Minggu, Agustus 27, 2006

"ASEAN Tunggal atau Boneka ASEAN?"

MELIHAT renyah tawa Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, pada setiap kesempatan di sela pertemuan menteri ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Ministers/AEM), yang diabadikan berbagai halaman surat kabar nasional, menggambarkan kegembiraan hatinya sekaligus keramahan bangsa ASEAN. Namun, gambaran ini tidak mengurangi kegelisahan akan masa depan negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN.

Pada pertemuan tingkat menteri yang diadakan hingga 25 Agustus tersebut ASEAN seolah menjadi penari seksi yang menyedot perhatian dunia. Tak urung bahkan Kepala Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative/USTR) Susan Schwab menyempatkan hadir. Bahkan, pejabat-pejabat penting dari raksasa-raksasa ekonomi dunia berdatangan.
Jepang sebagai mitra lama kawasan ini seolah terdepak oleh kiprah raksasa ekonomi baru yakni China. Kecemerlangan mata hari terbit seolah meredup ditelan naga yang beranjak dewasa dari timur. Tidak ketinggalan, India sebagai calon raksasa ekonomi baru tergopoh-gopoh mengejar ketinggalannya menggaet perhatian ASEAN. Hanya Uni Eropa (UE) yang masih malu-malu memperlihatkan sikap mereka kepada ASEAN pada kesempatan kali ini.
Mengapa pertemuan di Kuala Lumpur ini menjadi sangat penting? Jawabannya ialah kesibukan para bidan yang mempersiapkan kelahiran bayi raksasa ekonomi baru. Setelah sempat terseok-seok akibat krisis ekonomi, ASEAN kembali hadir menyemarakan percaturan ekonomi dunia. Dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan basarnya pasar, bukan tidak mungkin ASEAN menjadi pesing terdekat UE atau raksasa lain seperti China, India, Jepang, ataupun AS.
Menurut data sekretariat ASEAN, pertumbuhan ekonomi rata-rata pada 2005 pasca krisis ekonomi mencapai 5,5%. Arus investasi langsung (FDI) mencapai US$ 38 miliar in 2005, meningkat 48% dari tahun sebelumnya. Prognosa 2006 pun tak kalah cemerlangnya pada kwartal pertama arus FDI telah mencapai US$ 14 miliar, atau meningkat 90% dari periode sama tahun lalu yakni US$ 7.4 miliar.
Sedangkan untuk sektor perdagangan, ASEAN memperlihatkan tren positif yakni total ekspor tahun 2005 meningkat 13.5% dari US$ 569.4 miliar di 2004 menjadi US$ 646 miliar tahun 2005. Trend ini berlanjut pada kwartal pertama 2006 dengan pertumbuhan mencapai 17.7% dibanding periode sama tahun lalu. Sedangkan kontribusi perdagangan intra-ASEAN dari total relatif konstan pada 25% tahun 2005, meningkat dari persentasi tahun 2004 sebesar 24.3%.
Hal inilah yang membuat raksasa-raksasa tersebut berlomba mencuri kesempatan untuk menjadi wali atau kakak dari bayi yang segera lahir ini. Tujuannya, agar arah perkembangan bayi ini nanti bisa menguntungkan bagi raksasa-raksasa ekonomi yang sudah ada. Hal inilah yang meresahkan karena ASEAN layaknya sepotong kueh yang diperebutkan ke sana ke mari. Harus diingat ASEAN bukan ‘boneka’ untuk dipermainkan.
Kegelisahan ini semakin menjadi tatkala melihat kiprah ASEAN yang seolah menjadi anak baik yang selalu ‘nurut’ dan ‘manggut’ dengan desakan para raksasa. Sebut saja, ajakan TIFA dari AS yang belum-belum sudah menjejalkan peraturan-peraturan untuk kemaslahatan ‘negeri Paman Sam’ tersebut. Padahal, banyak masalah yang harus diselesaikan ASEAN ketimbang mengikuti ‘ajakan’ dari negara-negara besar tadi.

Sebut saja, peer ASEAN menyelesaikan pembentukan kawasan perdagangan bebas (ASEAN Free Trade Agreement/AFTA), investasi (ASEAN Investment Agreement/AIA), kesenjangan ekonomi dan sosial di antara sesama negara ASEAN, belum lagi target akbar pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan lainnya. Hal-hal tersebut seolah terlupakan karena terbuai ajakan dan rayuan negara-negara besar.
Khususnya Indonesia, sebagai negara terbesar semestinya menjadi tokoh kunci dalam percaturan arah kebijakan ASEAN. Dengan kekuatan setengah penduduk ASEAN, Indonesia merupakan negera yang semestinya memperoleh keuntungan terbesar dari langkah-langkah yang diambil ASEAN. Untuk itulah, antisipasi dominasi negera-negera besar di luar ASEAN harus dikedepankan. Sehingga, kemampuan diplomasi dan negosiasi delegasi Indonesia harus segera diasah dan diperkuat sebelum pertemuan puncak ASEAN di Cebu, Filipina akhir tahun nanti.
Sudah bukan saatnya lagi, Indonesia menjadi anak baik yang mengamini setiap arahan negara-negara lain. Bukan keramahan sebagai wujud rasa tunduk dan 'nurut', tapi ketegasan dipoles keramahan. Pasalnya, 220 juta jiwa rakyat menjadi taruhan yang harus diperjuangkan. Penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan syarat yang tidak bisa ditawar lagi. Tentunya hal ini tidak bisa tercapai jika kita hanya menjadi ‘pasar’ dan ‘pentas’ kekuatan-kekuatan besar lain.
Indonesia harus menjadi yang terdepan bersama negara-negara ASEAN lainnya untuk menentukan arah kebijakan ASEAN. Apabila hadir kekuatan-kekuatan besar ekonomi yang hendak menggandeng ASEAN, tawarannya harus mampu mengangkat derajat dan martabat bangsa-bangsa ASEAN. Sehingga, bukan tidak mungkin lahirnya MEA nanti menjadi bentuk nyata terbitnya kekuatan raksasa baru di kawasan Asia bagian tenggara.
Bila mengutip perkataan Menperdag Mari Elka Pangestu, di era global sekarang liberalisasi dan keterbukaan ekonomi menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan. Akan tetapi, proses ini tetap harus bisa menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Di panggung ASEAN inilah kesempatan Indonesia untuk mewujudkannya. Semoga tawa renyah Menperdag merupakan awal dari tawa renyah rakyat Indonesia yang letih didera kemiskinan dan ketidak berdayaan.(*)

Tidak ada komentar: