Minggu, Oktober 01, 2006

Terkejut Kejutan

LADANG, sawah, rumah-rumah, kolam, pepohonan tampak berlarian melintasi jendela kereta di senja hari. Bunyi monoton roda kereta tak henti bergemuruh di raung AC kereta eksekutif jurusan Jakarta. Beberapa, penumpang terlihat terantuk-antuk dibuai mimpi. Hanya beberapa orang berdandan bak eksekutif muda sibuk membolak-balik halaman koran nomor dua di negeri ini.
Seorang gadis dengan seragam blazer berwarna biru gelap tak henti-henti menusukan ballpoint ke layar PDA-nya. Dengan rambut panjang tergerai melintasi selendang merahnya. Polesan merah darah berkilat di bibir munggil. Sesekali ia mengeluarkan cermin kecil hanya untuk memperbaiki poni yang tidak pada tempatnya.
Aku ingat masa dulu, saat masih berprofesi sebagai wanita karier. Dandanan dan langkah percaya diri akan selalu menemani setiap gerak. Seolah setiap mata memperhatikan, sehingga bunyi stileto pun haru ditata bukan hanya poni rambut atau letak selendang. Ahh.. masa muda yang penuh dengan semangat.

"Mau kemana Jeng?"

Suara seorang perempuan setengah baya menghentikan lamunanku.

"Ke Jakarta Bu" jawabku singkat.
"Asli Jakarta atau hanya berkunjung?"
Kembali perempuan itu bertanya, seolah tidak menangkap keenggananku berbicara.

"Saya asli Bandung Bu. Kebetulan suami saya kerja di Jakarta"
"Lho, suaminya kerja di Jakarta, kok Jeng ini dari Bandung? Emang tidak tinggal bareng suami?" Kembali mulut keriputnya meluncurkan tanya.

"Ooh tidak Bu, saya tinggal di Bandung. Yaah biasa Bu, suami saya itu weekend husband," jawabku dengan pengantar senyum.

Terbayang pertama kali ketika memutuskan untuk hidup terpisah, sehari setelah berjalannya resepsi pernikahan, dua tahun lalu. Keputusan tersebut bukannya tanpa protes. Akan tetapi, aku bisa menerima penjelasan suamiku yang memang kerjanya selalu berpindah tempat meski basisnya berada di Jakarta.

"Lebih baik kamu tinggal di Bandung. Kan di sini ada keluarga kamu. Jadi aku ga khawatir kalau harus melakukan perjalanan dinas jauh ke daerah. Soalnya, perjalananku sangat sering dan seringkali sangat jauh," ujar suamiku ketika itu.

Keputusan tersebut tampak sebagai keputusan paling tepat saat itu. Aku pun masih kerja di Bandung saat itu. Sebagai sekretaris sebuah perusahaan lokal yang cukup bonafid. Jadi sayang juga jika harus ditinggalkan karena ikut suami ke Jakarta. Namun, seiring berjalannya waktu, harus jujur aku merasa keputusan tersebut sangat salah saat ini.
Tahun pertama, suamiku selalu rajin datang setiap akhir pekan setiap minggunya. Namun, tahun kedua, kunjungannya mulai jarang. Kadang dua minggu sekali, tak jarang sebulan sekali. Bahkan, dua bula ini, dia seperti menghilang. Ketika di tanya melalui handphone-nya, dia sedang ada di pedalaman Kalimantan. Katanya, sudah tiga minggu dia di sana setelah sebelumnya melawat ke Papua.
Mungkin aku terlalu egois. Mungkin suamiku mulai merasa bosan setiap hari melakukan perjalanan akhir pekan. Padahal, bukan rahasia lagi, bagi orang metropolis, akhir pekan merupakan saat beristirahat dan bukan saat melakukan perjalanan. Sehingga, belakangan ini, aku mulai bisa menerima jika kunjungan yang dia lakukan hanya berbentuk telpon ataupun sebatas sms.

"Anak muda sekarang memang aneh-aneh. Masa sudah menikah masih hidup terpisah? Emang zaman uedan!" ibu tua itu kembali bersuara.

Enggan menjawab, aku kembali memfokuskan pandang pada seorang pemuda dengan boneka masih dibungkus plastik di tangannya tidak jauh di bangku depan. Dia tampak menimang boneka sambil berbicara melalui earphone yang tersambung ke handphone-nya.

"Papa sudah beli boneka buat Ade. Boneka babi pink," ujarnya dengan suara keras. Kebiasaan orang yang kedua lubang kupingnya tertutup. Mereka tidak sadar jika suara mereka cenderung nyaring sehingga teman sebangkunya yang tampak mengantuk memperlihatkan gerutuannya sambil menutupkan bantal ke telinganya.

Seorang anak, itulah yang kurang dalam keluarga yang aku bangun ini. Aku sendiri tidak terlalu keberatan dengan jarangnya kunjungan. Aku tidak pernah menuntut kebutuhan jasmani ataupun kebutuhan material. Namun, aku akan sangat bersyukur bila sumiku mau memenuhi kebutuhan psikis dengan cinderamata seorang bocah yang bisa kupanggil 'anakku'.
Setelah dua tahun perjalanan, hal itu nampak semakin jauh. Suamiku pun semakin jarang 'mengunjungiku'. Dia menjadi terlalu lelah saat tiba di Kota Kembang. Kunjungannya akan dihabiskan dengan tidur seharian. Jika sempat, kami berjalan-jalan ke kawasan utara Bandung sekedar menikmati nyalanya lampu kota di lihat dari ketinggiang perbukitan Bandung Utara.
Bahkan, jika cuti panjangnya dikabulkan, waktu yang tak lebih dari dua minggu itu selalu kami habiskan untuk mengunjungi seluruh sanak keluaraga. Pernah sekali aku dan suamiku melakukan kunjungan ke luar kota bersama. Tujuannya untuk mengganti waktu yang habis digerus pekerjaan masing-masing. Namun, perjalanan itu menjadi terlalu padat dengan seluruh perdebatan yang mengendap ketika tidak bertemu. Semua menjadi samar..
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengakhiri karierku. Keputusan ini kumaksudkan untuk memperkuat alasanku untuk pindah ke Jakarta. Dengan demikian, keluarga kecilku memiliki waktu lebih luas untuk lebih mengenal masing-masing bila berdekatan. Soalnya, meski telah dua tahun menikah, bisa dibilang aku jarang sekali berdekatan dengan suamiku.
Akan tetapi, suamiku bersikukuh agar aku tetap di Bandung bersama mertuanya, orangtuaku. Meski aku tinggal di rumah sendiri yang cukup berjauhan dengan rumah orang tuaku. Bahkan, dukungan dari mertuaku, orang tuanya, agar aku tinggal bersama di Jakarta, tidak diindahkan suamiku. Ahh, keras kepala! Itulah kesan yang pertama kali kudapat dari suamiku pertama kali kita bertemu.
Disinilah aku sekarang, menjelang Ibu Kota. Berharap kunjungan ini bisa menjadi kejutan manis bagi suamiku, dan bagi diriku sendiri. Setelah sekian lama tidak menginjakan kaki di tanah Sunda Kelapa.
Kunjungan ini sengaja aku rahasiakan. Kebetulan minggu ini suamikupun katanya tidak bisa ke Bandung karena kantornya menggelar rapat evaluasi sebuah proyek besar. Kupakai pakaian terbaikku. Kubawa beberapa oleh-oleh dari Bandung termasuk sambal goreng petai kegemarannya. Tak terasa, senyum melintas di bibirku.

"Waduh bahaya Jeng, kalau sudah tersenyum-senyum sendiri!" tegur wanita di sebelahku.

Enggan menjawab, aku hanya melempar kerling padanya dan menyandarkan kepala ke jendela, memandang hamparan sawah yang kering kerontang diterjang kemarau panjang.
Satu jam berlalu, sempat terlelap dalam impian manis tentang keterkejutan di muka suamiku, akhirnya kereta tiba di Gambir. Matahari hampir tenggelam, meninggalkan warna keemasan di dinding tugu Monas. Mengabaikan godaan dan tawaran tukang ojek, aku kabur dengan taksi yang berhasil kustop ke rumah kontrakan suamiku di bilangan Tebet.
Tiba di depan pintu rumah kontrakan, suasana rumah terlihat sepi. Malam sudah mulai merambat. Lampu neon depan rumah berkedip-kedip, tapi lampu dalam rumah masih tampak gelap.

"Jangan-jangan suamiku belum pulang" kataku pada diri sendiri.

Rumah kontrakan ini terletak di sebuah jalan kecil yang cukup nyaman. Suasana jalan sendiri sudah sepi. Dari rumah tertangga terdengar jeritan beberapa pemuda yang menyambut gol dari siaran langsung sepak bola di layar televisi mereka.
Mungkin aku harus menunggu, pikirku. Bila aku telepon dia sekarang, terus dia tahu aku menunggu di depan rumahnya, ini bukan lagi sebuah kejutan. Sebenarnya aku berharap muka terkejutnya saat membuka pintu untukku. Meski dia pasti akan ngomel, tapi aku yakin dia tidak akan keberatan dengan kejutan ini. Bahkan aku siap menyambut pelukan hangatnya, sehangat suasana hatiku sekarang.
Dua jam berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda suamiku akan pulang. Pikiranku sudah terbang pada kemungkinan-kemungkinan terburuk. Tiba-tiba, desir suara Nathalie Merchant mengalun di handphone. Nyanyian pengiring sebuah film lama, One Fine Day mengantar telepon yang aku tahu dari siapa.

"Hallo Mas, ada apa?" tanyaku.
"Hallo Dik. Kamu lagi di mana? Aku sudah menunggu dari tadi."
"Menunggu di mana Mas?" tanyaku was-was. Jangan-jangan dia tahu aku ke Jakarta. Pasti dia sudah menelepon ibuku, menanyakan ke mana diriku.

"Ya, di rumah. Kamu lagi di mana. Sudah sejam lebih aku nunggu di depan pintu rumah kita."
"Rumah kita di mana?"
"Rumah kita di mana, ya rumah kita di Bandung! Emang kamu lagi di mana?"
"Loh kok di Bandung? Katanya, minggu ini Mas tidak akan ke Bandung? Katanya ada rapat penting yang tidak bisa ditinggalkan? Kok sekarang ada di Bandung?"
"Ha..ha.. Maap Dik. Aku bohong. Kan niatnya aku mau buat kejutan buat kamu. Tiba-tiba datang. Ini aku sudah bawa oleh-oleh perhiasan dari Kalimantan nih"
"Ya ampun Mas. Aku juga sedang nunggu di depan rumah kontrakan Mas di Jakarta. Tadinya mau buat kejutan buat Mas. Aku sudah bawa sambel goreng petai kegemarannya Mas. Lha gimana dong!"
"DI JAKARTA! Ngapain kamu ke Jakarta? Kenapa ngga bilang-bilang?"
"..."
"..."
"HA..HA..HA... Kita sama-sama terkejut dong! Ha..Ha..."
"Gimana sih Mas ini? Aku gimana dong?"
"Ha..Ha..Ha.."