Rabu, Maret 15, 2006

Reunited

MEMACU kendaraan pada kecepatan 120 km/jam konstan sepanjang ruas tol Cipularang memang melelahkan. Apalagi, perjalanan kali ini bukan perjalanan biasanya yang sering dilakukan warga Bandung atau Jakarta di akhir pekan. Perjalanan kali ini lebih merupakan keterpaksaan dari sebuah kondisi memaksa, yang membuat diri merasa terpaksa. Terpaksa untuk melakukan hal yang cukup memaksa dilakukan, bukanlah sesuatu yang mengenakkan. Itulah, inti perjalanan dengan kecepatan tinggi sepanjang jalur penghubung dua kota besar di barat pulau Jawa.
Jarum di arloji masih menunjuk angka empat tigapuluh. Angin subuh bertiup kencang melalui jendela yang sedikit terbuka. Beberapa kali larikan sinar menyelinap di antara jejak air hujan di kaca depan mobil. Menyilaukan sekaligus menenggelamkan diri dalam kenangan di kota Priangan. Dari sebelah kiri, sesekali sedan atau truk menyalip dengan kecepatan tinggi, menjelang hari merambati pagi.

"Bo! Malam ini kita ke mana? Jojing, senam, fitnes, atau cuma nongkrong saja?"

Sebaris kata dalam suara sofran kembali terdengar di ujung helaan nafas udara dingin di ujung malam di tengah bulan Maret. Suara klakson sebuah bis antar kota terbirit-birit meninggalkan daun telinga. Mengembalikan sekuen sebuah adegan yang kerap terjadi di akhir jaman kuliah dulu. Masa keemasan, tanpa janji tanpa piala. Hanya canda dan tawa menyerta semua gerak di siang maupun malam.

"Bo Bo! Aku tadi makan di Bebek Darmo ketemu cowok keren. Jadi makan gratis deh!"

Suara sofran lain bertamu di helai daun ingatan di ujung kepala. Menghabiskan malam diiringi dentum musik tak tentu. Menghitung detik dalam lipatan buku ataupun kartu. Berbincang hangat membahas lirikan seorang pria atau siulan tetangga depan kos yang kerap mengiringi pagi menuju kampus.
Bila dana melimpah, bolehlah remang bioskop kita jajaki, atau kafe di Bandung Utara pun akan dituju. Akan tetapi, bila tak ada, cukup menanti ajakan teman yang memiliki freepass atau menunggu ladiesnight itupun jadi. Begitu ringan betapa sederhana. Semua tertata rapi di sepanjang koridor masa keemasan di akhir jaman kuliah. Pameran di Bumi para Dewa, Para Hyangan.

"Pagi Mbaaak!"

Suara serak menyentak. Cukup jelas dan dekat. Jarum di arloji menunjuk angka lima empatpuluhlima. Suara ini bukan suara kenangan, ini suara kenyataan. Pintu tol terakhir menuju kota sudah tiba. Seorang pemuda tanggung masih berbungkus sarung menawarkan senyum. Melintasi portal suara Bono melengking tinggi dari handphone di dalam tas.

"Woi kamu lagi di mana? Buruan ke kantor! Kita masih banyak tugas. Kamu ga usah nyari kost-an segala. Pokoknya cepat ke kantor! Awas kalau ga!!"

Suara bos baru dari kantor baru tidak menunggu sapa, langsung mendera. Suara memuakkan, lebih dari menyebalkan. Kembali lagi ke Bandung, kembali lagi ke kehidupan. Perjalanan sepi untuk kembali merambah masa yang sepi. Selamat pagi Bandung!

150306
kantor redaksi koran nomor dua
abdisalira

Tidak ada komentar: