Kamis, Oktober 04, 2007

Alasan


Pria dengan bau busuk yang menyengat ini akhirnya melepaskan dekapannya. Tergesa-gesa merogoh handphone edisi terbaru pabrikan asal Finlandia dari celana yang tercecer di lantai. Melihat layar kecil di mukanya, kemudian buru-buru berlari ke luar sambil mengenakan celana pendek seadanya. Kemudian menutup pintu kamar kost yang semakin sesak seiring kemarau yang melanda Jakarta.
Sayup-sayup suara kipas di pojok kamar menghela telinga. Aliran angin yang tidak bisa dibilang sejuk menyapu tubuh bersepuh keringat. Lumayan lah daripada tidak sama sekali. Temaram lampu meja menyinari kamar ukuran 3x4 meter. Terduduk di atas kasur, terasa malas mengambil beha atau celana yang dilempar entah ke mana. Kunyalakan sebatang rokok dan membasahi tenggorokan dengan sisa anggur merah di meja.
"Aku masih di Jogja Maah!" suara pria itu menyelinap dari balik pintu.
Haha.. Dasar bajingan! Selalu alasan yang sama. Mengapa pria selalu memakai alasan itu untuk menipu istrinya? Apakah kepala mereka terlalu dipadati pikiran jorok sehingga kreatifitas dan imajinasinya menguap. Apakah tidak ada alasan lain yang melintas di benak kotor mereka?
"Sebentar lagi aku take off ke Jakarta. Pesawatnya di-delayed! Biasalaah," suara itu menggema lagi.
Lima bulan dua hari pria itu memasuki kehidupanku. Dia yang tampak terhormat di kantor. Bahkan wibawanya sempat mempesonaku saat secara pribadi dia mewawancaraiku untuk pekerjaan asisten pribadi. Nyatanya sama saja. Bajingan kelas tuna ini hanya bertahan dua minggu untuk memperlihatkan belangnya.
"Rika, malam ini kamu lembur ya! Soalnya, besok bapak kita akan mulai melakukan kampanyenya. Jadi kita harus mempersiapkan segala bahan termasuk untuk menyerang pesaing Bapak," katanya malam itu.
Sejak itulah, tugasku sebagai aspri bertambah menjadi aspri sekali. Sebuah pilihan yang kerap kali aku tolak di tempat-tempat kerjaku terdahulu. Akan tetapi, akhirnya aku menyerah juga. Pilihan itu harus kuambil, karena hanya pilihan itu yang kupunya.
"Sudahlah Nak, kamu harus mulai bisa mapan. Adik-adik kamu sangat memerlukan bantuanmu. Sebentar lagi si Iwan masuk SMA dan si Bawuk mau masuk SMP. Bukannya ayah mau melepas tanggung jawab, ayah sudah tidak bisa apa-apa lagi. Apalagi setelah ibumu meninggal keluarga kita semakin tergantung padamu."
Itulah motivasi yang kuperoleh dari ayahku. Ia sering murka ketika aku memutuskan berhenti kerja. Berpindah-pindah dari satu kantor ke kantor lain, dari satu perusahaan ke perusahaan lain, dan dari satu organisasi ke organisasi lain. Semuanya sama. Sama seperti perusahaan pria di depan pintu kamarku.
Konsultan nama gagah bidang usaha perusahaan pria ini. Namun, dimataku perusahaan ini hanya sekedar makelar politik semata. Tugasnya menempatkan kandidat kotor yang mau membayar mahal untuk posisi basah di panggung politik. Kabarnya, beberapa bupati sudah berhasil diangkatnya, beberapa lagi kliennya yang menggapai kursi gubernur dan tak sedikit sebagai petinggi partai atau organisasi massa.
Dengan bidangnya tersebut pria itu bisa seenaknya keluar masuk ke lingkungan di lingkaran satu, bahkan beberapa pejabat selalu tergopoh-gopoh menyambut ketika pria itu mengunjunginya. Hanya di depankulah dia menghiba dan merendahkan dirinya. Bayaran tidak sedikit selalu dia lampirkan di slip gajiku. Bahkan semua kebutuhan hidupkupun dia tanggung dengan alasan sebagai fasilitas kerja.
Mungkin uang yang menjadi alasanku menerimanya. Mungkin juga rasa lelah yang menyapu harapanlah biang keroknya. Aku sendiri tidak menyukai posisi ini, tapi apa daya, pesan ayahku yang sudah melempar handuk pada kehidupan itu selalu mengiang di kupingku.

Daddy he hates airplanes, but baby loves to fly,
Lady wants to know the reason why,
Daddy just like Coltrane, baby's just like Miles
Lady's just like heaven, when she smiles

Suara Michael Franks mengalun dari kamar sebelah. Suara itu mengisi ruangan membawaku pada kehampaan pikiran. Asap mengepul dari mulutku. Sebatang tidak terasa mulai tandas. Hanya beberapa saat, apakah sepanjang itukah hidupku. Aku tak peduli lagi. Biarlah dunia menhujat bahkan langit mencerca. Aku sudah kehabisan alasan. Lelah dengan semua pilihan yang selalu memojokkan.
"Waduh panas sekali ya Pak!?"
Tiba-tiba suara lain terdengar dari balik pintu. Tetangga sebelah kamarku rupanya masih bangun. Seorang pemuda tanggung dengan idealis tinggi. Mahasiswa tingkat satu perguruan tinggi swasta yang terletak tidak jauh dari tempat kostan. Pemuda itu aku kenal baik. Dialah yang selalu mengantarkan ketika tugas mendadak memanggilku baik di siang maupun larut malam.
Entah apa alasan pemuda itu, tapi dia selalu berlaku baik padaku. Kamarnya selalu terbuka ketika aku pulang larut malam. Serakan buku dan pakaian kotor selalu menyeruak dari sela pintu tersebut. Alunan Jazz yang berterbangan dari kamar pemuda itu tak henti mengelus pendengaran.
"Pulang malam lagi Mbak," sapanya setiap kali aku melintasi kamarnya.
Sapaan itu pertamanya sangat mengganggu, akan tetapi ketulusan pesannya mendorongku membayarnya dengan martabak telor, atau sisa kue kotak yang selalu aku bawa sehabis kegiatan temu kader atau penggalangan massa. Apapun yang aku bawa selalu disambutnya dengan antusias. Sebagai balasan, tak jarang tanpa diminta ia merebut tas ataupun berbagai berkas yang aku bawa untuk disimpannya di kamarku. Bahkan tak jarang pintu kamarku diketuknya hanya untuk menawarkan dvd film bajakan yang baru dibelinya. Tanpa ucapan terima kasih, hanya ketulusan yang dia sodorkan.
Pemuda itu memang terlalu tanggung untuk dibilang remaja, tapi sikapnya terkadang memperlihatkan kematangan. Beberapa malam terkadang kita habiskan hanya untuk sekedar basa-basi. Atau hanya merokok bersama dengan segelas kopi tanpa kata sepatahpun. Meski usianya lebih muda beberapa tahun, tapi sikapnya tidak pernah mengakuinya. Hanya sapaan 'Mbak' yang dia pakai sebagai pengakuannya.
Oboralan kami tidak pernah dalam. Dia tidak pernah bertanya sedikitpun tentang kisah pribadiku. Bahkan, tak satupun ucapannya yang memancing atau mengarah ke interogasi seperti umumnya pria. Namun, hal itulah yang membuatku merasa terlindungi. Hanya dia yang aku kenal di kostan ini. Mungkin karena aku berusaha menjaga jarak dengan penghuni lain guna menjaga privasiku.
"Memang sudah seminggu ini panas terus Pak."
Suara pemuda itu terdengar kembali. Akan tetapi, pria itu tak sepatahpun menjawabnya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Pria itu menorobos pintu ke dalam kamar dan dengan sigap menutupnya kembali. Mukanya masam ketika dia mengunci pintu. Ia tinggalkan handphone-nya kembali kedalam saku celananya. Memakainya, mengenakan kemeja, menyisir rambut, dan berkumur dengan seteguk anggur merah.
"Siapa sih anak itu? Sok kenal! Aku nggak suka dengan tempat kostanmu ini. Kenapa kau selalu menolak untuk meninggali rumah yang sudah aku sediakan? Pokoknya aku nggak suka tempat ini. Apalagi dengan anak itu!" celoteh pria itu dalam berbisik.
Memang pria ini sudah membelikanku rumah sedang di sebuah klaster perumahan yang bisa dibilang mewah. Namun, aku selalu menolak meninggalinya dengan alasan belum siap dan untuk menjaga image. Aku sendiri tidak yakin dengan alasanku memilih tempat kost yang dipenuhi mahasiswa ini ketimbang meninggali rumah itu.
Dijejalkannya dasi, map-map, kaos kaki, dan jam tangan kedalam tas kerja. Pria itu kemudian mengambil kunci mobil dari atas meja. Mengelap keringat yang masih menyembul dari dahinya dengan handukku. Menyisir kamar dengan mata ngantuknya, mencari barang yang mungkin tertinggal.
Beberapa gepok uang ratusan ribu mencolok mata tergeletak di atas meja. Semakin menelanjangi tubuhku yang masih telanjang. Dasar bajingan! Itulah banderol yang dia sematkan di tubuhku. Namun, aku tidak punya lagi alasan untuk memprotesnya.
"Belilah AC sayang, atau apapun untuk menyejukan kamarmu. Atau biar nanti aku belikan, sekaligus mengirim orang untuk memasangnya. Kau pakai buat apalah uang itu. Aku harus pulang sekarang ya sayang. Besok kamu masuk kantor siang aja. Biar sopir kantor aku suruh menjemputmu."
Dikecupnya dahiku dan pria itu berlalu menuju pintu kamar. Membuka kuncinya, berbalik dan melemparkan senyum. Kemudian berlalu di balik pintu meninggalkan suara pantovel yang dikenakan tergesa-gesa.
"Pulang Pak?"
Suara pemuda itu mengantarnya. Tanpa jawaban, suara pantovel terdengar menghentak lantai. Semakin samar derapan langkah diikuti deru mesin mobil. Suara cicit ban melepas kepergiannya. Mengembalikan Michael Franks yang entah mengapa berulang melantunkan nadanya.

The lady want to know, she wants to know the reason
She's got to know the reason why
This Man has got to go, This man is always leaving
How he hates to say goodbye.
But what she doesn't know, is there really is no reason
Really is no reason why.

Pemuda sebelah kamar terdengar memasuki kamarnya. Suara musikpun semakin sayup untuk menghilang ditelan gemeletuk pintu yang dikunci. Pemuda aneh. Anak kemarin sore yang mulai menyalakan api kecil harapan di batang lilin hatiku. Lilin yang sudah lama kehilangan alasan untuk menyala. (***)


Pekan ketiga Ramadhan 2007
abdisalira

Tidak ada komentar: