Jumat, Maret 24, 2006

To You...

Tough, you think you’ve got the stuff
You’re telling me and anyone
You’re hard enough

You don’t have to put up a fight
You don’t have to always be right
Let me take some of the punches
For you tonight

Listen to me now
I need to let you know
You don’t have to go it alone

And it’s you when I look in the mirror
And it’s you when I don’t pick up the phone
Sometimes you can’t make it on your own

We fight all the time
You and I… that’s alright
We’re the same soul
I don’t need… I don’t need to hear you say
That if we weren’t so alike
You’d like me a whole lot more

Listen to me now
I need to let you know
You don’t have to go it alone

And it’s you when I look in the mirror
And it’s you when I don’t pick up the phone
Sometimes you can’t make it on your own

I know that we don’t talk
I’m sick of it all
Can - you - hear - me – when – I -
Sing, you’re the reason I sing
You’re the reason why the opera is in me…

Where are we now?
I’ve got to let you know
A house still doesn’t make a home
Don’t leave me here alone...

And it’s you when I look in the mirror
And it’s you that makes it hard to let go
Sometimes you can’t make it on your own
Sometimes you can’t make it
The best you can do is to fake it
Sometimes you can’t make it on your own

By U2

Rabu, Maret 15, 2006

Reunited

MEMACU kendaraan pada kecepatan 120 km/jam konstan sepanjang ruas tol Cipularang memang melelahkan. Apalagi, perjalanan kali ini bukan perjalanan biasanya yang sering dilakukan warga Bandung atau Jakarta di akhir pekan. Perjalanan kali ini lebih merupakan keterpaksaan dari sebuah kondisi memaksa, yang membuat diri merasa terpaksa. Terpaksa untuk melakukan hal yang cukup memaksa dilakukan, bukanlah sesuatu yang mengenakkan. Itulah, inti perjalanan dengan kecepatan tinggi sepanjang jalur penghubung dua kota besar di barat pulau Jawa.
Jarum di arloji masih menunjuk angka empat tigapuluh. Angin subuh bertiup kencang melalui jendela yang sedikit terbuka. Beberapa kali larikan sinar menyelinap di antara jejak air hujan di kaca depan mobil. Menyilaukan sekaligus menenggelamkan diri dalam kenangan di kota Priangan. Dari sebelah kiri, sesekali sedan atau truk menyalip dengan kecepatan tinggi, menjelang hari merambati pagi.

"Bo! Malam ini kita ke mana? Jojing, senam, fitnes, atau cuma nongkrong saja?"

Sebaris kata dalam suara sofran kembali terdengar di ujung helaan nafas udara dingin di ujung malam di tengah bulan Maret. Suara klakson sebuah bis antar kota terbirit-birit meninggalkan daun telinga. Mengembalikan sekuen sebuah adegan yang kerap terjadi di akhir jaman kuliah dulu. Masa keemasan, tanpa janji tanpa piala. Hanya canda dan tawa menyerta semua gerak di siang maupun malam.

"Bo Bo! Aku tadi makan di Bebek Darmo ketemu cowok keren. Jadi makan gratis deh!"

Suara sofran lain bertamu di helai daun ingatan di ujung kepala. Menghabiskan malam diiringi dentum musik tak tentu. Menghitung detik dalam lipatan buku ataupun kartu. Berbincang hangat membahas lirikan seorang pria atau siulan tetangga depan kos yang kerap mengiringi pagi menuju kampus.
Bila dana melimpah, bolehlah remang bioskop kita jajaki, atau kafe di Bandung Utara pun akan dituju. Akan tetapi, bila tak ada, cukup menanti ajakan teman yang memiliki freepass atau menunggu ladiesnight itupun jadi. Begitu ringan betapa sederhana. Semua tertata rapi di sepanjang koridor masa keemasan di akhir jaman kuliah. Pameran di Bumi para Dewa, Para Hyangan.

"Pagi Mbaaak!"

Suara serak menyentak. Cukup jelas dan dekat. Jarum di arloji menunjuk angka lima empatpuluhlima. Suara ini bukan suara kenangan, ini suara kenyataan. Pintu tol terakhir menuju kota sudah tiba. Seorang pemuda tanggung masih berbungkus sarung menawarkan senyum. Melintasi portal suara Bono melengking tinggi dari handphone di dalam tas.

"Woi kamu lagi di mana? Buruan ke kantor! Kita masih banyak tugas. Kamu ga usah nyari kost-an segala. Pokoknya cepat ke kantor! Awas kalau ga!!"

Suara bos baru dari kantor baru tidak menunggu sapa, langsung mendera. Suara memuakkan, lebih dari menyebalkan. Kembali lagi ke Bandung, kembali lagi ke kehidupan. Perjalanan sepi untuk kembali merambah masa yang sepi. Selamat pagi Bandung!

150306
kantor redaksi koran nomor dua
abdisalira

Kamis, Maret 09, 2006

Mentok


Fokus pada suatu masalah adalah perkara yang tidak gampang. Terlebih ketika angin tidak bertiup ke arah yang dikehendaki.

Bila hendak melintasi sepanjang Sudirman dan Thamrin, dulu hanya perlu memakai busway. Tidak panas, tidak berdesakan, kadang malah udaranya terlalu dingin, jadi perlu jaket. Namun, siang ini rencana seperti itu mustahil dilaksanakan. Udara panas sepanjang hari tak henti memproduksi keringat sehingga punggung terasa dingin ketika ada angin debu menerpanya. Keringat bukan lagi bercucuran, tapi lebih pas dibilang membanjiri. Alhasil, dengan kondisi jalur biasa yang macet, semua orang kontan memilih busway sebagai kendaraan menuju tujuannya masing-masing.

Tak seperti dulu, busway hanya terdiri dari satu koridor. Saat ini Jakarta telah memiliki tiga koridor. Tujuannya mulia, agar penduduk pinggiran kota bisa turut merasakan nyamannya busway guna melintasi kota Jakarta dari Timur hingga Barat, atau dari Selatan menuju Utara. Namun, karena proyek tersebut masih berbentuk euforia, hasilnya tidak begitu baik. Pengaturan jalur bisa dibilang kacau dari pada amburadul.
Puluhan penumpang berdesakan hampir di seluruh halte. Jalur-jalur busway berlubang dan berebut dengan jalur umum, tidak mengenakkan. Apalagi di halte transit Monas ini. Halte darurat tidak memberikan kesejukan air conditioner karena halte benar-benar terbuka. AC-pun jadi sia-sia, malah debu yang membonceng buswaylah yang mendominasi.

Wah bener susah untuk fokus! Ga tau deh ini tulisan mau ke mana? give-up deh. Pikirin sendiri!