Kamis, Juni 30, 2005

Bukan Obituary


Image hosted by Photobucket.com


LANGIT Bandung begitu cerah. Warna biru mendominasi di antara bintik-bintik putih yang terlihat sangat jauh. Angin kencang menerpa wajah, terasa segar dipanasnya terik mentari. Deretan hijau tampak berarak di sepanjang jalan Djuanda, Hasanudin, Ganesha, dan Tamansari.

Menerobos pekatnya udara Bandung, kesegaran menguap, tinggal sesak menjejali semua jaringan di paru-paru. Secuil kenyamanan hanya terselip di rimbunnya dedaunan. Alhasil, belasan kepala manusia terlihat bersembunyi di bayangan pohon. Suara berbagai kendaraan mulai memekakkan telinga. Dari desing udara tertumbuk mobil yang dibesut dengan kecepatan tinggi, sampai teriakan beberapa kernet angkot yang mengecil seiring menjauhnya mobil.

Sebuah ranting kecil terlihat begitu lapang, menjorok di sela-sela dedaunan. Beberapa ekor semut merah berbaris mengangkut berbagai bawaan. Sedangkan sebagian lainnya seperti sedang bersalaman atau hanya sekedar menanyakan kabar, basa-basi. Bak restoran mewah yang menyajikan hidangan segar penuh nutrisi, saatnya makan siang.

“Aaagh! Roti isi ini sudah busuk dagingnya!“

Sebuah suara bariton menggelegar dari arah tepat di bawah pohon. Sepasang manusia tampak duduk di atas sehelai tikar plastik. Laki-laki berambut acak-acakan dengan jenggot jarang-jarang, belepotan dengan remah-remah roti di sela-sela kumisnya yang juga jarang-jarang.

Kemeja flanel merah kotak-kotak tergantung di bahunya. Ia sendiri hanya mengenakan kaus dalam tipis, basah oleh keringat. Celana jean belel bolong-bolong, tak kuasa dibendung beberapa benang jahit yang disulam secara acak. Sebatang rokok kretek terselip di kuping kirinya. Ia memuntahkan roti isi yang sempat menerobos mulut dan hancur digilas gigi-giginya yang kuning kecoklatan.

“Masih baru da kang! Baru kemarin Eneng beli di minimarket sebelah kontrakan kita. Masa sudah busuk lagi?“

Suara sopran menyembul dari kepala berambut hitam legam yang menjuntai di atasnya. Hitam legam dengan bayangan cahaya matahari di sela-selanya. Kaus oblong berwarna merah darah membungkus tubuhnya yang tampak ramping, atau bisa dibilang kurus kering. Akan tetapi, dari nada suaranya, perempuan itu nampak sebagai sosok ibu yang sabar sedang mengasuh anaknya yang rewel.

Kedua manusia tersebut tengah menghadapi hidangan sederhana murahan yang berserakan di atas tikar plastik yang juga bolong-bolong. Beberapa helai daun rerumputan menyembul dari lubang di tikar tua yang mereka gunakan sebagai alas duduk mereka. Ah, inikah yang mereka katakan sebagai piknik di hari libur. Tamasya murah di pinggir jalan sepi di kota Kembang ini. Piknik khas orang-orang udik yang tersingkir di antara gemerlap berbagai mall, plaza, factory outlet, distro, dan restoran-restoran orang Jakarta yang disediakan bagi orang Jakarta lainnya yang selalu rajin mendatangi kota kecil di lembah Tangkuban Perahu ini.

“Babi! Kenapa kau belanja di minimarket itu? Kan aku udah bilang, mereka itu penjahat. Kan mereka juga yang menggusur warung kecil kamu. Kenapa harus belanja di tempat para penjahat kapitalis itu?!“

“Hei ari si Akang, kan tempat itu paling dekat dari kontrakan kita, lagian disana mah murah-murah atuh Kang. Eneng suka belanja di sana teh, soalnya komplit. Pake ada baju-baju buat bayi segala. Siapa tahu, kita punya anak atuh Kang, ...“

Tiba-tiba omongan perempuan tersebut terhenti entah kenapa. Sang pria berdiri, menyalakan rokoknya, terus ngeloyor pergi.

“Maap kan Eneng Kang! Bukan maksud menyinggung hati Akang, KAANG....!“

Perempuan muda, turut berdiri mencoba mengikuti suaminya. Mereka meninggalkan hidangan murahan di atas tikar yang juga murahan, begitu saja. Roti isi dan minuman kemasan dibiarkan tergeletak, merana ditinggal tuannya. Begitupun tas butut berisi tisu toilet dan buku-buku catatan lusuh terdampar di pinggir tikar.

Deru angin kembali menerpa wajah. Jalan-jalan di kota bandung masih terlihat padat. Di kabel telepon yang melintang tampak berjejer burung gereja, bercengkrama, bergosip, entah apa yang digosipkan. Mungkin sedang merencanakan cicilan sarang yang semakin susah diwujudkan karena jarangnya ranting dan rumput sebagai bahan bakunya. Tak jauh dari kabel telepon, sebuah jendela kaca besar terbuka lebar. Di bawahnya terdapat genangan air dari talang yang mampat. Hmmh minuman segar di keringnya udara Bandung yang membakar tenggorokan.

“BUKA PINTUNYA!“

Sebuah teriakan disertai gedoran pintu terdengar dari dalam jendela yang terbuka.

“KALAU TIDAK DIBUKA, AWAS KAU! ANAK KEPARAT! MEMALUKAN ORANG TUA!“

Suara seorang pria dengan bass besar menggetarkan setiap telinga yang mendengarnya. Seorang anak laki-laki menyembulkan hidungnya di jendela, diikuti wajahnya dengan pandangan yang nanar. Matanya bergerak ke kiri kanan jalan yang terdapat tepat di bawah jendela dengan genangan dari talang yang mampat. Kakinya tampak menyembul di kusen jendela yang tak berteralis. Suara musik tekno dari sebuah tape berlomba dengan teriakan pria tua dan deru kendaraan di kejauhan.

Jendela tersebut terdapat di lantai tiga samping sebuah rumah besar yang diselingi jalan setapak kecil yang tak muat menampung dua orang manusia yang melintas berlawanan arah. Hanya tembok dan atap sebuah rumah satu lantai terpampang, bila pandang diarahkan ke bawah jendela rumah tersebut.

“BAGAIMANA BISA MASUK ITB, UAN SAJA TIDAK LULUS? BUKA! BIAR KUHAJAR MULUT TUKANG MABUKMU ITU! ANAK DURHAKA!“

Teriakan keras kembali terdengar, berbarengan dengan gumaman seorang perempuan yang ditindas suara bass pria tersebut. Gumaman tersebut tak terdengar jelas, namun terdengar seperti bujukan menenangkan dari seorang ibu yang membela anak kesayangannya.

Anak laki-laki itu berjongkok di jendela, entah ketakutan atau senang. Soalnya, dari mulut hitamnya tersungging sebuah senyuman. Ya senyuman getir sedikit sinis. Kemudian ia berdiri di kusen jendela yang cukup lebar tersebut dan meregangkan tangannya seperti hendak terbang.

BRUAAAK!!

Sebuah suara keras meledakan suasana. Bersamaan dengan suara tersebut, anak laki-laki tersebut menjatuhkan diri, begitu tiba-tiba sehingga berhamburan burung gereja dan kucing yang sedari tadi mengendap-endap mengincar burung gereja. Badan anak itu menukik deras menjelang gang sempit di bawahnya.

“TIDAAAAK!“

Suara sepasang manusia ber-choir meneriakan hal yang sama mengantar tubuh anak laki-laki yang sudah berada sejajar dengan lantai dua rumah besar tersebut.

BRUAAAAAKKKS! BRUUUK! BDUB!

Badan anak laki-laki itu menimpa genteng rumah tetangganya, terbanting lalu, berdebum jatuh, menimpa dasar gang sempit dari bahan semen. Tangannya menekuk aneh, tubuhnya pun meringkuk dengan posisi yang tak kalah aneh di gang sempit. Akan tetapi raungan anak itu, membuktikan satu hal, upaya bunuh dirinya telah gagal.

“BRENGSEK! DINASIHATI MALAH MAU KABUR, PUAAAS!

Suara pria tua dengan kumis tebalnya kembali terdengar menggema di gang sempit. Dari ujung gang, beberapa orang manusia berhamburan mendekati tubuh anak laki-laki yang meraung-raung kesakitan. Perempuan yang menyertai pria di lantai tiga tadi muncul pula di antara kerumunan tetangganya.

“BIARIN! JANGAN DITOLONG! BIAR TAHU RASA DIA! ANAK SETAN!“

Teriakan pria tua tersebut semakin menjadi-jadi dengan telunjuk menuduh-nuduh ke arah si anak yang masih saja meraung-raung kesakitan.

Suara kendaraan dan bunyi kelakson masih saja terdengar bersahutan di kejauhan. Mentari seperti penasaran mengarhkan pandangnya ke kerumunan orang di gang sempit. Panasnya kian menjadi-jadi. Dasar manusia sudah pada gila!

Di ketinggian, awan-awan kecil kesepian mengisi langit. Tak ada elang, tak ada rajawali, hanya ada burung gereja yang menyembunyikan dirinya di sela pepohonan yang juga sudah jarang. Angin berasap kembali menerpa wajah. Saatnya menjenguk anak-anak yang tertinggal di sarang.

030705 © abdi salira

Senin, Juni 13, 2005

Godfather


Image hosted by Photobucket.com
Albert Camus
Albert Camus (1913-1960) was a representative of non-metropolitan French literature. His origin in Algeria and his experiences there in the thirties were dominating influences in his thought and work. Of semi-proletarian parents, early attached to intellectual circles of strongly revolutionary tendencies, with a deep interest in philosophy (only chance prevented him from pursuing a university career in that field), he came to France at the age of twenty-five. The man and the times met: Camus joined the resistance movement during the occupation and after the liberation was a columnist for the newspaper Combat. But his journalistic activities had been chiefly a response to the demands of the time; in 1947 Camus retired from political journalism and, besides writing his fiction and essays, was very active in the theatre as producer and playwright (e.g., Caligula, 1944). He also adapted plays by Calderon, Lope de Vega, Dino Buzzati, and Faulkner's Requiem for a Nun. His love for the theatre may be traced back to his membership in L'Equipe, an Algerian theatre group, whose "collective creation" Révolte dans les Asturies (1934) was banned for political reasons.

The essay Le Mythe de Sisyphe (The Myth of Sisyphus), 1942, expounds Camus's notion of the absurd and of its acceptance with "the total absence of hope, which has nothing to do with despair, a continual refusal, which must not be confused with renouncement - and a conscious dissatisfaction". Meursault, central character of L'Étranger (The Stranger), 1942, illustrates much of this essay: man as the nauseated victim of the absurd orthodoxy of habit, later - when the young killer faces execution - tempted by despair, hope, and salvation. Dr. Rieux of La Peste (The Plague), 1947, who tirelessly attends the plague-stricken citizens of Oran, enacts the revolt against a world of the absurd and of injustice, and confirms Camus's words: "We refuse to despair of mankind. Without having the unreasonable ambition to save men, we still want to serve them". Other well-known works of Camus are La Chute (The Fall), 1956, and L'Exile et le royaume (Exile and the Kingdom), 1957. His austere search for moral order found its aesthetic correlative in the classicism of his art. He was a stylist of great purity and intense concentration and rationality.

From Nobel Lectures, Literature 1901-1967, Editor Horst Frenz, Elsevier Publishing Company, Amsterdam, 1969

This autobiography/biography was written at the time of the award and later published in the book series Les Prix Nobel/Nobel Lectures. The information is sometimes updated with an addendum submitted by the Laureate. To cite this document, always state the source as shown above.



Albert Camus died on January 4, 1960.

Iklan

Kutemui kau untukmu berpaling
Kumaki katamu mengorek mauku
kukubur sosokmu, kuhancurkan berkeping
kucincang sejumlah angka, menghilanglah lagu
tak berbalas, tak bernyawa
masih tegak wujudmu di altar jiwa

Adakah ruang di pejam matamu
adakah sunyi di merdu suaramu
mungkinkah benci memeluk rinduku
datar.
samar.
hambar.
BUBAR... benar

Mengapa pandang memejam nanar
mungkin wekerku terbalik berputar
hingga jarummu kembali berpijar
keemasan dibalik larik
bibirmu menjentik
biasa.

130605©abdisalira
In the depth of winter, I finally learned that within me there lay an invincible summer.
Albert Camus
French existentialist author & philosopher (1913 - 1960)

Minggu, Juni 12, 2005

Obituary#3


Image hosted by Photobucket.com


After the rain is falling
after the tears has wash your eyes

-Gordon Matthew Sumner-


MALAM telah menjelma di Ibukota. Para pedagang asongan telah meninggalkan kaki jembatan penyeberangan. Begitu pula penjual nasi padang di balik layar besar. Mereka telah membereskan lapak mereka, meninggalkan meja, bangku, dan roda terbelenggu rantai kokoh dengan dua kunci gembok berukuran besar.
Air mancur besar, kontoversial, khas Ibukota, masih menggelegak memuntahkan air berwarna-warni dari sorotan lampu tepat di bawah air. Berbagai kendaraan tiada lelah melakukan tawaf di sekitar tugu patung selamat datang. Dua sosok aneh yang melambaikan tangannya ke arah Jalan Thamrin entah kenapa. Sisa kejayaan sang proklamator bersama berbagai patung urban raksasa lainnya yang tersebar di Ibukota.
Dari kejauhan terdengar sirine menjerit-jerit ditempa bunyi klakson bis, tak mau kalah berdesakan di lubang telinga. Suara air, malu-malu menitipkan nada absurd di antara bising ibukota yang menghentak. “Why can't we wait till morning“, si botak Phil tetap meracau dari speaker yang terpasang dimobilku.

“Malam ini dingin ya?“ tanya sesosok perempuan meledakan khayal.

Sosok perempuan tersebut duduk di jok sebelah kiri, menatap keluar jendela. Ia mengenakan baju bergelembung dari bahan transparan berwarna gading. Tetap, warna itu tak membuat putih kulitnya menjadi kusam, mengintip dari sela-sela benang. Celana jeans biru ketat ia kenakan, sedikit melorot di bagian belakang sebagai akibat posisi duduknya. Tak ada aksesoris, tak ada perhiasan megah, hanya sebuah mutiara kecil menggantung dikedua kupingnya.

“Tau gini aku pakai jaket tadi!“ cetusnya.

Bibir berwarna merah darah dari lipstik yang ia kenakan, bergerak teratur mengantar kata. Tapi posisi tubuhnya sama sekali tak berubah, hanya beberap helai rambut hitam tebal tampak bergoyang dihembus angin dari sela jendela yang sedikit terbuka. Kedua tangannya dilipat tumpang tindih di atas perut, tapat di bawah payudaranya. Kaki munggilnya menapak di atas karpet mobil, melepas stiletto setinggi 12 cm.

“Lagian kamu tadi pake acara buru-buru. Padahal aku tahu, acaranya pasti ngaret. Kan kita bisa persiapan dulu, ga kaya gini, ...berantakan!“ celotehnya lagi.

Kali ini ia mengeratkan lipatan tangannya sambil membentuk gunung di atas bibirnya, monyong. Mimik inilah yang dulu membuat puluhan pria menjauhinya, sekaligus ratusan pria lain yang semakin penasaran dengan lesung pipit yang kadang ia pentaskan di wajahnya. Itu pula yang membuat aku terjatuh pada rutinitas ini, menampung omelan. Sesekali ia memberikan hadiah berupa senyuman dengan bonus lesung pipit yang entah kenapa membuat hampir semua pria mabuk, termasuk aku.
Wangi Channel nomer sembilan sukses menghinakan bau rokok yang saban hari setia menempel di pakaianku. Wangi tersebut melayang berputar-putar, menyusup ke dalm dashboard, ke jok belakang, ke dekat lampu, dan tentunya ke dalam lubang hidung. Bahkan, parfum mobilpun menunduk-nunduk ditindas parfum asal negaranya Albert Camus, si gila penulis l'Etranger.
Jalan Thamrin malam init tak terlalu padat. Mobil bisa dibesut pada kecepatan 60 km/jam tanpa takut harus mengerem mendadak. Sebuah Willis di depan mempertontonkan bayangan dua sosok insan bermesraan. Penumpangnya, nampaknya perempuan dilihat dari gesturnya, seperti mengelus-ngelus rambut pengemudi. Sementara sang pengemudi masih tampak konsentrasi dengan jalan di depannya.
Lampu stopan berpendar menampakkan warna hijau cemerlang. Mobil-mobilpun semakin kencang membelah jalan hotmik. Kadang-kadang terdengar suara klakson mobil bagaikan pecut yang melecut mobil menambah kecepatan. Akupun menginjak pedal gas lebih dalam berharap lalos dari kejaran lampu berwarna merah yang mungkin akan segera menyala.
Tiba-tiba, sebuah cahaya menyilaukan menyorot dari arah kiri mobil. Sosok perempuan di sampingku menjerit nyaring. Suara klakson besar berteriak kencang diikuti bunyi benturan keras beserta kilatan cahaya hasil benturan dua logam dengan kecepatan tinggi. Mobil terangkat hebat memaksa kepalaku membentur kaca di samping kanan.
Suasana menjadi sunyi. Hilang rasa sakit, musnah rasa nyeri. Gelap menyelimuti, tak ada lorong cahaya, tak ada wangi parfum, tak ada suara orang mengajak atau bisik merayu. Yang ada hanya kegelapan, bisu, ...yang ada hanya kesunyian. HAMPA!?

Kantor redaksi koran nomer dua
120605 © abdisalira

Jumat, Juni 03, 2005

Obituary #2

"Is this the world we created?..."
-Queen-

BUSWAY berhenti tepat di depan Bundaran HI. Senja menaungi langit kelabu Jakarta. Warna biru tua kelabu berubah menjadi keemasan. Pintu masuk bis sangat susah ditembus. Puluhan calon penumpang berwajah kamar mandi, senyum istri, pelukan suami, jeritan anak, rayuan pacar, kerling selingkuhan, bahkan berwajah nasi goreng, berjejalan memasuki bus yang sudah penuh sesak.
Beberapa calon penumpang masih tertinggal di boks busway. Suara orang nomer satu Ibukota, menyambut penumpang turun. Sementara, petugas keamanan berusaha memamerkan muka wibawa. Tapi, justru bibir monyong seorang ibu yang ia dapati. Pasalnya, hidung bengkok si Ibu terkena sikut sang petugas, entah sengaja atau kesengajaan tersamar.
Petugas tiket nampak memberikan ceramah kepada seorang calon penumpang tentang pentingnya uang pas. Sedangkan, sang calon penumpang terlihat menancapkan pandang pada belahan blouse seorang calon penumpang perempuan yang sibuk dengan sms di ponselnya. Hanya sebuah koran nasional nomer dua –dilihat dari gengsi maupun pendapatan iklannya- bertanggal kadaluarsa, mengangguk-angguk sendiri dihembus air conditioner ruangan.
Bau parfum menyeruak diantara berbagai sosok, bercampur baur; Channel, Dior, CK, Etternity, Bvlgary, sampai parfum murahan yang tak jelas mereknya. Bau minyak angin seolah tak mau kalah, sikut kiri-kanan menyingkirkan bau parfum occidental asal negerinya Albert Camus, Locke, dan tuan Bush Jr. Pusing memang, tapi setidaknya lebih baik ketimbang bau keringat atau knalpot.
Sementara itu, pemandangan sama terlihat di seberang jalan, baik kiri maupun kanan. Calon penumpang bus reguler, AC, patas biasa, maupun metromini dan kopaja, tampak berjejalan di shelter bus. Tiga orang calo penumpang, dengan bangga memperlihatkan koleksi dagangannya; para calon penumpang. Beberapa mobil taxi dengan malu-malu menggoda calon-calon penumpang tersebut dengan iming-iming tarif lama.
Tak kalah gencar, para pedagang asongan menjajakan tisue, air mineral, sampai rokok dan permen. Penjaja koran layaknya pastor, memberikan ceramah tentang ayat-ayat di headline surat kabar sore. Sedangkan surat kabar pagi mereka tawarkan dengan harga banting. Sesekali bus berhenti mengangkut calon penumpang, meninggalkan uang receh pada calo sebagai pembayaran atas ‘barang dagangan' mereka.
Gedung-gedung memamerkan kulit keemasan hasil sepuhan mentari senja. Demikian pula halnya air mancur seharga satu miliar di bundaran, turut berwarna emas tersorot lampu yang mulai menyala. Satu-persatu lampu jalanpun mulai berkedip. Melambaikan sinarnya, melepas surya yang beranjak ke peraduan malam.
Berbeda dengan penghuni boks busway lainnya, seorang gadis tampak berdiri di ujung boks. Ia tak menghadap pintu keluar masuk penumpang, malah berdiri di belakang rak koran nomer dua, menghadap kearah air mancur kebanggaan orang nomer satu ibukota. Rambut hitam panjangnya terurai menyelimuti punggung dan pinggangnya. Kedua telapak tangannya menempel pada kaca boks, sedang tas kecilnya yang berwarna merah muda tergantung di bahu, menyelip di ketiak kanannya.
Sebuah jepit perak, berkilau memantulkan sinar mentari, terselip di rambut sisi kiri kepalanya. Cardigan berwarna pink, terbuat dari bahan wol, membalut tubuhnya secara ketat. Rok pendek berwarna hitam semakin menegaskan putihnya warna kulit paha dan betisnya. Sebuah stiletto berbahan plastik transparan menyangga kaki munggilnya. Bak seorang malaikat, hendak terbang memeluk patung selamat datang di atas tugu di tengah air mancur bundaran.

"Aku sangat suka senja!"

Sebuah suara mezzo sofran tiba-tiba menyembul dari balik rambut hitam tebal tersebut. Bak hymne senja, sekejap memuja keindahan gambar dengan dominasi warna emas.
Kerumunan calon penumpang seolah tak tersentuh merdunya hymne. Mereka lebih terfokus pada hiasan yang menempel di wajah-wajah mereka, terbius dan mabuk gado-gado parfum dan minyak angin. Petugas satpam semakin mantap dengan aksi ‘kharismatik'-nya. Sementara petugas tiket tampak jengkel memandang wajah calon penumpang yang sedang mengira-ngira ukuran beha seorang calon penumpang perempuan yang masih sibuk dengan sms di ponselnya.

"Di sini, aku lebih suka senja daripada pagi hari! Aku ingin membingkai senja ini untuk dipasang di kamarku! Aku ingin senja ini tak berakhir. Aku sangat suka senja!"

Hymne senja dari balik rambit hitam terurai, kembali terdengar. Namun, suara mezzo sofran tersebut tetap tak berefek. Layaknya detak jam weker, dianggap tak ada, tak perlu didengar, tak berguna, dan tak bermakna. Hanya koran nomer dua, seperti mengamini, mengangguk-anguk tertiup air conditioner boks busway.
Tiba-tiba sebuah lagu khas ponsel produk Finlandia bergaung nyaring di dalam boks busway. Sontak beberapa orang meraba saku, ada yang membuka tasnya, ada yang melihat gantungan kalungnya, ada pula yang hanya diam tak bergeming.
Sang Gadis melepaskan telapak tangannya dari kaca. Ia meraih tas kecilnya yang berwarna merah muda.

"Iya Mas,... iya... aku lagi on the way home kok!... Bye!"

Para calon penumpang kembali tenang. Perhatian mereka kembali tertuju pada pada pintu otomatis. Sementara pikiran mereka tetap pada hiasan di wajah mereka. Orang nomer satu masih membanggakan programnya dari layar datar televisi.
Sebuah bus berwarna oranye berhenti di depan pintu. Beberapa orang penumpang turun diatur petugas keamanan. Para calon penumpangpun berebutan memasuki bus. Seperti refleks, sang gadis ber-cardigan pink menyelinap di antara para calon penumpang. Seorang pria setengah baya nampak berusaha gentle memberinya jalan. Sang gadis hanya mengangguk dan menyelipkan senyum dari bibir berpulas merah darah, di wajahnya.
Hanya berselang detik, buspun kembali melaju ke arah jalan Jenderal Besar Sudirman. Senja semakin lemah menebar cahaya keemasan. Hanya beberapa buah awan masih menyimpan kejayaannya. Tinggalah malam, kebingungan dituduh lampu jalanan. Merindukan hymne yang hanya dimiliki senja. Menyembunyikan gemintang, ditindas semburat cahaya lampu ibu kota.

abdisalira©030605
Pour la nuit passeur

Kamis, Juni 02, 2005

Testify


Image hosted by Photobucket.com


"Aku adalah nada Do pada lagu bisu"
Bukan! Kamu adalah kebisingan di stasiun kereta
"Aku hadir tatkala semua pergi"
Tidak, kamu hanya teman dalam permusuhan
"Aku masuk melalui pintu belakang, merangkak di angkasa, menyelinap di kepadatan manusia, mengendap di jalan raya, aku ditemukan setiap kehilangan"
Bohong! Hanya orang gila membiarkan kamu masuk.
"Akulah sumber inspirasi"
Justru kamu menginjak imajinasi, mendera kreatifitas
"Karya-karya besar merupakan anak cucuku"
Aku muak menyanggamu
"Keindahan menjadi intiku"
DIAAAM!
"..."
Itulah kamu

030605
Pour la nuit passeur

Rabu, Juni 01, 2005

Obituari

UDARA Jakarta siang ini sangat panas. Matahari seperti hendak mengorek isi kepala. Sementara Jalan Medan Merdeka Barat tampak dipadati kendaraan; dari bus hingga sepeda motor berteriak-teriak sambil mengepulkan asap putih, hitam, abu-abu dengan bonus, tentu saja, bau dan debu. Rimbun pepohonan menjadi tak berarti dikurung udara panas dari hotmix jalan yang terbakar.
Memasuki boks halte bus trans Jakarta, suasana bising sedikit berkurang. Suara pidato orang nomer satu di kota ini mencoba menyelinap diantara desau pintu otomatis. Seorang pria teronggok di sudut ruangan, diatas kursi lipat. Terkantuk-kantuk dalam seragam biru tuanya, menatap kosong kearah tugu tinggi bertopi emas.
Seorang perempuan di boks kasir tampak kebingungan memilih goreng pisang atau bolu kukus, harus ia jejalkan kemulutnya. Sementara suara sang nomer satu masih berapi-api mengelukan keberhasilannya membangun sistem transpor masal di Ibu kota ini. Hanya seberkas koran –penghuni papan dua di barisan koran nasional dilihat dari tiras maupun pendapatannya- tampak terangguk-angguk dihembus air conditioner yang terletak tepat di belakang layar televisi.
Sesekali terdengar jeritan peluit dari mulut seorang polisi gemuk di kejauhan, dibarengi lambaian tangannya yang entah buat apa. Di sisi kiri jalan, beberapa orang karyawan dan pedagang asongan tampak bergerombol di shelter bus. Seperti debu, sesekali menghilang tersedot bus baik patas, ekonomi, ac, atau metromini dan kopaja, tapi kembali orang berikutnya berdatangan. Hingga shelter itu selalu padat dipadati debu berserakan, debu berbentuk manusia.
Dari kejauhan nampak dua metromini berkejaran bak dua srigala murka beradu kesaktian. Saling gigit, saling cakar, tak lupa mengepulkan asap hitam dari ekor-ekornya, menambah seru jalannya adu digjaya. Dari belakang metromini satunya berkoar-koar dengan klaksonya, mengancam metomini satunya menyerah.
Setelah sukses menyusul, metromini tersebut memepet lawannya hingga keduanya berhenti. Para penumpangnya berhamburan keluar, sementara kernetnya menghalau penumpang untuk pindah bis. Tak lupa, ia mengamini sang sopir yang sedang menghapal nama penghuni kebun binatang. Nampaknya, metromininya kurang penuh, sehingga di-over ke lawannya yang telah padat hingga para penumpang pun overload, bergantungan di depan pintu. Sebuah pemandangan biasa di kota berpenduduk delapan juta lebih ini.
Desau pintu otomatis menghancurkan imaji absurd di kepala. Sesosok permpuan dengan rambut hitam kelam, panjang terurai menggelitik pinggang yang ramping terbalut blazer gading. Sepasang mata beningnya tampak bergerak kanan-kiri, menyapu boks busway yang masih saja membisu. Detak stileto berdentang teratur mengiringinya menuju sudut lain boks. Ia berdiri tepat di samping petugas satpam yang masih saja terlena dalam mimpinya.
Ia tidak berjalan menuju boks petugas karcis, malah berdiri memeluk map merah darah erat-erat. Sesekali melihat ke arah pintu sambil diselingi pandangan kearah jam. Sungguh aneh, empat orang manusia, tapi tak ada interaksi satu sama lain.
Tiba-tiba suara Sting melengking menyanyikan Shape of My Heart-nya melalui ponsel digenggaman sang perempuan.

"Halo mas.. Iya, aku masih di jalan, macet nih...."
"Ga! Ga usah, biar aku sendiri aja. Nanti kita ketemu di rumah saja!..."
"Paling aku pulang agak malam, soalnya ada acara bareng ibu-ibu kantor.
Nanggung kalo pulang dulu.... Iya, suruh bibi nyiapin makan buat anak-anak! Salam buat mereka ya, (ia menggigit bibir merahnya).. makasih ya Mas."

Jemari munggil perempuan itu sigap mematikan dan memasukan ponsel ke dalam tasnya.
Kembali ia melihat ke kiri-kanan, terus menatap pintu, kembali melihat jam. Nampak tak sabar, rupanya sedang menanti seseorang.
Lima menit berlalu, suasana boks tetap sunyi. Hanya suara orang nomer satu kembali mengulang pidatonya. Sesekali terdengar gesekan hak sang perempuan. Mengambil bedak, mengoleskan sedikit ke dagu munggil di bawah bibir merah menyala yang merekah, digigit giginya yang putih teratur. Setelah puas membenahi dandanan, ia kembali tampak gelisah.
Mengambil ponsel, menyalakan, kemudian mematikan kembali. Tak tahu apa yang harus dilakukan, ia mnyimpan kembali ponselnya. Map merah ia selipkan di sela lutut, kemudian meraih jepit hitam yang membelenggu rambut panjangnya. Menjepit pangkalnya, menyisakan poni, tapi menggerai rambut bagian belakangnya, memamerkan leher jenjang menggoda. Setelah puas dengan susunan rambutnya, ia kembali mengamati jam tangannya. Masih belum tiba...
Sontak bibir merah itu merekah, menebar senyum. Riak mata berbinar, melecut stileto melangkah menjelang pintu otomatis.

"Kok telat sih Say, aku udah nunggu dari tadi," ujarnya dengan nada sopran manja.

Rupanya seorang pria separuh baya, telah berdiri dibalik pintu yang terbuka. Mereka berpelukan sekejap. Sang pria tak mengeluarkan sepatahpun, hanya menggandeng pundak perempuan. Mereka berjalan menyeberangi jalan kearah sebuah Kawasaki Ninja yang diparkir di ujung zebra cross.
Pria itu mengenakan helm, menghidupkan mesin dan menunggu. Sedangkan perempuan berambut hitam panjang, mengenakan helm terbuka dan duduk menyamping, memeluk punggung sang pria. Ninja berderum-derum mengepulkan asap putih. Sekali tarikan, mereka melesat menuju arah Bunderan HI.
Boks busway kembali sunyi, orang nomer satu kembali mengulang pidatonya. Sementara petugas satpam masih terlena di sudut boks. Tapi, petugas karcis tampaknya sudah menemukan jawaban. Ia membuang seluruh makanan untuk mulai membuka koran nomer dua yang tergantung di bawah televisi.
Dari kejauhan, sebuah bus oranye mendekati. Ia berhenti tepat di depan pintu, mengejutkan petugas satpam. Desau pintu otomatis menjadi tanda bagi segerombolan penumpang yang menuruni bus. Akan tetapi, di dalam bus tetap saja penuh. Orang-orang bergelantungan, sedangkan lainnya terkantuk-kantuk di tempat duduk. Bus bergerak, meninggalkan petugas satpam yang menguap menahan kantuk dan petugas karcis yang tenggelam di halaman humaniora koran nomer dua.

310505