Banyak orang harus dibangunkan
aku bernyanyi, menjadi saksi
--Kantata Takwa--

PERJANAN akan dimulai. Siapkan daypack, masukan
bekal, tancapkan harap, jernihkan pandang, tajam
memilah untuk nyaring berujar.

"Sekali berarti, sudah itu mati" begitu Anwar berkoar.
Jadikan bahan bakar, agar api tetap berkobar. Pergilah
menjelang mentari, mengecup rembulan, menjamah
Cakrawala.

050705

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com

Senin, Juli 04, 2005

Cubit-cubitan

Paciwit-ciwit lutung si lutung pindah ka luhur

ORANG Bandung, Tasik, Garut, Cianjur, dan orang sunda pada umumnya mungkin masih mengenal permainan ini. Dua atau lebih anak biasa memainkan permainan ini. Bertumpang tindih tangan, yang bawah pindah ke atas, dengan tentu saja saling mencubit. Setiap anak bergantian mencubiti tangan temannya, terus menerus sampai lagu berakhir.

Diakhiri dengan runtuhnya jalinan tangan tersebut, maka permainan itu dilanjutkan dengan saling gebug. Tak jarang ada anak sampai menangis kesakitan akibat tangannya kena gebuk kawan yang lain. Tapi, semua itu hanya permainan anak kecil, esok hari bila bersua lagi, permainan yang sama kadang dimainkan kembali.

Nuansa ini mungkin yang tampak pada kehidupan kita di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Orang-orang seperti mengharapkan giliran menjadi pengisi posisi tertinggi. Soalnya, di posisi tersebut, ia bisa mencubit tanpa harus tercubit. Tak jarang, proses menuju puncak ini harus melalui jalan bengkok yang diluruskan. Meluruskannya tentu saja, perlu dana, perlu kuasa, atau setidaknya kenal dengan orang berkuasa.

Sayangnya, permainan di dunia yang konon heibat dengan para pelautnya ini, tak mengenal giliran. Tak jarang, pemuncak permainan ini tak mau lagi turun kembali ke bawah. Ia dengan segala cara mencoba melestarikan posisinya itu. Alhasil, gejolak di bawah kadang bisa menruntuhkan jalinan yang ditata.

Bukan itu saja, menurut aturan berkelompok, seorang pemuncak otomatis mendapat jatah tanggung jawab yang puncak pula. Artinya, ia harus bisa memayungi orang-orang di bawahnya dari berbagai terpaan. Kadang, harus bisa menjadi penyeimbang manakala tatanan yang dibangun bergoyang. Tengok, bahkan ketika main gaple, karena berkelompok harus ada yang mengatur kartu. Ia bisa saja memainkan kartu sehingga pembagiannya bisa merata atau sebaliknya. Ia berkuasa atas kartu gaple di tangannya. Namun, kekuasaan ini dibarengi tanggung jawab sebagai pengocok kartu. Posisi ini di mata para pemain kartu merupakan posisi hina yang sering diperolok oleh teman-tamannya.

Nah, berbagai permainan yang sering dimainkan sejak kecil bahkan pada permainan yang dimainkan ketika dewasa pun memperlihatkan 'aturan main'. Gobloknya, atau kekurang tanggapan bangsa ini dalam menyerap makan tersirat dari hal-hal tersebut, menyebabkian kondisi yang ada sekarang ini. Kerap terdengar, ada ketua tak mau mundur, ada kandidat ketua yang tak mau mengaku kalah ketika lawannya menang.

Ok, itu bagian dari demokrasi, persaingan atau kompetisi bisa menghasilkan sesuatu yang lebih berbentuk ketimbang hasil yang keluar begitu saja (seperti tulisan ini). Akan tetapi, kenyataannya kondisi ini menjadikan pemuncak mabuk kemenangan. Ibaratnya, penyubit paling atas lupa menjaga keseimbangan, atau pembagi kartu lupa membagikan kartunya. Tak pelak lagi, permainan pun tak berjalan.

Nah, kondisi seperti itulah yang menjadi dekorasi setiap halaman depan surat kabar, dan kaca-kaca pada layar televisi. Ok, orang keluar sebagai pemenang, salut terpilih sebagai ketua, kepala, atau apapun, tapi pling dos jangan lupa pada tanggung jawabnya. Kalo tak bisa, ya, biarkan yang di bawah naik. Mundurlah secara terhormat, kan permaianan bisa berjalan. Kan kita jadi asik-asik aja kan.

;p rarieut ningali siobin ngetik wae, jadi ngikut ngetik-sengetik-ngetiknya. Ya sekali-kali jangan terlalu seurieus atulah.

040705

Kamis, Juni 30, 2005

Bukan Obituary


Image hosted by Photobucket.com


LANGIT Bandung begitu cerah. Warna biru mendominasi di antara bintik-bintik putih yang terlihat sangat jauh. Angin kencang menerpa wajah, terasa segar dipanasnya terik mentari. Deretan hijau tampak berarak di sepanjang jalan Djuanda, Hasanudin, Ganesha, dan Tamansari.

Menerobos pekatnya udara Bandung, kesegaran menguap, tinggal sesak menjejali semua jaringan di paru-paru. Secuil kenyamanan hanya terselip di rimbunnya dedaunan. Alhasil, belasan kepala manusia terlihat bersembunyi di bayangan pohon. Suara berbagai kendaraan mulai memekakkan telinga. Dari desing udara tertumbuk mobil yang dibesut dengan kecepatan tinggi, sampai teriakan beberapa kernet angkot yang mengecil seiring menjauhnya mobil.

Sebuah ranting kecil terlihat begitu lapang, menjorok di sela-sela dedaunan. Beberapa ekor semut merah berbaris mengangkut berbagai bawaan. Sedangkan sebagian lainnya seperti sedang bersalaman atau hanya sekedar menanyakan kabar, basa-basi. Bak restoran mewah yang menyajikan hidangan segar penuh nutrisi, saatnya makan siang.

“Aaagh! Roti isi ini sudah busuk dagingnya!“

Sebuah suara bariton menggelegar dari arah tepat di bawah pohon. Sepasang manusia tampak duduk di atas sehelai tikar plastik. Laki-laki berambut acak-acakan dengan jenggot jarang-jarang, belepotan dengan remah-remah roti di sela-sela kumisnya yang juga jarang-jarang.

Kemeja flanel merah kotak-kotak tergantung di bahunya. Ia sendiri hanya mengenakan kaus dalam tipis, basah oleh keringat. Celana jean belel bolong-bolong, tak kuasa dibendung beberapa benang jahit yang disulam secara acak. Sebatang rokok kretek terselip di kuping kirinya. Ia memuntahkan roti isi yang sempat menerobos mulut dan hancur digilas gigi-giginya yang kuning kecoklatan.

“Masih baru da kang! Baru kemarin Eneng beli di minimarket sebelah kontrakan kita. Masa sudah busuk lagi?“

Suara sopran menyembul dari kepala berambut hitam legam yang menjuntai di atasnya. Hitam legam dengan bayangan cahaya matahari di sela-selanya. Kaus oblong berwarna merah darah membungkus tubuhnya yang tampak ramping, atau bisa dibilang kurus kering. Akan tetapi, dari nada suaranya, perempuan itu nampak sebagai sosok ibu yang sabar sedang mengasuh anaknya yang rewel.

Kedua manusia tersebut tengah menghadapi hidangan sederhana murahan yang berserakan di atas tikar plastik yang juga bolong-bolong. Beberapa helai daun rerumputan menyembul dari lubang di tikar tua yang mereka gunakan sebagai alas duduk mereka. Ah, inikah yang mereka katakan sebagai piknik di hari libur. Tamasya murah di pinggir jalan sepi di kota Kembang ini. Piknik khas orang-orang udik yang tersingkir di antara gemerlap berbagai mall, plaza, factory outlet, distro, dan restoran-restoran orang Jakarta yang disediakan bagi orang Jakarta lainnya yang selalu rajin mendatangi kota kecil di lembah Tangkuban Perahu ini.

“Babi! Kenapa kau belanja di minimarket itu? Kan aku udah bilang, mereka itu penjahat. Kan mereka juga yang menggusur warung kecil kamu. Kenapa harus belanja di tempat para penjahat kapitalis itu?!“

“Hei ari si Akang, kan tempat itu paling dekat dari kontrakan kita, lagian disana mah murah-murah atuh Kang. Eneng suka belanja di sana teh, soalnya komplit. Pake ada baju-baju buat bayi segala. Siapa tahu, kita punya anak atuh Kang, ...“

Tiba-tiba omongan perempuan tersebut terhenti entah kenapa. Sang pria berdiri, menyalakan rokoknya, terus ngeloyor pergi.

“Maap kan Eneng Kang! Bukan maksud menyinggung hati Akang, KAANG....!“

Perempuan muda, turut berdiri mencoba mengikuti suaminya. Mereka meninggalkan hidangan murahan di atas tikar yang juga murahan, begitu saja. Roti isi dan minuman kemasan dibiarkan tergeletak, merana ditinggal tuannya. Begitupun tas butut berisi tisu toilet dan buku-buku catatan lusuh terdampar di pinggir tikar.

Deru angin kembali menerpa wajah. Jalan-jalan di kota bandung masih terlihat padat. Di kabel telepon yang melintang tampak berjejer burung gereja, bercengkrama, bergosip, entah apa yang digosipkan. Mungkin sedang merencanakan cicilan sarang yang semakin susah diwujudkan karena jarangnya ranting dan rumput sebagai bahan bakunya. Tak jauh dari kabel telepon, sebuah jendela kaca besar terbuka lebar. Di bawahnya terdapat genangan air dari talang yang mampat. Hmmh minuman segar di keringnya udara Bandung yang membakar tenggorokan.

“BUKA PINTUNYA!“

Sebuah teriakan disertai gedoran pintu terdengar dari dalam jendela yang terbuka.

“KALAU TIDAK DIBUKA, AWAS KAU! ANAK KEPARAT! MEMALUKAN ORANG TUA!“

Suara seorang pria dengan bass besar menggetarkan setiap telinga yang mendengarnya. Seorang anak laki-laki menyembulkan hidungnya di jendela, diikuti wajahnya dengan pandangan yang nanar. Matanya bergerak ke kiri kanan jalan yang terdapat tepat di bawah jendela dengan genangan dari talang yang mampat. Kakinya tampak menyembul di kusen jendela yang tak berteralis. Suara musik tekno dari sebuah tape berlomba dengan teriakan pria tua dan deru kendaraan di kejauhan.

Jendela tersebut terdapat di lantai tiga samping sebuah rumah besar yang diselingi jalan setapak kecil yang tak muat menampung dua orang manusia yang melintas berlawanan arah. Hanya tembok dan atap sebuah rumah satu lantai terpampang, bila pandang diarahkan ke bawah jendela rumah tersebut.

“BAGAIMANA BISA MASUK ITB, UAN SAJA TIDAK LULUS? BUKA! BIAR KUHAJAR MULUT TUKANG MABUKMU ITU! ANAK DURHAKA!“

Teriakan keras kembali terdengar, berbarengan dengan gumaman seorang perempuan yang ditindas suara bass pria tersebut. Gumaman tersebut tak terdengar jelas, namun terdengar seperti bujukan menenangkan dari seorang ibu yang membela anak kesayangannya.

Anak laki-laki itu berjongkok di jendela, entah ketakutan atau senang. Soalnya, dari mulut hitamnya tersungging sebuah senyuman. Ya senyuman getir sedikit sinis. Kemudian ia berdiri di kusen jendela yang cukup lebar tersebut dan meregangkan tangannya seperti hendak terbang.

BRUAAAK!!

Sebuah suara keras meledakan suasana. Bersamaan dengan suara tersebut, anak laki-laki tersebut menjatuhkan diri, begitu tiba-tiba sehingga berhamburan burung gereja dan kucing yang sedari tadi mengendap-endap mengincar burung gereja. Badan anak itu menukik deras menjelang gang sempit di bawahnya.

“TIDAAAAK!“

Suara sepasang manusia ber-choir meneriakan hal yang sama mengantar tubuh anak laki-laki yang sudah berada sejajar dengan lantai dua rumah besar tersebut.

BRUAAAAAKKKS! BRUUUK! BDUB!

Badan anak laki-laki itu menimpa genteng rumah tetangganya, terbanting lalu, berdebum jatuh, menimpa dasar gang sempit dari bahan semen. Tangannya menekuk aneh, tubuhnya pun meringkuk dengan posisi yang tak kalah aneh di gang sempit. Akan tetapi raungan anak itu, membuktikan satu hal, upaya bunuh dirinya telah gagal.

“BRENGSEK! DINASIHATI MALAH MAU KABUR, PUAAAS!

Suara pria tua dengan kumis tebalnya kembali terdengar menggema di gang sempit. Dari ujung gang, beberapa orang manusia berhamburan mendekati tubuh anak laki-laki yang meraung-raung kesakitan. Perempuan yang menyertai pria di lantai tiga tadi muncul pula di antara kerumunan tetangganya.

“BIARIN! JANGAN DITOLONG! BIAR TAHU RASA DIA! ANAK SETAN!“

Teriakan pria tua tersebut semakin menjadi-jadi dengan telunjuk menuduh-nuduh ke arah si anak yang masih saja meraung-raung kesakitan.

Suara kendaraan dan bunyi kelakson masih saja terdengar bersahutan di kejauhan. Mentari seperti penasaran mengarhkan pandangnya ke kerumunan orang di gang sempit. Panasnya kian menjadi-jadi. Dasar manusia sudah pada gila!

Di ketinggian, awan-awan kecil kesepian mengisi langit. Tak ada elang, tak ada rajawali, hanya ada burung gereja yang menyembunyikan dirinya di sela pepohonan yang juga sudah jarang. Angin berasap kembali menerpa wajah. Saatnya menjenguk anak-anak yang tertinggal di sarang.

030705 © abdi salira

Senin, Juni 13, 2005

Godfather


Image hosted by Photobucket.com
Albert Camus
Albert Camus (1913-1960) was a representative of non-metropolitan French literature. His origin in Algeria and his experiences there in the thirties were dominating influences in his thought and work. Of semi-proletarian parents, early attached to intellectual circles of strongly revolutionary tendencies, with a deep interest in philosophy (only chance prevented him from pursuing a university career in that field), he came to France at the age of twenty-five. The man and the times met: Camus joined the resistance movement during the occupation and after the liberation was a columnist for the newspaper Combat. But his journalistic activities had been chiefly a response to the demands of the time; in 1947 Camus retired from political journalism and, besides writing his fiction and essays, was very active in the theatre as producer and playwright (e.g., Caligula, 1944). He also adapted plays by Calderon, Lope de Vega, Dino Buzzati, and Faulkner's Requiem for a Nun. His love for the theatre may be traced back to his membership in L'Equipe, an Algerian theatre group, whose "collective creation" Révolte dans les Asturies (1934) was banned for political reasons.

The essay Le Mythe de Sisyphe (The Myth of Sisyphus), 1942, expounds Camus's notion of the absurd and of its acceptance with "the total absence of hope, which has nothing to do with despair, a continual refusal, which must not be confused with renouncement - and a conscious dissatisfaction". Meursault, central character of L'Étranger (The Stranger), 1942, illustrates much of this essay: man as the nauseated victim of the absurd orthodoxy of habit, later - when the young killer faces execution - tempted by despair, hope, and salvation. Dr. Rieux of La Peste (The Plague), 1947, who tirelessly attends the plague-stricken citizens of Oran, enacts the revolt against a world of the absurd and of injustice, and confirms Camus's words: "We refuse to despair of mankind. Without having the unreasonable ambition to save men, we still want to serve them". Other well-known works of Camus are La Chute (The Fall), 1956, and L'Exile et le royaume (Exile and the Kingdom), 1957. His austere search for moral order found its aesthetic correlative in the classicism of his art. He was a stylist of great purity and intense concentration and rationality.

From Nobel Lectures, Literature 1901-1967, Editor Horst Frenz, Elsevier Publishing Company, Amsterdam, 1969

This autobiography/biography was written at the time of the award and later published in the book series Les Prix Nobel/Nobel Lectures. The information is sometimes updated with an addendum submitted by the Laureate. To cite this document, always state the source as shown above.



Albert Camus died on January 4, 1960.

Iklan

Kutemui kau untukmu berpaling
Kumaki katamu mengorek mauku
kukubur sosokmu, kuhancurkan berkeping
kucincang sejumlah angka, menghilanglah lagu
tak berbalas, tak bernyawa
masih tegak wujudmu di altar jiwa

Adakah ruang di pejam matamu
adakah sunyi di merdu suaramu
mungkinkah benci memeluk rinduku
datar.
samar.
hambar.
BUBAR... benar

Mengapa pandang memejam nanar
mungkin wekerku terbalik berputar
hingga jarummu kembali berpijar
keemasan dibalik larik
bibirmu menjentik
biasa.

130605©abdisalira
In the depth of winter, I finally learned that within me there lay an invincible summer.
Albert Camus
French existentialist author & philosopher (1913 - 1960)