Jumat, Mei 06, 2005

Achevcenko#2


Image hosted by Photobucket.com


SUKSES! Milan berhasil menekuk Fiorentina di kandangnya, kota Florence. Daerah yang selalu membawa sial bagi tim ini. Dua kali ditekuk klub gurem asal daerah ini; Siena dan Livorno.
Jalur scudeto masih terpampang di jendela angan Carlo dan sebagian tim lainnya. Bahkan sang perdana menteri "The Godfather" Silvio pun tak luput mengunjungi ruang ganti melalui telepon berspiker keras mengucapkan Bravo! Magnifico! dan bla..bla.. lainnya. Aku sendiri berhasil menyarangkan bola di pelukan jaring gawang kota Florence. Sebuah kota yang sangat indah sebenarnya. Kota yang mampu mengalahkan keindahan kota Milan dengan udaranya yang lebih nyaman.
Untuk sementara, Carlo tak perlu memusingkan pertandingan di liga. Meski si Nyonya Tua masih bisa mengungguli lawannya sehingga poin kita masih sama. Penyakit ngocehnya sedikit reda. Para pemain diperbolehkan libur sebelum melakukan perjalanan ke Einhoven guna menjawab tantangan pasukan Guus Hiddink. Ah Kangen juga aku dengan si Bouma dan bau badannya. "Besok kalian libur latihan, Bolehlah berkunjung atau menikmati waktu bersama perempuan-perempuan kalian ha..ha.. Tapi ingat tak ada mabuk-mabukan, kalian haruis fit saat menghadapi PSV nanti. Strategi nanti akan kita bahas pada saat latihan," koar Carlo meski tampaknya tak ada satupun yang mendengarkan.
Mereka sibuk dengan kelelahan dan rasa puas yang bercampur aduk.
"PEREMPUAN mana yang akan kau ajak malam ini Shev?" gurau Stam dengan suara lantang.
"Waah! Kalau dia paling bareng si nyonya dan bayi kecilnya," timpal Paolo.
"Tapi baguslah itu tandanya dia setia. Jadi kita ga perlu takut ia pindah ke Madrid tahun depan," sambung karlo menimpali jawaban Paolo.
"Sudahlah Shev, malam ini kau gabung saja. Kita akan pergi ke sebuah klub malam di tengah kota. Di sana model-model Milan pasti berkenan menghiburmu! Perfeto! PEREMPUAN tinggi dengan busana seksi dibalur wangi farfum Chanell. Memabukkan!" Seloroh Genaro yang bergerombol dengan Andrea dan Massimo.
"Hei! Siapa yang bilang mabuk? Ingat! Tak ada mabuk-mabukan sebelum pertandingan final dan liga berakhir!" tukas Carlo dengan serta merta seolah mempunyai radar bagi bau alkohol.
"Siap Boos!" seru ketiga remaja lokal tersebut bersamaan.
Aku hanya tersenyum tanpa kata. Entah cape atau bisu. Aku sendiri seperti lupa bagaimana membentuk kata. Hanya lambaian dan senyum aku bagikan pada para pemain dan official yang aku temui sepanjang koridor menuju parkir.
....

Opel jatah tim pun aku geber ke rumah selepas kerubutan tifosi yang masih berkumpul di gerbang depan bisa kulepaskan. Kali ini tak ada yang aku harapkan selain dekapan hangat PEREMPUAN dengan bau muntah bayi, ya tentunya istriku.
Di depan pintu rumah, Helen telah menanti tetap dengan bahasa yang masih aku ga ngerti
"Selamat.. malam .. eh Tuan. Saya bawakan.. eh tasnya," usulnya
Tak sepatahpun kata ku umbar hanya anggukan. Langsung menuju kamar si kecil. Sebuah pemandangan indah, bayi tertidur dengan tampang polosnya, dia, anakku. Ku kecup keningnya kemudian selama lima menit aku pandang pemandangan indah ini. Lebih indah dari tarian gelombang atau kepulan asap merah dari penonton setiap kali tim mengawali pertandingan kandang.
"Honey! Kau sudah pulang?" teriak istriku dari kamar mandi.
Bau sabun menyebar ke seluruh kamar dari pintu kamar mandi yang terbuka mempertontonkan lenggokan sosok perempuan seksi berlumuran busa di sela kepulan uap air.
"Iya Sayang! Aku baru sampai!" jawabku.
"Pasti kau cape. Sudahlah mandi dulu. Sini! Kita mandi bareng," ajaknya.
Wah tawaran menarik, tanpa melepas baju aku langsung menyelusup ke dalam kamar mandi. Padahal sebelumnya aku telah mandi di ruang ganti tim. Tapi, mandi dengan perempuan satu ini lebih menarik dan tentunya membawa kesegaran tersendiri. Ah dasar perempuan. Apa sebenarnya yang mereka miliki?
"By the way Honey, selamat atas kemenangan dan golnya," bisik istriku manja.
...

Sehari sebelum pertandingan, tim sudah berada di Eindhoven. Para tifosi seakan tak lelah tetap mengiringi kami. Atribut merah hitam dan nyanyian mereka terdengar saat kedatangan kami di bandara. Hal sama terjadi di tempat latihan, serasa di rumah dan cukup menambah kepercayaan diri.
"Ingat! Tugas kita hanya mempertahankan kemenangan 2-0 yang kita raih sebelumnya. Usahakan mencetak gol, tapi yang paling utama jangan sampai kebobolan. Paolo, Alesandro dan kau Stam, tugas kalian menempel siapapun penyerang tuan rumah. Apalagi kau Stam, kau hapal permainan tim mereka karena kau pernah main disana kan?" oceh Carlo lagi.
"Tugas kalian para bek ialah menempel penyerang. Anggap mereka PEREMPUAN kalian! Jangan biarkan mereka lolos apalagi mencetak gol..!" timpal Carlo tak henti.
"Tapi Carlo, bagaimana kita bisa mencetak gol bila fokus pada pertahanan. Aku ingin ada pemain tengah yang mendukungku dan menyupli bola ke depan," usulku.
"Betul Carlo! Aku sepakat dengan usul Sheva. Bagaimana kami bisa mencetak gol bila tak ada dukungan?" timpal Crespo mengamini usulku.
"Ah kalian jangan kaya PEREMPUAN! Kalian harus kreatif mengejar bola, jangan menunggu umpan dari 'lelakinya' para pemain tengah! Sudah sekarang kita dalam posisi menang. Aku tahu PSV bukan tim kecil, mereka bisa main kesetanan di kandangnya. Sehingga aku butuh pemain tengah guna mendukung pertahanan. Tapi bila ada kesempatan, kalian bisa melakukan serangan balik cepat untuk mencetak gol" tukas Carlo.
Ah dasar orang Itali, pikiran mereka selalu pertahanan. Mereka terlalu mengagungkan Catenacio yang sudah ketinggalan jaman itu. Padaha tim ini kaya akan pemain tengah kreatif dengan kemampuan serang tinggi dibanding bertahan.
"Baik! Formasi kita 4-5-1; bek Cafu, Paolo, Alesandro, dan Stam. Pemain tengah, Andrea, Clarence, Gatuso, Rui dan Kaka. Untuk penyerang kau saja Sheva. Ingat para bek dan pemain tengah, kalian tempel para penyerang baik tengah maupun depan layaknya PEREMPUAN kalian!" celoteh Carlo lagi.
...

Hari besarpun tiba. Kedua tim berbaris di lorong menuju lapangan. Para pemain memasang tampang menakutkan kepada lawan-lawannya. Sementara pikiranku tetap pada bau sabun yang terselip di langit-langit kepalaku selepas pergumulan panjang
di kamar mandi tiga malam lalu. Aah seandainya PEREMPUAN itu mau datang melihat pertandingan kali ini. Mungkin aku bisa mengajakanya mengunjungi kincir angin ditengah hamparan tulip. Tapi cuma bau sabunnyalah yang berhasil kuseret ke negeri bawah laut ini, sementara pemiliknya hanya memberikan kecupan dan seulas senyum menolak ajakanku.
"Lain kali Honey. Saat si kecil sudah bisa berjalan," kilahnya.
Dasar PEREMPUAN, menyebalkan tapi dibutuhkan.
Deru terompet dan genderang memenuhi setiap pojok stadion Philip di kota Eindhoven. Tipikal penonton Belanda selalu membawa drumband. Warna merah putih menghampar di sepanjang tribun. Hanya satu sudut stadion berisi pendukung Milan, tetap dengan bendera hitam merah dan obor isyarat warna merah yang menghasilkan asap kemerahan. Para pemain berlarian menuju tempatnya masing-masing menyisakan Paolo dan van Bommel yang berjalan bersama tiga orang aparat lapangan dengan dua bocah cilik memakai seragam kedua tim.
Peluit panjang dibunyikan, setiap pemain Milan tampak patuh dengan perintah Carlo, mereka menempel lawannya bak suami yang takut kehilangan PEREMPUAN-nya. Man to man marking, sebuah corak permainan ala catenacio Itali.
"Aaargh!" teriak Paolo setelah kena terjangan salah seorang penyerang PSV, Jan Vennegoor of Hesselink. Ia nampak kesakitan dan berguling-guling di rumput.
"Kau kenapa?" tanyaku pada Paolo.
Nampak Genaro berlari kearah si Jangkung dari PSV dengan sikap bermusuhan. Untunglah Alesandro berhasil menahannya. Wasit memberikan freekick. Pertandingan dilanjutkan sementara Paolo dipapah ke pinggir lapangan. Tak berapa lama ia sudah kembali memasuki lapangan.
"Kau baik-baik saja Paolo?" teriakku.
"Aah sudah jangan kayak PEREMPUAN! Aku ga apa-apa kok, main sana!" jawabnya
PEREMPUAN-PEREMPUAN, apa salahanya jadi PEREMPUAN? Kenapa para laki-laki sering memasang muka menghina tatkala mengucapkan kata seperti itu. Mengapa pula harus terhina bila disebut seperti PEREMPUAN. Bukankah mereka membutuhkan dan bahkan mendambakan PEREMPUAN setiap kali mereka bicara.
Bencana bagi tim dimulai pada menit ke-9 babak pertama. Salah satu 'perempuan', pemain asal Korea Park ji Sung, yang semestinya dijaga para bek berhasil lolos dan menjebol gawang Dida, 1-0 untuk tuan rumah. Carlo terdiam membisu, ia hanya terdiam di boks official dan pemain cadangan. Sebuah pemberontakan 'perempuan'.
Setelah kejadian tersebut, pertahanan kami digedor berulangkali. Bak air bah serangan demi serangan dilancarkan pasukan Eindhoven. Namun para bek masih berhasil menjaga perempuan mereka masing-masing. Babak pertamapun berakhir dengan kedudukan tetap 1-0.
Di ruang ganti Carlo semakin gugup, penyakit bercelotehnya seperti tak mau kambuh. Hanya Mauro, asistennya, yang memberikan evaluasi babak pertama sembari memberikan petunjuk untuk memperbaikinya.
"Tenang anak-anak, kita masih memiliki keunggulan aggregat. Tapi, kalian harus lebih memperketat pertahanan dan tak lupa membalas dengan serangan balik agar perhatian mereka terpecah..," gagas Mauro.
"Tidak tidak! Kalian tidak memperhatikan instruksiku. Pemain tengah seharusnya tetap fokus pada pemain tengah. Para penyerang mereka sebenarnya hanya penarik perhatian. Si Hiddink nampaknya lebih mengandalkan serangan dari tengah. Pemain belakang tetap menempel penyerang, sedangkan pemain tengah harus menjaga para 'perempuan'-nya di tengah. Dengan demikian serangan mereka terpotong dari tengah..," tukas Carlo tiba-tiba setelah penyakit beo-nya kambuh lagi.
Kenapa harus fokus pada pertahanan, bukankah menyerang merupakan pertahanan terbaik. Itu filosofi Rinus Michel ketika Ajax merajai Eropa dengan total football-nya. Seharusnya tim bisa memadukan strategi itu dengan pola catenacio. Soalnya tim ini mempunyai kemampuan untuk melakukan hal hebat tersebut. Tapi, semua itu tetap kusimpan di kepalaku, entah kenapa aku malas menyuarakannya pada Carlo yang tampak panik melihat jalannya pertandingan yang didominasi tim lawan.
Babak keduapun dimulai, tim tuan rumah tampak semakin menggila didorong genderang dan nyanyian yang tak henti dari para supporternya. Sementara, para pemain Milan semakin kedodoran untuk mengekang para 'perempuan' yang semakin binal bergelinjang, coba melepaskan diri dengan goyangan cantiknya. Lima belas menit dibutuhkan sebelum salah satu pemain tengah lawan, pemain senior yang sudah melanglang buana, Cocu, kembali menjebol gawang Dida, 2-0 untuk tuan rumah. Para pemain semakin panik, sementara Carlo tampak semakin ciut di boks.
Para 'perempuan' Eindhoven dengan dikoordinasi van Bommel dan Lucius di tengah semakin menggila dengan tarian dan tipu daya melalui umpan-umpan terukur yang membahayakan. Dari boks tampak Massimo mulai melakukan pemanasan dengan instruksi dari Mauro. Apakah, Carlo berniat memperkuat pertahanan, entahlah. Kenapa ia tak memasukan penyerang. Tak lama berselang, John Dahl pun ikut melakukan pemanasan. Ah ia hendak memanasi para penonton dengan menampilkan salah satu pahlawannya di masa lalu.
Setelah kedua orang tersebut masuk permainan kembali nampak berimbang. Mungkin karena adanya darah segar atau mungkin pemain lawan sudah puas dengan skor sekarang. Mereka hendak memaksakan perpanjangan waktu atau adu penalty. Mungkin juga para 'perempuan' ini ada limitnya juga.
Tiga puluh menit berlalu, kedudukan masih saja tak berubah 2-0. Namun, Bouma yang seharian menempel aku telah digantikan akibat cedera. Kini giliran pemain Eindhoven menjadikan kami sebagai perempuan yang mesti ditempel ketat setiap saat. Sebuah serangan balik digalang. Kaka mencoba menggedor sisi kanan lawan. Para bek Eindhoven, seolah melihat perempuan molek berlenggak-lenggok mengundang, berlari mendekati Kaka. Namun bocah latino itu berhasil melepaskan umpan terukur ke depan gawang. Para bek lebih terfokus pada aku dan John Dahl yang mereka anggap 'perempuan' lebih menarik ketimbang lainnya.
Bola melayang melengkung, dari tengah Massimo tampak leluasa menyambar bola. Tanpa tekanan, tanpa gangguan, hanya ia dengan kiper yang terakhir kukenal namanya Gomes. Bola menyentuh kepala Massimo, melayang kearah sisi kiri gawang Gomes. Sebuah jari, sempat menyentuh si bundar tapi bola terlalu kencang. Si kulit bundarpun tetap deras melaju menyentuh jaring. Hening sesaat, saat itu menit 90+1, injury time. Penonton tuan rumah terkesima tak percaya pun para tifosi. Peluit dibunyikan wasit tanda terjadinya gol, tak lama teriakan minor tifosi terdengar, GOOOOOOL! Massimo berlari merayakan gol pertamanya di liga
Champion. Sebuah gol yang megakhiri pemberontakan 'perempuan'. Sebuah gol yang mengawali pemberontakan baru 'perempuan'. Sebuah gol yang mengantar Milan ke Final.
Carlo berlonjakan tak karu-karuan, pesta dimulai. Gol Cocu semenit kemudian seperti tak berarti lagi. Peluit panjang dibunyikan, kedudukan akhir 3-1 untuk tuan rumah. Namun, meski menang anak-anak PSV Eindhoven menangis layaknya peremuan, gagal melaju ke final. Kekalahan Milan sebagai buah pemberontakan perempuan, tapi terselamatkan dengan berlaku layaknya perempuan yang memberontak...

abdisalira © 070505

2 komentar:

di persimpangan rasta mengatakan...

Pertama, pendapat sebagai seorang teman. "Oi, ngapain sih pake gambar Euiy-chevcenko untuk jelasin perempuan?" Kurasa lebih baik gambar itu digubah lagi.

Kedua, pendapat sebagai seorang lawan. "Sep, akhirnya ada ***cenko pun beranak kau buat. Tidak hanya ngomongin individualis, tapi perempuan-is. Luar biasa. Ibarat bermain di lapangan bola, apa saja bisa terjadi."

Ketiga, pendapat sebagai seorang perempuan. "Apaan sih bedanya, PEREMPUAN dengan perempuan? @*$(*%)#&@#) Ga' ngerti deh gua ama elu. Apaan lagi maksudnya. Dasar cowo'. Sok. Egois."

Keempat, pendapat sebagai seorang pengamat. "Perempuan yang lu bicarain itu sifatnya. Nah, kenapa tidak lu ubah menjadi tim sepak bola perempuan saja. Mungkin bisa nemuin sesuatu yang baru."

Kelima, pendapat sebagai orang Indonesia. "Saya tidak suka ama tulisan ini. Emang kenapa kalau harus Italia?"

Keenam, pendapat sebagai pemain bola. "Sep, makasih. Akhirnya ada yang mengerti kenapa kami bermain bola."

Ketujuh, pendapat sebagai pembaca. "Sep, cerita ini masih garing. Tapi, masalahnya gua ga' tau napa euy....? Garing aja."

Kedelapan, pendapat atas semua pendapat yang ada diatas. "Semua hanya pendapat. Bisa engkau dapatkan dari siapapun. Itulah pendapat, yang bisa engkau dapatkan dari siapapun. Dan, bila sudah kau dapat pendapat itu, kau pasti punya pendapat."

Kedelapan, pendapat sebagai Asep atas segala pendapat yang tertera di atas. "GOLLLLLLL..............!!!!!!"

diamante mengatakan...

Dan semalam milan pun tunduk oleh sang perempuan... si nyonya besar..
La Vecchia Signora..