Senin, Juli 04, 2005

Cubit-cubitan

Paciwit-ciwit lutung si lutung pindah ka luhur

ORANG Bandung, Tasik, Garut, Cianjur, dan orang sunda pada umumnya mungkin masih mengenal permainan ini. Dua atau lebih anak biasa memainkan permainan ini. Bertumpang tindih tangan, yang bawah pindah ke atas, dengan tentu saja saling mencubit. Setiap anak bergantian mencubiti tangan temannya, terus menerus sampai lagu berakhir.

Diakhiri dengan runtuhnya jalinan tangan tersebut, maka permainan itu dilanjutkan dengan saling gebug. Tak jarang ada anak sampai menangis kesakitan akibat tangannya kena gebuk kawan yang lain. Tapi, semua itu hanya permainan anak kecil, esok hari bila bersua lagi, permainan yang sama kadang dimainkan kembali.

Nuansa ini mungkin yang tampak pada kehidupan kita di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Orang-orang seperti mengharapkan giliran menjadi pengisi posisi tertinggi. Soalnya, di posisi tersebut, ia bisa mencubit tanpa harus tercubit. Tak jarang, proses menuju puncak ini harus melalui jalan bengkok yang diluruskan. Meluruskannya tentu saja, perlu dana, perlu kuasa, atau setidaknya kenal dengan orang berkuasa.

Sayangnya, permainan di dunia yang konon heibat dengan para pelautnya ini, tak mengenal giliran. Tak jarang, pemuncak permainan ini tak mau lagi turun kembali ke bawah. Ia dengan segala cara mencoba melestarikan posisinya itu. Alhasil, gejolak di bawah kadang bisa menruntuhkan jalinan yang ditata.

Bukan itu saja, menurut aturan berkelompok, seorang pemuncak otomatis mendapat jatah tanggung jawab yang puncak pula. Artinya, ia harus bisa memayungi orang-orang di bawahnya dari berbagai terpaan. Kadang, harus bisa menjadi penyeimbang manakala tatanan yang dibangun bergoyang. Tengok, bahkan ketika main gaple, karena berkelompok harus ada yang mengatur kartu. Ia bisa saja memainkan kartu sehingga pembagiannya bisa merata atau sebaliknya. Ia berkuasa atas kartu gaple di tangannya. Namun, kekuasaan ini dibarengi tanggung jawab sebagai pengocok kartu. Posisi ini di mata para pemain kartu merupakan posisi hina yang sering diperolok oleh teman-tamannya.

Nah, berbagai permainan yang sering dimainkan sejak kecil bahkan pada permainan yang dimainkan ketika dewasa pun memperlihatkan 'aturan main'. Gobloknya, atau kekurang tanggapan bangsa ini dalam menyerap makan tersirat dari hal-hal tersebut, menyebabkian kondisi yang ada sekarang ini. Kerap terdengar, ada ketua tak mau mundur, ada kandidat ketua yang tak mau mengaku kalah ketika lawannya menang.

Ok, itu bagian dari demokrasi, persaingan atau kompetisi bisa menghasilkan sesuatu yang lebih berbentuk ketimbang hasil yang keluar begitu saja (seperti tulisan ini). Akan tetapi, kenyataannya kondisi ini menjadikan pemuncak mabuk kemenangan. Ibaratnya, penyubit paling atas lupa menjaga keseimbangan, atau pembagi kartu lupa membagikan kartunya. Tak pelak lagi, permainan pun tak berjalan.

Nah, kondisi seperti itulah yang menjadi dekorasi setiap halaman depan surat kabar, dan kaca-kaca pada layar televisi. Ok, orang keluar sebagai pemenang, salut terpilih sebagai ketua, kepala, atau apapun, tapi pling dos jangan lupa pada tanggung jawabnya. Kalo tak bisa, ya, biarkan yang di bawah naik. Mundurlah secara terhormat, kan permaianan bisa berjalan. Kan kita jadi asik-asik aja kan.

;p rarieut ningali siobin ngetik wae, jadi ngikut ngetik-sengetik-ngetiknya. Ya sekali-kali jangan terlalu seurieus atulah.

040705

Tidak ada komentar: