Sabtu, Februari 09, 2008

Peternak 0 - 1 Tempe

JUDUL tulisan ini bukan laporan pertandingan sepak bola kulaifikasi piala dunia ataupun persahabatan. Akan tetapi, sebuah gambaran kebijakan stabilisasi pangan nasional yang diumumkan Presiden awal bulan ini.
Dalam kebijakan tersebut, pemerintah memperlihatkan keberpihakannya pada kelompok masyarakat yang terkena dampak kenaikan harga komoditas pangan dunia. Keberpihakan ini dibuktikan dengan dikucurkannya berbagai insentif baik fiskal maupun subsidi. Tujuannya tentu saja menyediakan pangan murah bagi rakyat sekaligus mempertahankan kinerja industri yang terkait.
Melalui berbagai kebijakan tersebut, tidak sedikit dana maupun potensi pendapatan negara yang dikorbankan. Departemen Keuangan memprediksi total anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp13,7 triliun. Angka ini belum termasuk tambahan anggaran peningkatan produksi pangan nasional sebesar Rp1 triliun bagi komoditas beras, jagung, dan kedelai.
Melalui kebijakan ini, pengusaha-pengusaha besar baik perkebunan, importir, dan industri pangan memperoleh insentif fiskal. Insentif tersebut berupa penurunan bea masuk (BM), penanggungan pajak pertambahan nilai (PPN), dan penurunan pajak penghasilan (PPh). Menurut hitungan, alokasi untuk insentif ini memperoleh porsi terbesar yakni Rp10 triliun. Dengan insentif ini diharapkan para pengusaha mau bermurah hati mengurangi keuntungannya dengan menurunkan harga jual produknya.
Sedangkan, untuk subsidi bagi industri kecil dan konsumen, pemerintah mengalokasikan dana Rp3,7 triliun. Anggaran ini dibagi untuk kegiatan penambahan jatah raskin dari 10kg menjadi 15kg per bulan per rumah tangga miskin sebesar Rp2,7 triliun. Sisanya, dibagi untuk subsidi minyak goreng bagi keluarga miskin (migorkin) dan subsidi kedelai bagi pabrik tempe masing-masing Rp500 miliar.
Alokasi subsidi migorkin merupakan program lanjutan yang tahun lalu hanya dialokasikan anggaran sebesar Rp25 miliar. Sedangkan, subsidi kedelai merupakan program baru sebagai respon untuk protes yang dilancarkan asosiasi industri tempe tahu yang sempat menyambangi kantor Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu sebelumnya. Kendati begitu, pelaksanaan program ini masih belum berjalan karena minimnya anggaran dan belum jelasnya mekanisme penyaluran subsidi. Hasilnya, harga tempe dan tahu sampai kini masih tinggi. Meskipun ada beberapa jenis tempe yang harganya tetap tapi ukuran dan kualitasnya jauh berkurang.
Kendati begitu, bisa dikatakan upaya para pengerajin tempe melakukan protes sudah ada hasilnya. Suara kelompok industri kecil ini dalam waktu yang singkat langsung direspon pemerintah. Mungkin khawatir rakyatnya akan merana karena kehilangan tempe pada menu makan harian. Pasalnya, tempe dan tahu merupakan menu pavorit masyarakat Indonesia khususnya di Jawa. Meski bukan rahasia lagi, dewasa ini tempe merupakan produk makanan berbahan baku kedelai impor.
***
Kisah berbeda terjadi pada kelompok peternak unggas. Kelompok yang justru menjadikan Indonesia swasembada daging dan telur unggas ini sedang diambang kehancuran. Penyebabnya hampir sama, kenaikan harga jagung, minyak sawit mentah, dan kedelai membuat harga pakan melambung tinggi. Padahal, pakan merupakan komponen biaya produksi terbesar dengan porsi mencapai 80%.
Para peternak, saat ini sedang berada di ujung tanduk karena melambungnya biaya produksi tidak bisa diimbangi kenaikan harga daging maupun telur. Persoalannya klasik, daya beli masyarakat tidak bisa lagi menoleransi kenaikan harga. Soalnya mereka sudah cukup sulit dengan kenaikan harga beras, tempe, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Tentunya, pilihan hanya tinggal menjual murah atau tidak sama sekali.
Pilihan tersebut dipersulit menjadi buah simalakama. Jika dijual murah sudah tentu peternak akan merugi, tapi jika tidak mereka harusmenambah biaya karena tentunya ayam ataupun itik tidak bisa bertahan hidup jika tidak diberi makan. Kesimpulannya, mempertahankan ternak hanya berarti tambahan pakan atau tambahan biaya. Maju kena, mundur kena, bila ini berlanjut bisa dipastikan mereka akan segera menggulung tikarnya.
Pertanyaanpun mengemuka, mengapa pemerintah membedakan perlakuan pada kelompok peternak dan industri tempe. Padahal, produk yang dihasilkan sama yakni sumber protein atau pangan bagi rakyat. Apakah perbedaan ini disebabkan adanya aksi masa di depan Istana? Jika ini benar, masyarakat harus bisa demonstrasi agar nasibnya diperhatikan.
Dirjen Peternakan Departemen Pertanian Tjeppy D Soedjana mengakui pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi ini. Pihaknya haya menghimbau agar industri pakan sudi mencarikan solusi agar harga pakan terjangkau. Sedangkan, jika ditanya solusi kongkrit jangka pendek, ia hanya bisa memberikan senyuman.
Sedangkan, Menteri Pertanian Anton Apriyantono pun hanya bisa mengangkat bahu. Tidak adanya bantuan baik subsidi ataupun lainnya bagi peternak sepertinya bukan masalah. Nampaknya kelompok peternak harus bisa menyhelesaikan persoalannya sendiri. Bahkan, ketika didesak kenapa tidak ada perlakuan sama seperti pada industri tempe? "Siapa yang minta? Tidak ada yang minta," ujarnya.
Sebuah ironi memang. Di satu sisi Pemerintah menargetkan swasembada daging sapi sebagai sumber protein hewani. Untuk upaya ini berbagai kebijakan dan anggaran digelontorkan. Namun, sumber protein hewani yang justru saat ini sudah swasembada seperti dilepaskan begitu saja. Padahal, industri ternak unggas tengah mendapat tekanan dari berbagai sisi.
Selain persoalan pakan, sebenarnya peternak unggas masih bergelut dengan permasalahan penyakit. Wabah flu burung yang selalu menyerang dimusim hujan sediit banyak juga turut berkontribusi dalam menekan harga produk unggas. Bahkan, asosiasi peternak mengumumkan adanya aksi jual rugi oleh peternak ketika wabah ini santer dibahas di berbagai forum bahkan forum internasional.
Belakangan ini, peternak sempat mengalami pembalikan harga ketika harga telur dan daging ayam membaik menjelang rentetan hari besar keagamaan ahir tahun lalu. Namun, tidak lama kemudian mereka juga dihimpit naiknya harga pakan. Sehingga, berlipatlah beban yang harus mereka carikan solusinya sendiri. Soalnya, harapan akan adanya solusi dari pemerintah seperti ibarat punuk merindukan bulan.
Jika dibandingkan dengan kondisi pengerajin tempe. peternak Indonesia harus mengakui skor saat ini 0-1 untuk kekalahan mereka. Soalnya, peternak gagal menarik perhatian pemerintah. Meski sebenarnya, tugas pemerintahlah yang harus memperhatikan mereka. (Toh)

Tidak ada komentar: