Rabu, Maret 26, 2008

Impor beras C'est Passée!

KRISIS pangan dunia sudah mulai santer disuarakan berbagai pihak. Peringatan terbaru datang dari lembaga riset beras dunia (International Rice Research Institute/IRRI). Menurut lembaga tersebut, dunia dihadapkan pada krisis pangan akibat minimnya suplay pangan khususnya beras dibanding kebutuhan.
Kondisi ini ditandai dengan melonjaknya harga beras dunia menjadi US$700 per ton. Harga ini mengalami kenaikan sebesar 50% dibanding harga di akhir Januari lalu. Ditenggarai penyebab lonjakan akibat besarnya permintaan yang tidak bisa diimbangi suplay. Pasalnya, dua eksportir besar beras dunia yakni Thailand dan Vietnam dikabarkan mengalami gangguan produksi akibat serangan hama dan bencana banjir.
Dampak negatif kondisi ini, Filipina sebagai importir besar beras di Asia Tenggara terancam kerusuhan. Bukan rahasia lagi, krisis beras di negara-negara di Asia kerap berujung pada kerusuhan dan revolusi. Hal ini pernah dialami bangsa ini di era tahun 60 dan 90-an akhir. Untuk itu, pemerintah Arroyo nekad meneken kontrak pembelian beras seharga US$708/ton awal bulan ini.
Namun, menurut IRRI kondisi ini hanya indikasi awal dari krisis pangan yang membayangi dunia. Lembaga ini menyoroti bukan saja masalah perubahan iklim global dan serangan hama. Secara mengejutkan IRRI juga menyoroti konversi lahan padi menjadi non padi atau malah menjadi non pertanian. Bila konversi lahan tidak distop bukan tidak mungkin dunia akan mengalami pertumbuhan negatif produksi beras. Padahal, pertumbuhan konsumsi merupakan keniscayaan seiring pertumbuhan penduduk dunia.
Lebih jauh, IRRI memprediksi sedikitnya dibutuhkan peningkatan produksi sebesar 50% untuk memenuhi kebutuhan beras dunia di 2025. Artinya, bila saat ini produksi beras dunia hanya 520juta ton maka 2025 dibutuhkan sediknya 880juta ton produksi beras. Bila tidak, dunia akan mengalami lonjakan harga sebagai awal krisis pangan yang berujung pada kelaparan.
Berdasarkan data IRRI, saat ini terdapat 2,4miliar penduduk dunia sangat bergantung pada beras. Dengan kontribusi belanja rumah tangga sebesar 20%, kenaikan harga akan memicu inflasi besar-besaran. Apalagi jika menyoroti porsi belanja rumah tangga miskin yang 70% pendapatanya dialokasikan untuk beras. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki karakter tersebut.
Dengan kondisi tersebut, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan ketahan pangannya kepada impor beras. Soalnya, sekarang hanya Thailand yang masih melakukan ekspor beras dalam jumlah besar. Vietnam, meski tetap mengizinkan ekspor, pemerintahnya menerapkan kebijakan pajak ekspor bagi komoditas beras. Sedangkan, China, India, dan negara produsen lainnya telah lama membatasi bahkan menutup keran ekspor beras.
Tahun ini, Vietnam dan Thailand sebagai suplayer tradisional beras Indonesia dikabarkan terserang wabah yang mengganggu persawahannya. Disamping itu, seiring kemajuan industri, sejak 2001 Vietnam kehilangan 700ribu Ha lahan sawah karena konversi menjadi pabrik dan perumahan. Akibatnya, Vietnam merevisi target ekspor berasnya dari lima juta ton menjadi hanya 4,5juta ton. Sedangkan, Thailand masih mematok angka 9,5juta ton dengan catatan tidak terjadi gangguan produksi. Padahal, pasar beras dunia masih membutuhkan pasokan sebesar lebih dari 28juta ton per tahunnya.
Sementara itu, Indonesia tahun ini diprediksi akan mengalami swasembada beras. Asumsi ini datang dari angka ramalan Badan Pusat Statistik (BPS) I 2008 yang menyatakan produksi padi nasional akan mencapai 58,27juta ton gabah kering giling. Dengan randemen 56% maka produksi beras nasional tahun ini bisa mencapai 32,63juta ton. Sedangkan, kebutuhan beras nasional per kapita sebesar 139kg. Artinya, kebutuhan per tahun hanya berada di kisaran 31,45juta ton.
Hal ini dipertegas oleh pernyataan Menteri Pertanian Anton Apriyantono. Menurutnya, di negeri ini setiap bulan selalu ada panen beras di berbagai daerah. Meski begitu memang terdapat beberapa bulan tertentu ketika produksi lebih rendah ketimbang kebutuhan. Untuk itulah, di masa panen raya Bulog dijagokan untuk bisa menyerap beras sebagai stok untuk cadangan pengisi ketika paceklik datang.
Selain pengamanan oleh Bulog, Anton mengingatkan dengan tingginya harga di luar negeri perlu ada pengawasan khususnya terkait ekspor. Baginya, langkah ini lebih baik dibanding menaikan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk menyamakan harga dengan harga dunia. Pasalnya, kenaikan HPP akan sangat memberatkan masyarakat yang saat ini sudah didera kenaikan harga berbagai barang kebutuhan.
Pernyataan serupa disuarakan berbagai pejabat pemerintah lainnya. Tidak kurang Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyatakan stabilisasi harga dan pasokan beras sebagai prioritas utama pemerintah. Bahkan, dalam rapat koordinasi di kantor Bank Indonesia, pembahasan soal ini menjadi topik utama. Baik pemerintah maupun BI sepakat, beras merupakan kunci menjaga inflasi.
Persoalan mendesak yang harus segera diputuskan solusinya terkait beras ialah kemungkinan pelarian keluar negeri. Dengan tingginya harga dunia (khususnya di Filipina), surplus besar beras di masa panen raya sekarang terancam diboyong eksportir ke luar negeri. Pasalnya, tidak ada aturan yang membatasi kegiatan ekspor.
Baik Anton, Boediono, maupun Mari sepakat bahwa pemerintah akan mulai memperketat pintu keluar bagi beras. Apalagi, saat ini petani Indonesia tengah memasuki masa panen raya. Di masa ini biasanya diproduksi 60% dari total produksi padi nasional. Jika menilik aram I (58,27juta ton), dalam tiga bulan kedepan akan ada produksi beras hampir 20juta ton. Padahal, kebutuhan beras selama tiga bulan hanya 7,5juta ton. Sehingga, terdapat surplus lebih dari 12juta ton yang berpotensi diekspor. Apalagi, di masa panen raya petani kerap dihadapkan pada jatuhnya harga padi.
Pemerintah masih menggodok opsi pengetatan pintu keluar beras. Opsi ini bisa berbentuk larangan, kuota, atau pengenaan tarif tinggi. Dengan langkah ini diharapkan stok beras nasional akan tetap aman khususnya di masa paceklik ke depan. Selain kebijakan pengaturan, pemerintah juga menyatakan akan mengetatkan pengawasan di semua pintu. Sedangkan, untuk pengamanan di dalam, Bulog tetap menjadi senjata utama dalam meningkatkan stok sekaligus mengamankan harga di tingkat petani.
Sedangkan, untuk kebijakan jangka panjang, pemerintah masih mempertahankan target peningkatan produksi beras nasional sebesar 5%. Meski target ini terlihat sedikit muluk melihat parahnya kerusakan infrastruktur pengairan di berbagai daerah. Khususnya di sepanjang aliran Bengawan Solo, kerusakan bukan saja merusak sawah tapi juga pemukiman penduduk.
Selain persoalan infrastruktur, Departemen Pertanian juga dihadapkan pada ancaman gangguan kesinambungan pasokan pupuk akibat minimnya anggaran subsidi. Diperkirakan tahun ini subsidi masih kurang Rp2,7 triliun akibat lonjakan harga pupuk dan gas dunia. Begitu juga dengan melambungnya harga jagung sementara HPP gabah dan beras dipertahankan, konversi sawah masih akan berpotensi besar.
Menilik perkembangan dunia saat ini, Indonesia mau tidak mau harus segera memperbaiki kinerja sektor pertanian. Jika perlu, revitalisasi pertanian kembali direkonstruksi bukan hanya sebatas wacana. Pasalnya, impor beras bukan lagi menjadi solusi murah. Peningkatan produksi dan kesejahteraan petani padilah solusi utama yang bisa mengamankan ketahanan pangan nasional. Impor beras C'est Passée! (Toh)