Rabu, Desember 12, 2007

Senin, Oktober 29, 2007

Tiga Tahun Kabinet: Menanti Terbitnya Sektor Pertanian

GILANG gemilang seharusnya masa depan sektor pertanian Indonesia. Kenaikan harga minyak dunia yang menyentuh US$90 per barel lebih dan kemungkinan penghapusan subsidi pertanian negara maju menjadi faktor utama penyebabnya.
Pertanian Indonesia dalam dua tahun terakhir mengalami geliat peningkatan. Namun, apakah ini merupakan buah dari program revitalisasi? Hal ini sedikit diragukan. Lonjakan pendapatan pelaku sektor pertanian belakangan ini lebih disebabkan perubahan dunia khususnya kenaikan harga minyak bumi dan pertumbuhan dua bayi raksasa ekonomi dunia yakni China dan India.
Kendati begitu, saat ini sektor yang merasakan 'panen' akibat kenaikan harga minyak ini baru sektor perkebunan. Pasalnya, sektor ini khususnya minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan karet alam merupakan komoditas ekspor tradisional. Kedua komoditas ini merasakan lonjakan harga yang tentu saja berarti peningkatan pendapatan. Sementara sektor lain sepertinya mengalami sedikit kemajuan dan atau stagnasi.
Kondisi ini disebabkan belum berkembangnya industri biofuel nasional yang hingga kini dipusingkan ketidakjelasan sikap pemerintah. Khususnya dalam kebijakan pengembangan energi alternatif ini. Sehingga, bahan baku bioenergi lebih banyak mengalir ke luar negeri. Sementara itu, komoditas yang belum terbiasa ekspor seperti jagung, singkong, kelapa, tebu, jarak, dan bahan baku energi lainnya menjadi kurang menikmati kondisi ini. Dengan begitu, pengembangan sektor ini memang masih tergantung pada kebijakan perkembangan sektor lain yakni energi dan industrinya.
Meski begitu, secara umum beberapa komoditas yang terkait dengan industri seperti kakao, jagung, tebu, teh, rempah, dan lainnya memang mengalami kemajuan. Akan tetapi, kemajuan tersebut hanya terbatas dan tidak terkait dampak kenaikan harga minyak.
Hal ini diakui Menteri Pertanian Anton Apriyantono. Menurutnya Deptan saat ini akan memprioritaskan pengembangan sektor pertanian yang berperan sebagai pengganti (substitusi) energi. Pasalnya, dengan baiknya harga saat ini, pertanian bisa berkontribusi memperbaiki pendapatan petani sekaligus memberikan solusi bagi krisis energi yang sudah nyata di depan mata.
Meski sampai saat ini masih belum nampak adanya ketegasan pemerintah dalam kebijakan energi alternatif. Padahal, tim nasional bahan bakar nabati (BBN) untuk pengembangan bidang ini sudah ada. Namun, pertanian bisa berperan sebagai inisiator pengembangan bioenergi dengan menyediakan bahan baku. Diharapkan, dengan kegiatan ini akan diikuti industri swasta untuk mengembangkan sektor hilirnya.
Sektor pertanian lain yang berpotensi besar untuk dikuasai ialah peternakan. Dengan status bebas penyakit kuku dan mulut (PMK) maupun sapi gila (bovine spongiform encephalopathy/BSE), Indonesia berpotensi menjadi eksportir produk peternakan. Demikian juga dengan holtikultura. Kekayaan alam yang besar seharusnya bukan saja menjadikan negara ini swasembada, akan tetapi lebih menjadi pemasok dan eksportir. Akan tetapi, kenyataannya, sampai sekarang negara ini masih menjadi net importir dan pasar besar produk pertanian negara lain.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) angka ramalan III produksi gabah kering giling 2007 mencapai 56,89juta ton. Sedangkan, produksi jagung pipilan mencapai 13,24juta ton dan kedelai mencapai 598ribu ton. Untuk perkebunan, produksinya hampir semua mengalami pertumbuhan. Produksi CPO tahun ini mencapai 16juta ton lebih, tebu 31,14juta ton, karet 2,4juta ton, dan kakao 600ribu ton.
Kendati demikian, impor beras, jagung, gula, dan kedelai sebagai bahan pangan masih besar. Begitu juga dengan impor jagung dan kedelai sebagai bahan pakan, jumlahnya masih signfikan. Sementara itu, impor daging dan susu sepertinya tidak berkurang meski produksi nasional sedikit meningkat.
Sedangkan, untuk komoditas yang dikuasai seperti sawit, Indonesia masih dipusingkan dengan kenaikan harga minyak goreng. Untuk kopi, teh, rempah, dan kakao produksi nasional masih cukup sangat besar. Akan tetapi, besarnya produksi tidak diikuti pemasaran. Sehingga, komoditas-komoditas tersebut belum menikmati harga yang lebih baik dari potensinya.
 
Koordinasi dan Sinergi
Salah satu kendala pembangunan di negara ini harus diakui ialah lemahnya koordinasi lintas sektoral. Padahal, dalam pengembangan ekonomi khususnya komoditas memerlukan sinergi yang mantap dari semua lini. Koordinasi yang diperlukan dalam hal ini ialah antara sektor hulu sampai hilir termasuk perdagangannya.
Namun, dalam usia tiga tahun kabinet SBY-JK koordinasi sudah tampak ada perbaikan khususnya dalam pengembangan pertanian. Titik terang itu tampak dengan semakin harmonisnya hubngan Deptan dan Perum Bulog saat ini. Sebelumnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa Deptan dan Bulog kerap membuka front perselisihan baik secara kebijakan maupun dalam bentuk perang pernyataan.
Akan tetapi, dengan pergantian pucuk pimpinan di Bulog, kedua instansi telah memperlihatkan perbaikan sinergitas dalam pengembangan dan pangamanan pangan nasional. Akibatnya, kondisi harga dan pasokan panganuntuk rakyat tahun ini bisa dibilang aman terkendali. Dilengkapi peran Departemen Perdagangan, petanipun bisa menikmati perbaikan harga tanpa harus mengorbankan konsumen.
Sementara itu, sinergi dengan industri juga mulai bisa dirasakan. Hal ini terlihat dalam proyek ambisius menggapai swasembada gula 2009. Departemen Perindustrian dan Deptan dengan gigih menggapai perbankan untuk mendapat kucuran dana bagi revitalisasi pebrik gula dan pengembangan perkebunan tebu. Begitu juga dengan pengembangan sawit karet, dan kakao, kedua instansi telah melakukan berbagai sinergi. Meski sampai saat ini peta jalan pengembangan industri kakao masih belum beranjak dari kantor Depperin.
Demikian juga dengan pengembangan pendanaan bagi petani, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), dan Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah memperlihatkan komitmennya untuk memfasilitasi kucuran dana bagi sektor pertanian. Hal sama diperlihatkan Depperdag dengan mulai berjalannya sistem resi gudang bagi pendanaan petani.
Belum lagi upaya pemerintah bersama negara-negara lain di WTO yang memperjuangkan penghapusan subsidi pertanian. Bila ini terrealisasi potensi perdagangan komoditas pertanian akan semakin besar. Namun, di sisi lain potensi permasalahan akibat melambungnya harga bahan baku yang terlepas dari subsidi sepertinya belum ada solusi. Misalnya untuk komoditas kapas. Lebih dari 90% kapas untuk industri tektil Indonesia merupakan barang impor bersubsidi. Akan tetapi, sektor perkebunan kapas domestik sampai sekarang belum memiliki fondasi yang kuat.
Sedangkan peer lain yang masih memerlukan koordinasi dan sinergi lintas sektoral ialah untuk pengembangan energi. Departemen Energi Sumber Daya Mineral sepertinya masih disibukan dengan urusan subsidi BBM dan pengembangan pertambangan. Begitu juga dengan industri swasta dan pemerintah daerah. Berbagai persoalan seperti pengurangan beban subsidi BBM, pemenuhan bahan baku kapas, karet, produk ternak, peningkatan pendapatan daerah, dan lainnya sebenarnya bisa diselesaikan bila bersinergi mengembangkan pertanian.
Jika itu dilakukan, bukan tidak mungkin rakyat Indonesia akan lebih makmur dari negara-negara Timur Tengah yang dimanjakan kekayaan minyak. Bisa jadi, Emir-Emir pertanian akan lahir di negara ini beberapa tahun ke depan. Tidaklah mustahil, Indonesia menjadi eksportir energi, produk peternakan, dan industri berbasis agroindustri utama dunia yang sejajar dengan Amerika Serikat, Australia, Brazil, Thailand, ataupun China. Sehingga, gilang gemilang pertanian Indonesia bukan lagi menjadi utopia. (Toh)

Selasa, Oktober 16, 2007

Minal Aidzin Wal Faidzin

Lidah dan perut tidak bersahabat belakangan ini
Rasa lelah tak kunjung berakhir
Kerap kali janji teringkari, tugaspun terbengkalai
Hidangan lezat seperti menampar
Sejuknya air mengelepar-gelepar
Hanya bayangan sentuhan jari munggil jadi penenang
 
Tiga bulan pertama berat terasa
Tiga bulan kedua rasa pegal menjegal
Tiga bulan terakhir semakin mencibir
Sisanya rasa perih tak berperi
Hanya tangis kecil di buah dada menjadi pemanis
 
Apakah itu harga kehadiranku?
Setiap tarikan nafas
setiap lenguhan
rasa pedih
tangis
jerit
semuanya bermakna
 
Dihari mulia ini kusajikan tangisku
mengharap swarga di telapakmu
Menghiba doamu
Kemenangan menjadi sejatimu
Selamat, selamat, selamat
Itulah selendang di fitrimu
 
Bandung 161007

Kamis, Oktober 04, 2007

Alasan


Pria dengan bau busuk yang menyengat ini akhirnya melepaskan dekapannya. Tergesa-gesa merogoh handphone edisi terbaru pabrikan asal Finlandia dari celana yang tercecer di lantai. Melihat layar kecil di mukanya, kemudian buru-buru berlari ke luar sambil mengenakan celana pendek seadanya. Kemudian menutup pintu kamar kost yang semakin sesak seiring kemarau yang melanda Jakarta.
Sayup-sayup suara kipas di pojok kamar menghela telinga. Aliran angin yang tidak bisa dibilang sejuk menyapu tubuh bersepuh keringat. Lumayan lah daripada tidak sama sekali. Temaram lampu meja menyinari kamar ukuran 3x4 meter. Terduduk di atas kasur, terasa malas mengambil beha atau celana yang dilempar entah ke mana. Kunyalakan sebatang rokok dan membasahi tenggorokan dengan sisa anggur merah di meja.
"Aku masih di Jogja Maah!" suara pria itu menyelinap dari balik pintu.
Haha.. Dasar bajingan! Selalu alasan yang sama. Mengapa pria selalu memakai alasan itu untuk menipu istrinya? Apakah kepala mereka terlalu dipadati pikiran jorok sehingga kreatifitas dan imajinasinya menguap. Apakah tidak ada alasan lain yang melintas di benak kotor mereka?
"Sebentar lagi aku take off ke Jakarta. Pesawatnya di-delayed! Biasalaah," suara itu menggema lagi.
Lima bulan dua hari pria itu memasuki kehidupanku. Dia yang tampak terhormat di kantor. Bahkan wibawanya sempat mempesonaku saat secara pribadi dia mewawancaraiku untuk pekerjaan asisten pribadi. Nyatanya sama saja. Bajingan kelas tuna ini hanya bertahan dua minggu untuk memperlihatkan belangnya.
"Rika, malam ini kamu lembur ya! Soalnya, besok bapak kita akan mulai melakukan kampanyenya. Jadi kita harus mempersiapkan segala bahan termasuk untuk menyerang pesaing Bapak," katanya malam itu.
Sejak itulah, tugasku sebagai aspri bertambah menjadi aspri sekali. Sebuah pilihan yang kerap kali aku tolak di tempat-tempat kerjaku terdahulu. Akan tetapi, akhirnya aku menyerah juga. Pilihan itu harus kuambil, karena hanya pilihan itu yang kupunya.
"Sudahlah Nak, kamu harus mulai bisa mapan. Adik-adik kamu sangat memerlukan bantuanmu. Sebentar lagi si Iwan masuk SMA dan si Bawuk mau masuk SMP. Bukannya ayah mau melepas tanggung jawab, ayah sudah tidak bisa apa-apa lagi. Apalagi setelah ibumu meninggal keluarga kita semakin tergantung padamu."
Itulah motivasi yang kuperoleh dari ayahku. Ia sering murka ketika aku memutuskan berhenti kerja. Berpindah-pindah dari satu kantor ke kantor lain, dari satu perusahaan ke perusahaan lain, dan dari satu organisasi ke organisasi lain. Semuanya sama. Sama seperti perusahaan pria di depan pintu kamarku.
Konsultan nama gagah bidang usaha perusahaan pria ini. Namun, dimataku perusahaan ini hanya sekedar makelar politik semata. Tugasnya menempatkan kandidat kotor yang mau membayar mahal untuk posisi basah di panggung politik. Kabarnya, beberapa bupati sudah berhasil diangkatnya, beberapa lagi kliennya yang menggapai kursi gubernur dan tak sedikit sebagai petinggi partai atau organisasi massa.
Dengan bidangnya tersebut pria itu bisa seenaknya keluar masuk ke lingkungan di lingkaran satu, bahkan beberapa pejabat selalu tergopoh-gopoh menyambut ketika pria itu mengunjunginya. Hanya di depankulah dia menghiba dan merendahkan dirinya. Bayaran tidak sedikit selalu dia lampirkan di slip gajiku. Bahkan semua kebutuhan hidupkupun dia tanggung dengan alasan sebagai fasilitas kerja.
Mungkin uang yang menjadi alasanku menerimanya. Mungkin juga rasa lelah yang menyapu harapanlah biang keroknya. Aku sendiri tidak menyukai posisi ini, tapi apa daya, pesan ayahku yang sudah melempar handuk pada kehidupan itu selalu mengiang di kupingku.

Daddy he hates airplanes, but baby loves to fly,
Lady wants to know the reason why,
Daddy just like Coltrane, baby's just like Miles
Lady's just like heaven, when she smiles

Suara Michael Franks mengalun dari kamar sebelah. Suara itu mengisi ruangan membawaku pada kehampaan pikiran. Asap mengepul dari mulutku. Sebatang tidak terasa mulai tandas. Hanya beberapa saat, apakah sepanjang itukah hidupku. Aku tak peduli lagi. Biarlah dunia menhujat bahkan langit mencerca. Aku sudah kehabisan alasan. Lelah dengan semua pilihan yang selalu memojokkan.
"Waduh panas sekali ya Pak!?"
Tiba-tiba suara lain terdengar dari balik pintu. Tetangga sebelah kamarku rupanya masih bangun. Seorang pemuda tanggung dengan idealis tinggi. Mahasiswa tingkat satu perguruan tinggi swasta yang terletak tidak jauh dari tempat kostan. Pemuda itu aku kenal baik. Dialah yang selalu mengantarkan ketika tugas mendadak memanggilku baik di siang maupun larut malam.
Entah apa alasan pemuda itu, tapi dia selalu berlaku baik padaku. Kamarnya selalu terbuka ketika aku pulang larut malam. Serakan buku dan pakaian kotor selalu menyeruak dari sela pintu tersebut. Alunan Jazz yang berterbangan dari kamar pemuda itu tak henti mengelus pendengaran.
"Pulang malam lagi Mbak," sapanya setiap kali aku melintasi kamarnya.
Sapaan itu pertamanya sangat mengganggu, akan tetapi ketulusan pesannya mendorongku membayarnya dengan martabak telor, atau sisa kue kotak yang selalu aku bawa sehabis kegiatan temu kader atau penggalangan massa. Apapun yang aku bawa selalu disambutnya dengan antusias. Sebagai balasan, tak jarang tanpa diminta ia merebut tas ataupun berbagai berkas yang aku bawa untuk disimpannya di kamarku. Bahkan tak jarang pintu kamarku diketuknya hanya untuk menawarkan dvd film bajakan yang baru dibelinya. Tanpa ucapan terima kasih, hanya ketulusan yang dia sodorkan.
Pemuda itu memang terlalu tanggung untuk dibilang remaja, tapi sikapnya terkadang memperlihatkan kematangan. Beberapa malam terkadang kita habiskan hanya untuk sekedar basa-basi. Atau hanya merokok bersama dengan segelas kopi tanpa kata sepatahpun. Meski usianya lebih muda beberapa tahun, tapi sikapnya tidak pernah mengakuinya. Hanya sapaan 'Mbak' yang dia pakai sebagai pengakuannya.
Oboralan kami tidak pernah dalam. Dia tidak pernah bertanya sedikitpun tentang kisah pribadiku. Bahkan, tak satupun ucapannya yang memancing atau mengarah ke interogasi seperti umumnya pria. Namun, hal itulah yang membuatku merasa terlindungi. Hanya dia yang aku kenal di kostan ini. Mungkin karena aku berusaha menjaga jarak dengan penghuni lain guna menjaga privasiku.
"Memang sudah seminggu ini panas terus Pak."
Suara pemuda itu terdengar kembali. Akan tetapi, pria itu tak sepatahpun menjawabnya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Pria itu menorobos pintu ke dalam kamar dan dengan sigap menutupnya kembali. Mukanya masam ketika dia mengunci pintu. Ia tinggalkan handphone-nya kembali kedalam saku celananya. Memakainya, mengenakan kemeja, menyisir rambut, dan berkumur dengan seteguk anggur merah.
"Siapa sih anak itu? Sok kenal! Aku nggak suka dengan tempat kostanmu ini. Kenapa kau selalu menolak untuk meninggali rumah yang sudah aku sediakan? Pokoknya aku nggak suka tempat ini. Apalagi dengan anak itu!" celoteh pria itu dalam berbisik.
Memang pria ini sudah membelikanku rumah sedang di sebuah klaster perumahan yang bisa dibilang mewah. Namun, aku selalu menolak meninggalinya dengan alasan belum siap dan untuk menjaga image. Aku sendiri tidak yakin dengan alasanku memilih tempat kost yang dipenuhi mahasiswa ini ketimbang meninggali rumah itu.
Dijejalkannya dasi, map-map, kaos kaki, dan jam tangan kedalam tas kerja. Pria itu kemudian mengambil kunci mobil dari atas meja. Mengelap keringat yang masih menyembul dari dahinya dengan handukku. Menyisir kamar dengan mata ngantuknya, mencari barang yang mungkin tertinggal.
Beberapa gepok uang ratusan ribu mencolok mata tergeletak di atas meja. Semakin menelanjangi tubuhku yang masih telanjang. Dasar bajingan! Itulah banderol yang dia sematkan di tubuhku. Namun, aku tidak punya lagi alasan untuk memprotesnya.
"Belilah AC sayang, atau apapun untuk menyejukan kamarmu. Atau biar nanti aku belikan, sekaligus mengirim orang untuk memasangnya. Kau pakai buat apalah uang itu. Aku harus pulang sekarang ya sayang. Besok kamu masuk kantor siang aja. Biar sopir kantor aku suruh menjemputmu."
Dikecupnya dahiku dan pria itu berlalu menuju pintu kamar. Membuka kuncinya, berbalik dan melemparkan senyum. Kemudian berlalu di balik pintu meninggalkan suara pantovel yang dikenakan tergesa-gesa.
"Pulang Pak?"
Suara pemuda itu mengantarnya. Tanpa jawaban, suara pantovel terdengar menghentak lantai. Semakin samar derapan langkah diikuti deru mesin mobil. Suara cicit ban melepas kepergiannya. Mengembalikan Michael Franks yang entah mengapa berulang melantunkan nadanya.

The lady want to know, she wants to know the reason
She's got to know the reason why
This Man has got to go, This man is always leaving
How he hates to say goodbye.
But what she doesn't know, is there really is no reason
Really is no reason why.

Pemuda sebelah kamar terdengar memasuki kamarnya. Suara musikpun semakin sayup untuk menghilang ditelan gemeletuk pintu yang dikunci. Pemuda aneh. Anak kemarin sore yang mulai menyalakan api kecil harapan di batang lilin hatiku. Lilin yang sudah lama kehilangan alasan untuk menyala. (***)


Pekan ketiga Ramadhan 2007
abdisalira

Selasa, Oktober 02, 2007

Satu Ramadhan

Terasa terik siang di Ramadhan
Sangatlah dingin malam di Ramadhan
 
Kantuk senantiasa menggelayut
Amarah tak jera membara
Jutaan ton, beban ke rumah-Mu
Ingin rasanya melipat hari menuju lebaran
 
Hanya sebulan
Tapi, sudah Ramadhankah hatimu?
Sudah Ramadhankah katamu?
Sudah Ramadhankah otakmu?
Sudah Ramadhankah langkahmu?
Apakah Ramandhan sudah menjadi dirimu?
 
Hanya satu..
Apalah arti seluruh hayat
dibanding seribu bulannya Ramadhan..
 
Hari Sembilan Belas Ramadhan 2007

Senin, September 24, 2007

Tentang Utun

Bagusnya jidatnya mirip jidatmu
karena dingin selalu menggerakannya
Begitu pula biarlah matanya mewakili matamu
agar selalu jernih dunia dipandangnya
Tapi kakinya biarkan seperti kakiku
agar dia bisa menapak setiap jengkal semesta
Telinganya bolehlah mirip punyaku
supaya bisikan doa selalu didengarnya
Akan tetapi, tangannya pasti harus tanganmu
sehingga indah selalu menyinari karyanya
Demikian juga rambutnya haruslah rambutmu
indah terurailah semua pengetahuan
Tapi, hidungnya haruslah milikku
agar wanginya kasihmu selalu menyertainya
Kalau dadanya haruslah dadaku
karena disana akan bersandar masa depan
Bagaimana dengan jiwanya?
Dia harus membangunnya sendiri
menghiasinya dengan keberanian
memagarinya dengan kasih sayang
dan menyusun bata demi bata kebebasan
Bolehlah dia keras seperti karang
Biarkan dia ringan seperti elang
Atau kokoh seperti pegunungan
dalam sedalam samudra
Namun, taqwa harus melandasinya
Meski dia anak kita,
Tapi dia seperti sungai yang mengalir
lepas melintasi daratan menuju lautan
Lautan luaslah tempat dia akan bermuara dan bermain
mewarnainya dengan semua gelombang
Hanyalah doa yang bisa kita titipkan
Semoga jiwa itu bisa berarti dan memberi arti
Amien...
Ramadhan ke dua belas 2007

Ketika Semua Berakhir

Bangun pagi buta siapkan handuk dan celana
mengulas jadwal dan merencanakan langkah
Siang haru berkutat penuh dengan tugas dan agenda
Sampai sore menjelang kembali menapak jejak terbalik
Di malam hari, sebagian besar waktu menempel di tivi
Hingga kantuk menjemput menghidangkan mimpi.
 
Waktu senggang di isi dengan 'chit-chat' bersama kolega
Jika sempat memanen keringat di ruang-ruang bergelanggang
Membaca buku di akhir pekan
Kalu bisa menggelar piknik di kala libur
Semuanya berulang dipergantian waktu
 
Namun, apalah jadinya jika hari ini berakhir
Apalah yang bisa kita bawa sebagai bekal
Yang jelas bukan karir atau pengetahuan
Bukan pula kebugaran dan jaringan koneksi
Karena saat itu semuanya sendiri
Mungkin yang tersemat hanya satu waktu
saat musibah mendera dan teringat Dia
Apakah hanya itu yang bisa dibawa?
 
Saatnya Ramadhan melengkapi bekal
jadikan pundi-pundi ini terpenuhi
Karena di bulan ini satu momen bisa jadi seribu
menjadi ransum ketika akhir tiba
 
Siam kedua belas 2007

Sabtu, September 22, 2007

Memaknai Bulan Suci

Bangun pagi sekali,
makan tanpa rasa, minumpun hanya bikin mual
Mending terus tidur, so what?
Mengambil wudhu rasanya berat
kaki mengantuk menjadi basah
sangat tak nyaman.
Lebih baik tidur saja, so what?
Siang hari terik,
Perut lapar mengantar kepala pusing
Haus teramat mengeruhkan pandang
Enakan makan eskrim atau minum teh botol
SO WHAT?
Malam-malam perut mau meledak
Rasa kantuk tak terbendung
berdiri terhuyung di sela begitu banyak rakaat
Padahal, acara tivi sedang primetime
Aah enakan menonton sampai tidur
SO WHAT?
Malam-malam bahkan monyetpun sudah tidur
menyusuri huruf-hujruf yang bukan bahasa sendiri
Membaca tulisan yang maknanya entah apa
Lebih enak baca novel atau komik
lumayan buat pengantar tidur
SO WHAT?
Tapi berapa lama kita hidup?
Satu juta, satu miliar, atau triliunan nafas
So what, kehidupan jika hanya untuk mati
So what, kalau seribu, seratus, sepuluh,
atau setarikan nafas dijadikan makna.
Karena di Ramadahan semuanya berlipat makna
Kapan lagi, jika maut tetap misteri
So?! Maknailah, maknailah, berikanlah makna
berikan nafas makna meski ditemani kantuk
Disenggol lapar dan dahaga
Didera kelesuan atau diejek televisi
Karena makna itulah yang menjadi inti kehidupan
Inti dari berapapun helaan nafas
Kapan lagi Ramadhan menyapa kita?!
 
Hari kesepuluh Ramadhan 2007

Selasa, Agustus 21, 2007

Sayatan Hati

Apakah hilangnya nada yang mengundangmu?
Pasti bukan karena tak ada sanak di dalam benak
Bukan jauhnya jarak sebagai ikhwalnya
Tidak pula karena miliaran insan yang musnah dari pandang
 
Engkau menyelinap
menikam di sela kelam
tidak hilang di pagi menjelang
 
Bagai kangker yang berakar
menyerang setiap aliran nadi
membusuk
mendera
dan menganga
sebuah luka di balik duka
Ke mana ia pergi?
 
Jakarta 210807

Rabu, Agustus 08, 2007

Titik Balik

Melirik ke kiri
Tak seorangpun berdiri
Mendongak ke atas
Tak satupun melintas
Menatap menerobos jutaan orang di depan
tak ada yang mempan
Kembali menengok ke belakang
Hanya satu yang dipandang
Hingga senyum kembali mengembang
layak menari di antara kembang sang belalang
 
Jakarta 080807

Selasa, Maret 27, 2007

Pecahan Kepala Pecah

KEPALAKU pecah lagi Dik. Pecahannya berserakan di lantai. Darah dan otakku berceceran menjadi satu. Kulihat hidungku menempel di krah kemeja bergambar kepala burung yang tidak jelas termasuk genus apa. Telingaku yang sebelah masih menggantung di leher yang kutung. Sebelah lagi terkulai jauh di bawah meja jati peninggalan buyutku. Rambut panjangku bergulung tak menentu di sandaran kursi kayu dengan alas dan hiasan dari rotan. Sementara gigi-gigiku tercerai di atas genangan darah bercampur otak dan nanah. Sedangkan, lidahku meringkuk lemas di atas paha yang setia mengambil sikap duduk yang sempurna.
Tidak kalah anehnya Dik, daguku bergantungan seperti bandul jam kuno karena jangut jarang yang tumbuh di atasnya tersangkut di kancing kemeja. Akan tetapi, disekelilingku tak bisa kutemukan pipi kasar penuh bopeng, bekas jerawat campur cacar air. Hanya sehelai jidat mancung yang terlihat setia menengadah melihat sepatu butut made in negeri 'Paman Sam'. Tak kalah seru dengan pemandangan, aroma amis pun tercium dihembis kipas angin yang masih belim lunass cicilannya.
"Kenapa kamu bisa melihat semua itu?"
Tentu bisa Dik, karena mataku pun sudah tidak lagi berada di tempatnya. Bola mata yang sebelah kiri menggelinding dan jatuh tepat di depan televisi yang menayangkan acara berita pilihan pemirsa. Sementara bola mata yang sebelah kanan justru jatuh di belakang kursi dan teronggok lemas di depan rak buku. Betul Dik, kepalaku telah pecah dan semua organnya berceceran.
Di sela suara televisi yang tengah menayangkan iklan kampanye seorang calon bupati, masih kudengar bunyi air yang luber dari ember. Memang rencanku setelah menonton televisi akan segera mandi. Akan tetapi, apa daya Dik, kepalaku pecah tak terperi.
Lambat laun kucoba merangkai kembali kepalaku. Tengkorak yang berantakan aku susun dan kutempel dengan lem super yang baru kubeli dari seorang pedagang asongan. Rahangnya aku pasang, giginya aku susun, dan lidahnya kurekatkan sesuai ilmu biologi yang sempat menempel pada pelajaran waktu SMA dulu. Setelah tengkoraknya memperlihatkan bentuk, aku jejalkan otakku di sela lubang yang sengaja belum aku tutup. Bola mataku aku kumpulkan dan aku masukan pada rongga di bawah jidatku. Begitu pula hidung dan telinga aku rangkai di tempat asalnya berada. Beberpa potong kulit dan daging yang kutemukan aku paksakan untuk jadi pipi dan daguku. Tinggal rambutku, agak susah dik, soalnya sulit dibedakan mana akar dan ujungnya. Namun, karene darurat, aku tempelkan apa adanya di atas tengkorak kepalaku.
Hanya, bagian tersulit ternyata bukan merangkai kembali kepala yang pecah Dik, tapi menempelkan kepala di atas leher yang kutung. Mungkin karena satu bagian dari tulang belakang tidak berhasil aku temukan. Akhirnya kuputuskan untuk merekatkannya dengan steples dan kemudian aku balit dengan solatif.
Akhirnya, pekerjaan yang tidak sebentar itu aku selesaikan. Mesku, untuk beberapa lama, aku enggan melihat cermin. Masalahnya, aku tidak pede dengan tanpang hasil karyaku. Padahal, kamu masih ingat kan Dik? Saat kau bersimpuh dan berkali-kali melempar rayu untuk mendapat cintaku. Kau bilang wajahku tidak kalah dengan par vokalis kelompok musik grunge kegemaranku.
Alhasil, semua cermin di rumah aku balik, bila tidak aku pecahkan. Mungkin supaya gampang kamu bisa buka kembali cerita tokoh The Beast di Istananya. Yah begitulah Dik, saat-saat mencengangkan ketika kepaku pecah.
Hari ini, aku mulai memberanikan diri keluar dari rumah. ... Ooh tidak Dik! Aku tidak menampakkan tampangku ke khalayak ramai, bila itu yang kau bayangkan. Mungkin bisa ada chaos jika itu aku lakukan. Semua orang bisa muntah dan melakukan jumrah padaku. Anak-anak kecil akan histeris dan tidak bisa tidur bermalam-malam karena memimpikan wajahku ini.
Lagi pula, bukan saja masalah image yang aku pertimbangkan. Akan tetapi ketahanan lem seribuan yang aku beli, tidak terlalu aku percaya bisa menahan rekatannya. Alhasil, aku buntal kepalaku dengan perban. Hanya menyiisakan lubang untuk mata, hidung, dan mulut. Yah, mirip orang habis operasi plastik lah.
Semua hal berjalan lancar, sampai aku tiba pada satu kesadaran Dik. Kesadaaran yang mencengangkan sekaligus menyeramkan. Semua hal yang aku dengar berbedajauh dengan yang aku rasakan. Bahkan, berbanding terbalik bila aku pandang. semua orng memperdengarkan kewajaran. Namun, yang aku lihat sangat jauh dari kata wajar.
Ambil satu contoh Dik, ketika semua orang bilang situasi negara aman, aku justru melihat ancaman yang sangat besar. Atau bila contoh tersebut terlalu jauh, aku ambil contoh lain. Ibuku dan semua orang bilang sorga ada di telapak kaki ibu. Akan tetapi, yang aku dengar justru banyak ibu yang membuang anaknya ketika lahir. Tak jarang di jalan-jalan aku lihat seorang ibu memerintahkan (baca dengan memaksa) anak-anaknya yang masih kecil untuk turun naik bis hanya demi uang recehan hasil mengemis. Atau tak kalah jungkir baliknya dengan para ibu yang memoles anak gadisnya, hanya untuk bisa mendapatkan mantu pilihannya. Padahal, tak jarang mantu pilihannya adalah manusia terbusuk dari semua kandidat yang paling mungkin. Apakah benar sorga masih ada di telapak kaki mereka?
Contoh paling baru Dik, bapak presiden kita bersumpah di bawah kitab suci akan melaksanakan UUD kita yang sering kita dengar saat upacara pagi. "Kemerdekaan adalah hak semua bangsa". Bahkan, dalam setiap kesempatan beliau dengan lantang meneriakan jargon anti penjajahan. Akan tetapi, beliau dengan langkah ringan telah menyetujui dan ikut menandatangani resolusi untuk menindas suatu bangsa. Aneh bukan?
Ah! Pasti posisi mata rakitanku terbalik. Atau telingaku salah posisi? Atau memang dunia ini yang terbalik.
Aduh Dik, sakit kepalaku memikirkan hal itu. Salah-salah kepalaku pecah lagi. Atau, apakah kepalaku memang sudah pecah? Pecah lagi, dan akan tetap pecah, meski pecahannya sudah dirangkai ulang menjadi satuan dari berbagai pecahan. Mungkin dunia ini yang sudah pecah, aaah memang kepalaku yang pecah. (280307)

Sabtu, Januari 20, 2007

Menjinakkan Pasar

SEDERHANA, selalu ingin tahu, spontan, dan akan tumbuh berkembang. Itulah gambaran seorang bocah pada umumnya. Pikirannya tidak pernah rumit, selalu praktis tapi tetap merupakan misteri bagi manusia dewasa. Kesedihan mereka hanya akan terlihat dari air matanya. Begitupula kebahagian akan diwakili ulasan senyum.
Gambaran tersebut sangat mirip dengan 'makhluk' yang dinamakan pasar. Dia selalu praktis dengan kesederhanaannya. Ketersediaan barang atau komoditi di pasar bisa dilihat dari besar kecilnya harga. Akan tetapi, sangat sensitif dengan berbagai pengetahuan. Setiap isu, akan direspon makhluk ini tanpa bisa dibendung.
Seperti telah diberitakan berbagai media termasuk surat kabar ini, pasar Indonesia saat ini tengah 'ngadat' khususnya pasar kebutuhan pokok. Semua harga melambung sangat tinggi. Akibatnya, rakyat di bumi Nusantara ini susah payah menggapainya.
Untuk itu, pemerintah selaku pengelola pasar telah mengambil berbagai langkah untuk menenangkan amukannya. Tak kurang, rayuan berupa operasi pasar sampai impor telah dilakukan. Bahkan, setiap pejabat di pemerintahan berlomba-lomba mengalunkan senandung stabilnya harga, melimpahnya pasokan, dan tingginya stok barang-barang kebutuhan pokok. Anehnya, pasar seolah menjadi tuli dan buta. Dia tidak lagi terpengaruh dengan berbagai rayuan tersebut.
Misalnya beras, sejak kenaikannya Lebaran lalu, dia tetap berada dikisaran tinggi. Bank Dunia pun dengan membabi buta menuduh beras penyebab miskinnya rakyat Indonesia. Panen musim gadu bukan lagi mainan yang bisa menenangkan pasar beras. Bahkan, impor yang bertubi-tubi tidak lagi terasa manis di lidah pasar. Dia tetap ngadat dan harga beraspun tetap mahal.
Hal sama terjadi dengan gula. Sejak berakhirnya giling pabrik gula, harganya mulai merambat naik. Kurangnya produksi dibanding kebutuhan direspon dengan kenaikan harga yang berkesinambungan. Puncaknya, ketika musim hari raya, harga bisa dibilang melonjak. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Ardiansyah Parman tak bisa membantahnya lagi. Sejak minggu ketiga Desember, harga gula nasional memang terus meningkat. Saat ini harganya telah mencapai Rp 6.500/kg hingga Rp7.500/kg. Harga ini jauh di atas harga lelang gula tertinggi yang hanya sebesar Rp5.600/kg.
Untuk itu Ardiansyah mengabarkan opsi menambah impor. Bahkan jika perlu
menggelontorkan gula rafinasi yang bisa membuat 'gerah' kalangan produsen gula eks tebu dan 'konco-konconya'. Entah ini rencana matang atau gertak sambal, tapi tujuannya satu, menekan harga kebutuhan pokok gula.
Lebih jauh, dalam kesempatan peresmian pabrik gula beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan Indonesia akan swasembada gula pada 2008. Khusus beras, beliau menyatakan pemerintahnya akan menambah produksi beras hingga dua juta ton. Pernyataan-pernyataan ini merupakan alat perayu agar pasar bisa kembali tenang.
Namun, mungkin pemerintah lupa, pasar juga bisa tumbuh. Sehingga tipuan tidak bisa lagi mempan. Pasar bahan pokok telah berubah menjadi anak bandel yang keras kepala. Hal ini seharusnya bisa menjadi peringatan. Menenangkan pasar harus kembali pada sifat aslinya. Menurunkan dan menyetabilkan harga hanya bisa dilakukan dengan memperbanyak stok dan menyetabilkan pasokan.
***
Impor bukanlah hal yang haram. Bahkan seorang Anton Apriyantono mengakui impor merupakan salah satu instrumen perdagangan dan pasar. Kendati demikian, menyandarkan stabilnya harga pada instrumen impor tidak bisa berlangsung lama. Apalagi, komoditi yang dibicarakan di sini ialah komoditi pokok yang sampai kapanpun akan meningkat permintaannya.
Ibaratnya, bergantung di ranting kecil di dinding jurang. Dia akan patah, jika dijadikan tempat bergantung lebih lama. Perlu solusi yang lebih langgeng dan manjur. Tentunya, solusi ini ialah peningkatan produksi dalam negeri, jika perlu lebih dari tingkat swasembada.
Kendati begitu, pencapaian tersebut tidak bisa dilakukan hanya pada sebatas wacana seperti revitalisasi pertanian. Harus ada langkah kongkrit sebagai pendukung cita-cita ini. Mulai dengan peningkatan produksi melalui intensifikasi lahan. Peningkatan kapasitas petani dan penyediaan penbiayaan dan peningkatan riset.
Menyatir ucapan mantan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudhohusodo, revitalisasi pertanian harus diawali rasa percaya diri. Bangsa ini harus mulai meyakini kemampuan para petani dalam berproduksi. Dengan begitu, petani akan semakin termotivasi. Impor hanya menjadi opsi terakhir saat terjadi gejolak pada komoditas pertanian.
Selanjutnya, perlu dilakukan audit untuk mencapai keseimbangan harga komoditi. Pasalnya, sistem perdagangan komoditi pertanian masih terlalu menguntungkan pedagang dan spekulan pasar. Petani tidak pernah menikmati keuntungan dari berapapun tingginya harga. Keadilan dalam pasar dan distribusi keuntungan harus ditegakkan. Jika keseimbangan harga tercapai, bukan hanya petani yang akan diuntungkan, konsumen pun tidak perlu lagi meragukan harga.
Sedangkan, untuk komoditi gula pencapaian swasembada akan lebih sempurna jika semuanya merupakan karya anak bangsa. Artinya, swasembada gula bukan hasil jerih payah bangsa lain dalam memproduksi bahan bakunya. Sistem seperti ini bisa saja dilakukan pada komoditas lain. Akan tetapi, untuk komoditas sepenting beras dan gula semua aspek produksinya harus swasembada. Ini merupakan syarat mutlak jaminan ketahanan pangan.
Bila semua itu tercapai, bukan tidak mungkin petani akan menjadi pilar perbangunan ekonomi Indonesia. Selain itu, pengendalian makhluk bernama pasar tidak akan lagi mengalami kesulitan. Sehingga, media massa tidak perlu lagi menulis berita yang sama setiap akhir tahun seperti kelangkaan stok, lonjakan harga, kisruh impor, dan lainnya. Namun, semua ini kembali pada armada di bawah duet SBY-JK, sanggupkah beliau-beliau ini mewujudkannya? (Toh)