Selasa, Maret 27, 2007

Pecahan Kepala Pecah

KEPALAKU pecah lagi Dik. Pecahannya berserakan di lantai. Darah dan otakku berceceran menjadi satu. Kulihat hidungku menempel di krah kemeja bergambar kepala burung yang tidak jelas termasuk genus apa. Telingaku yang sebelah masih menggantung di leher yang kutung. Sebelah lagi terkulai jauh di bawah meja jati peninggalan buyutku. Rambut panjangku bergulung tak menentu di sandaran kursi kayu dengan alas dan hiasan dari rotan. Sementara gigi-gigiku tercerai di atas genangan darah bercampur otak dan nanah. Sedangkan, lidahku meringkuk lemas di atas paha yang setia mengambil sikap duduk yang sempurna.
Tidak kalah anehnya Dik, daguku bergantungan seperti bandul jam kuno karena jangut jarang yang tumbuh di atasnya tersangkut di kancing kemeja. Akan tetapi, disekelilingku tak bisa kutemukan pipi kasar penuh bopeng, bekas jerawat campur cacar air. Hanya sehelai jidat mancung yang terlihat setia menengadah melihat sepatu butut made in negeri 'Paman Sam'. Tak kalah seru dengan pemandangan, aroma amis pun tercium dihembis kipas angin yang masih belim lunass cicilannya.
"Kenapa kamu bisa melihat semua itu?"
Tentu bisa Dik, karena mataku pun sudah tidak lagi berada di tempatnya. Bola mata yang sebelah kiri menggelinding dan jatuh tepat di depan televisi yang menayangkan acara berita pilihan pemirsa. Sementara bola mata yang sebelah kanan justru jatuh di belakang kursi dan teronggok lemas di depan rak buku. Betul Dik, kepalaku telah pecah dan semua organnya berceceran.
Di sela suara televisi yang tengah menayangkan iklan kampanye seorang calon bupati, masih kudengar bunyi air yang luber dari ember. Memang rencanku setelah menonton televisi akan segera mandi. Akan tetapi, apa daya Dik, kepalaku pecah tak terperi.
Lambat laun kucoba merangkai kembali kepalaku. Tengkorak yang berantakan aku susun dan kutempel dengan lem super yang baru kubeli dari seorang pedagang asongan. Rahangnya aku pasang, giginya aku susun, dan lidahnya kurekatkan sesuai ilmu biologi yang sempat menempel pada pelajaran waktu SMA dulu. Setelah tengkoraknya memperlihatkan bentuk, aku jejalkan otakku di sela lubang yang sengaja belum aku tutup. Bola mataku aku kumpulkan dan aku masukan pada rongga di bawah jidatku. Begitu pula hidung dan telinga aku rangkai di tempat asalnya berada. Beberpa potong kulit dan daging yang kutemukan aku paksakan untuk jadi pipi dan daguku. Tinggal rambutku, agak susah dik, soalnya sulit dibedakan mana akar dan ujungnya. Namun, karene darurat, aku tempelkan apa adanya di atas tengkorak kepalaku.
Hanya, bagian tersulit ternyata bukan merangkai kembali kepala yang pecah Dik, tapi menempelkan kepala di atas leher yang kutung. Mungkin karena satu bagian dari tulang belakang tidak berhasil aku temukan. Akhirnya kuputuskan untuk merekatkannya dengan steples dan kemudian aku balit dengan solatif.
Akhirnya, pekerjaan yang tidak sebentar itu aku selesaikan. Mesku, untuk beberapa lama, aku enggan melihat cermin. Masalahnya, aku tidak pede dengan tanpang hasil karyaku. Padahal, kamu masih ingat kan Dik? Saat kau bersimpuh dan berkali-kali melempar rayu untuk mendapat cintaku. Kau bilang wajahku tidak kalah dengan par vokalis kelompok musik grunge kegemaranku.
Alhasil, semua cermin di rumah aku balik, bila tidak aku pecahkan. Mungkin supaya gampang kamu bisa buka kembali cerita tokoh The Beast di Istananya. Yah begitulah Dik, saat-saat mencengangkan ketika kepaku pecah.
Hari ini, aku mulai memberanikan diri keluar dari rumah. ... Ooh tidak Dik! Aku tidak menampakkan tampangku ke khalayak ramai, bila itu yang kau bayangkan. Mungkin bisa ada chaos jika itu aku lakukan. Semua orang bisa muntah dan melakukan jumrah padaku. Anak-anak kecil akan histeris dan tidak bisa tidur bermalam-malam karena memimpikan wajahku ini.
Lagi pula, bukan saja masalah image yang aku pertimbangkan. Akan tetapi ketahanan lem seribuan yang aku beli, tidak terlalu aku percaya bisa menahan rekatannya. Alhasil, aku buntal kepalaku dengan perban. Hanya menyiisakan lubang untuk mata, hidung, dan mulut. Yah, mirip orang habis operasi plastik lah.
Semua hal berjalan lancar, sampai aku tiba pada satu kesadaran Dik. Kesadaaran yang mencengangkan sekaligus menyeramkan. Semua hal yang aku dengar berbedajauh dengan yang aku rasakan. Bahkan, berbanding terbalik bila aku pandang. semua orng memperdengarkan kewajaran. Namun, yang aku lihat sangat jauh dari kata wajar.
Ambil satu contoh Dik, ketika semua orang bilang situasi negara aman, aku justru melihat ancaman yang sangat besar. Atau bila contoh tersebut terlalu jauh, aku ambil contoh lain. Ibuku dan semua orang bilang sorga ada di telapak kaki ibu. Akan tetapi, yang aku dengar justru banyak ibu yang membuang anaknya ketika lahir. Tak jarang di jalan-jalan aku lihat seorang ibu memerintahkan (baca dengan memaksa) anak-anaknya yang masih kecil untuk turun naik bis hanya demi uang recehan hasil mengemis. Atau tak kalah jungkir baliknya dengan para ibu yang memoles anak gadisnya, hanya untuk bisa mendapatkan mantu pilihannya. Padahal, tak jarang mantu pilihannya adalah manusia terbusuk dari semua kandidat yang paling mungkin. Apakah benar sorga masih ada di telapak kaki mereka?
Contoh paling baru Dik, bapak presiden kita bersumpah di bawah kitab suci akan melaksanakan UUD kita yang sering kita dengar saat upacara pagi. "Kemerdekaan adalah hak semua bangsa". Bahkan, dalam setiap kesempatan beliau dengan lantang meneriakan jargon anti penjajahan. Akan tetapi, beliau dengan langkah ringan telah menyetujui dan ikut menandatangani resolusi untuk menindas suatu bangsa. Aneh bukan?
Ah! Pasti posisi mata rakitanku terbalik. Atau telingaku salah posisi? Atau memang dunia ini yang terbalik.
Aduh Dik, sakit kepalaku memikirkan hal itu. Salah-salah kepalaku pecah lagi. Atau, apakah kepalaku memang sudah pecah? Pecah lagi, dan akan tetap pecah, meski pecahannya sudah dirangkai ulang menjadi satuan dari berbagai pecahan. Mungkin dunia ini yang sudah pecah, aaah memang kepalaku yang pecah. (280307)

Tidak ada komentar: