Senin, Juli 03, 2006

Momen Religius


KEJATUHAN tim kandidat kuat juara dunia tahun ini, Inggris, menghadirkan kekecewaan di berjuta pendukungnya di seluruh Britania Raya dan Dunia. Namun, ada catatan menarik dari pertandingan yang diwarnai kartu merah untuk penyerang yang diramalkan bakal bersinar di piala dunia kali ini, Wayne Rooney. Inggris kembali tersingkir melalui adu penalti oleh Portugal, atau sebuah siaran ulangan dari Piala Eropa.
Yah, Inggris yang dianggap negara tempat kelahiran olahraga paling popular di bumi ini, kembali gagal dalam tos-tos-an. Sehingga, komentator dalam bahasa Inggris yang sudah jelas dari nada bicaranya merupakan orang Inggris mengatakan "As Usual, England fail to win in Penalty shootout!". Itulah kenyataan tragis yang harus dialami negeri Ratu Elizabeth, gagal dalam setiap adu penalti di turnamen Piala dunia. Masih segar kegagalan David Batty cs, atau David Beckham cs di setiap adu penalti, mereka gagal.
Namun, adu satu kalimat yang menggelitik saat menyimak pertandingan yang disiarkan langsung oleh hampir seluruh stasiun televisi di dunia ini, sebuah pernyataan komentator dalam bahasa Inggris. "It's a praying time", saatnya berdoa. Inilah saat semua pemain, offisial, pendukung, ataupun bukan untuk berdoa. Berdoa bagi kesuksesan timnya, berdoa untuk kegagalan tim lawannya. Inilah saatnya berdoa.
Bagi Inggris, negara yang menganggap sepakbola sebagai agama tentunya akan berdoa dengan caranya sendiri. Negara satu-satunya yang mengenal istilah "boxing-days" ini bisa dipastikan akan berdoa dengan agama bola. Akan tetapi, bukan sekali dua kali mereka gagal pada momen ini. Inggris selalu gagal dalam adu pinalti di piala dunia!
Sebuah fakta lucu tapi menyedihkan bagi seluruh insan persepakbolaan di negeri asalnya ini. Hal ini membuktikan, sepakbola sebagai sebuah sistem tidak bisa dijadikan sebuah dogma. Sepakbola ialah sebuah gerak yang asal katanya permainan. Saatnya bermain, bermain dengan keceriaan, bermain seperti jiwa anak kecil yang asik dengan permainannya. Hal inilah yang mungkin membuat pasukan Sven Goran ini kembali gagal dalam adu pinalti dengan Portugal.
Sebagai pertimbangan lain ialah tampak pada momen selebrasi. Menjadi pemandangan biasa ketika selebrasi sebuah gol, pencipta gol akan menunjuk langit atau tertunduk ke tanah. Hal ini memperlihatkan rasa terima kasih pada sesuatu yang 'Ilahiah'. Tapi hanya saat itu saja, pada saat bermain mereka kembali menjadi anak kecil yang sedang bermain. Beda dengan pemain Inggris, saat selebrasi mereka jarang memperlihatkan hubungan vertikal. Soalnya, saat mereka bermain itulah justru mereka sedang menapaki tangga vertikal. Penapakan tangga inilah yang membuat permainan mereka tidak seperti bermain. Justru seperti serdadu 'salib' menyongsong perang.
Hasilnya, mereka kehilangan spirit bermain. Memang harus diakui, mereka memperlihatkan kekuatan dengan power yang dikenal kick n rush. Seperti barisan fanatis yang kerasukan setan. Meski begitu, hal inilah yang membuat mereka selalu gagal pada 'moment religius' ketika 90 menit permainan tidak memberikan hasil dan 30 menit tambahan pun idem. Terbukti tahun ini, mereka kembali gagal. Gagal memenangkan proses adu pinalti.
Pendapat ini wajib disanggah, tapi boleh juga untuk ditimbang dan dihayati. Kembali lagi seperti telah disebutkan sebelumnya, bola dipandang dari sisi manapun akan terlihat bundar. Karena itulah bola.

kantor redaksi
abdisalira c 030706

Tidak ada komentar: