Rabu, Juni 01, 2005

Obituari

UDARA Jakarta siang ini sangat panas. Matahari seperti hendak mengorek isi kepala. Sementara Jalan Medan Merdeka Barat tampak dipadati kendaraan; dari bus hingga sepeda motor berteriak-teriak sambil mengepulkan asap putih, hitam, abu-abu dengan bonus, tentu saja, bau dan debu. Rimbun pepohonan menjadi tak berarti dikurung udara panas dari hotmix jalan yang terbakar.
Memasuki boks halte bus trans Jakarta, suasana bising sedikit berkurang. Suara pidato orang nomer satu di kota ini mencoba menyelinap diantara desau pintu otomatis. Seorang pria teronggok di sudut ruangan, diatas kursi lipat. Terkantuk-kantuk dalam seragam biru tuanya, menatap kosong kearah tugu tinggi bertopi emas.
Seorang perempuan di boks kasir tampak kebingungan memilih goreng pisang atau bolu kukus, harus ia jejalkan kemulutnya. Sementara suara sang nomer satu masih berapi-api mengelukan keberhasilannya membangun sistem transpor masal di Ibu kota ini. Hanya seberkas koran –penghuni papan dua di barisan koran nasional dilihat dari tiras maupun pendapatannya- tampak terangguk-angguk dihembus air conditioner yang terletak tepat di belakang layar televisi.
Sesekali terdengar jeritan peluit dari mulut seorang polisi gemuk di kejauhan, dibarengi lambaian tangannya yang entah buat apa. Di sisi kiri jalan, beberapa orang karyawan dan pedagang asongan tampak bergerombol di shelter bus. Seperti debu, sesekali menghilang tersedot bus baik patas, ekonomi, ac, atau metromini dan kopaja, tapi kembali orang berikutnya berdatangan. Hingga shelter itu selalu padat dipadati debu berserakan, debu berbentuk manusia.
Dari kejauhan nampak dua metromini berkejaran bak dua srigala murka beradu kesaktian. Saling gigit, saling cakar, tak lupa mengepulkan asap hitam dari ekor-ekornya, menambah seru jalannya adu digjaya. Dari belakang metromini satunya berkoar-koar dengan klaksonya, mengancam metomini satunya menyerah.
Setelah sukses menyusul, metromini tersebut memepet lawannya hingga keduanya berhenti. Para penumpangnya berhamburan keluar, sementara kernetnya menghalau penumpang untuk pindah bis. Tak lupa, ia mengamini sang sopir yang sedang menghapal nama penghuni kebun binatang. Nampaknya, metromininya kurang penuh, sehingga di-over ke lawannya yang telah padat hingga para penumpang pun overload, bergantungan di depan pintu. Sebuah pemandangan biasa di kota berpenduduk delapan juta lebih ini.
Desau pintu otomatis menghancurkan imaji absurd di kepala. Sesosok permpuan dengan rambut hitam kelam, panjang terurai menggelitik pinggang yang ramping terbalut blazer gading. Sepasang mata beningnya tampak bergerak kanan-kiri, menyapu boks busway yang masih saja membisu. Detak stileto berdentang teratur mengiringinya menuju sudut lain boks. Ia berdiri tepat di samping petugas satpam yang masih saja terlena dalam mimpinya.
Ia tidak berjalan menuju boks petugas karcis, malah berdiri memeluk map merah darah erat-erat. Sesekali melihat ke arah pintu sambil diselingi pandangan kearah jam. Sungguh aneh, empat orang manusia, tapi tak ada interaksi satu sama lain.
Tiba-tiba suara Sting melengking menyanyikan Shape of My Heart-nya melalui ponsel digenggaman sang perempuan.

"Halo mas.. Iya, aku masih di jalan, macet nih...."
"Ga! Ga usah, biar aku sendiri aja. Nanti kita ketemu di rumah saja!..."
"Paling aku pulang agak malam, soalnya ada acara bareng ibu-ibu kantor.
Nanggung kalo pulang dulu.... Iya, suruh bibi nyiapin makan buat anak-anak! Salam buat mereka ya, (ia menggigit bibir merahnya).. makasih ya Mas."

Jemari munggil perempuan itu sigap mematikan dan memasukan ponsel ke dalam tasnya.
Kembali ia melihat ke kiri-kanan, terus menatap pintu, kembali melihat jam. Nampak tak sabar, rupanya sedang menanti seseorang.
Lima menit berlalu, suasana boks tetap sunyi. Hanya suara orang nomer satu kembali mengulang pidatonya. Sesekali terdengar gesekan hak sang perempuan. Mengambil bedak, mengoleskan sedikit ke dagu munggil di bawah bibir merah menyala yang merekah, digigit giginya yang putih teratur. Setelah puas membenahi dandanan, ia kembali tampak gelisah.
Mengambil ponsel, menyalakan, kemudian mematikan kembali. Tak tahu apa yang harus dilakukan, ia mnyimpan kembali ponselnya. Map merah ia selipkan di sela lutut, kemudian meraih jepit hitam yang membelenggu rambut panjangnya. Menjepit pangkalnya, menyisakan poni, tapi menggerai rambut bagian belakangnya, memamerkan leher jenjang menggoda. Setelah puas dengan susunan rambutnya, ia kembali mengamati jam tangannya. Masih belum tiba...
Sontak bibir merah itu merekah, menebar senyum. Riak mata berbinar, melecut stileto melangkah menjelang pintu otomatis.

"Kok telat sih Say, aku udah nunggu dari tadi," ujarnya dengan nada sopran manja.

Rupanya seorang pria separuh baya, telah berdiri dibalik pintu yang terbuka. Mereka berpelukan sekejap. Sang pria tak mengeluarkan sepatahpun, hanya menggandeng pundak perempuan. Mereka berjalan menyeberangi jalan kearah sebuah Kawasaki Ninja yang diparkir di ujung zebra cross.
Pria itu mengenakan helm, menghidupkan mesin dan menunggu. Sedangkan perempuan berambut hitam panjang, mengenakan helm terbuka dan duduk menyamping, memeluk punggung sang pria. Ninja berderum-derum mengepulkan asap putih. Sekali tarikan, mereka melesat menuju arah Bunderan HI.
Boks busway kembali sunyi, orang nomer satu kembali mengulang pidatonya. Sementara petugas satpam masih terlena di sudut boks. Tapi, petugas karcis tampaknya sudah menemukan jawaban. Ia membuang seluruh makanan untuk mulai membuka koran nomer dua yang tergantung di bawah televisi.
Dari kejauhan, sebuah bus oranye mendekati. Ia berhenti tepat di depan pintu, mengejutkan petugas satpam. Desau pintu otomatis menjadi tanda bagi segerombolan penumpang yang menuruni bus. Akan tetapi, di dalam bus tetap saja penuh. Orang-orang bergelantungan, sedangkan lainnya terkantuk-kantuk di tempat duduk. Bus bergerak, meninggalkan petugas satpam yang menguap menahan kantuk dan petugas karcis yang tenggelam di halaman humaniora koran nomer dua.

310505

Tidak ada komentar: