Senin, Oktober 29, 2007

Tiga Tahun Kabinet: Menanti Terbitnya Sektor Pertanian

GILANG gemilang seharusnya masa depan sektor pertanian Indonesia. Kenaikan harga minyak dunia yang menyentuh US$90 per barel lebih dan kemungkinan penghapusan subsidi pertanian negara maju menjadi faktor utama penyebabnya.
Pertanian Indonesia dalam dua tahun terakhir mengalami geliat peningkatan. Namun, apakah ini merupakan buah dari program revitalisasi? Hal ini sedikit diragukan. Lonjakan pendapatan pelaku sektor pertanian belakangan ini lebih disebabkan perubahan dunia khususnya kenaikan harga minyak bumi dan pertumbuhan dua bayi raksasa ekonomi dunia yakni China dan India.
Kendati begitu, saat ini sektor yang merasakan 'panen' akibat kenaikan harga minyak ini baru sektor perkebunan. Pasalnya, sektor ini khususnya minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan karet alam merupakan komoditas ekspor tradisional. Kedua komoditas ini merasakan lonjakan harga yang tentu saja berarti peningkatan pendapatan. Sementara sektor lain sepertinya mengalami sedikit kemajuan dan atau stagnasi.
Kondisi ini disebabkan belum berkembangnya industri biofuel nasional yang hingga kini dipusingkan ketidakjelasan sikap pemerintah. Khususnya dalam kebijakan pengembangan energi alternatif ini. Sehingga, bahan baku bioenergi lebih banyak mengalir ke luar negeri. Sementara itu, komoditas yang belum terbiasa ekspor seperti jagung, singkong, kelapa, tebu, jarak, dan bahan baku energi lainnya menjadi kurang menikmati kondisi ini. Dengan begitu, pengembangan sektor ini memang masih tergantung pada kebijakan perkembangan sektor lain yakni energi dan industrinya.
Meski begitu, secara umum beberapa komoditas yang terkait dengan industri seperti kakao, jagung, tebu, teh, rempah, dan lainnya memang mengalami kemajuan. Akan tetapi, kemajuan tersebut hanya terbatas dan tidak terkait dampak kenaikan harga minyak.
Hal ini diakui Menteri Pertanian Anton Apriyantono. Menurutnya Deptan saat ini akan memprioritaskan pengembangan sektor pertanian yang berperan sebagai pengganti (substitusi) energi. Pasalnya, dengan baiknya harga saat ini, pertanian bisa berkontribusi memperbaiki pendapatan petani sekaligus memberikan solusi bagi krisis energi yang sudah nyata di depan mata.
Meski sampai saat ini masih belum nampak adanya ketegasan pemerintah dalam kebijakan energi alternatif. Padahal, tim nasional bahan bakar nabati (BBN) untuk pengembangan bidang ini sudah ada. Namun, pertanian bisa berperan sebagai inisiator pengembangan bioenergi dengan menyediakan bahan baku. Diharapkan, dengan kegiatan ini akan diikuti industri swasta untuk mengembangkan sektor hilirnya.
Sektor pertanian lain yang berpotensi besar untuk dikuasai ialah peternakan. Dengan status bebas penyakit kuku dan mulut (PMK) maupun sapi gila (bovine spongiform encephalopathy/BSE), Indonesia berpotensi menjadi eksportir produk peternakan. Demikian juga dengan holtikultura. Kekayaan alam yang besar seharusnya bukan saja menjadikan negara ini swasembada, akan tetapi lebih menjadi pemasok dan eksportir. Akan tetapi, kenyataannya, sampai sekarang negara ini masih menjadi net importir dan pasar besar produk pertanian negara lain.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) angka ramalan III produksi gabah kering giling 2007 mencapai 56,89juta ton. Sedangkan, produksi jagung pipilan mencapai 13,24juta ton dan kedelai mencapai 598ribu ton. Untuk perkebunan, produksinya hampir semua mengalami pertumbuhan. Produksi CPO tahun ini mencapai 16juta ton lebih, tebu 31,14juta ton, karet 2,4juta ton, dan kakao 600ribu ton.
Kendati demikian, impor beras, jagung, gula, dan kedelai sebagai bahan pangan masih besar. Begitu juga dengan impor jagung dan kedelai sebagai bahan pakan, jumlahnya masih signfikan. Sementara itu, impor daging dan susu sepertinya tidak berkurang meski produksi nasional sedikit meningkat.
Sedangkan, untuk komoditas yang dikuasai seperti sawit, Indonesia masih dipusingkan dengan kenaikan harga minyak goreng. Untuk kopi, teh, rempah, dan kakao produksi nasional masih cukup sangat besar. Akan tetapi, besarnya produksi tidak diikuti pemasaran. Sehingga, komoditas-komoditas tersebut belum menikmati harga yang lebih baik dari potensinya.
 
Koordinasi dan Sinergi
Salah satu kendala pembangunan di negara ini harus diakui ialah lemahnya koordinasi lintas sektoral. Padahal, dalam pengembangan ekonomi khususnya komoditas memerlukan sinergi yang mantap dari semua lini. Koordinasi yang diperlukan dalam hal ini ialah antara sektor hulu sampai hilir termasuk perdagangannya.
Namun, dalam usia tiga tahun kabinet SBY-JK koordinasi sudah tampak ada perbaikan khususnya dalam pengembangan pertanian. Titik terang itu tampak dengan semakin harmonisnya hubngan Deptan dan Perum Bulog saat ini. Sebelumnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa Deptan dan Bulog kerap membuka front perselisihan baik secara kebijakan maupun dalam bentuk perang pernyataan.
Akan tetapi, dengan pergantian pucuk pimpinan di Bulog, kedua instansi telah memperlihatkan perbaikan sinergitas dalam pengembangan dan pangamanan pangan nasional. Akibatnya, kondisi harga dan pasokan panganuntuk rakyat tahun ini bisa dibilang aman terkendali. Dilengkapi peran Departemen Perdagangan, petanipun bisa menikmati perbaikan harga tanpa harus mengorbankan konsumen.
Sementara itu, sinergi dengan industri juga mulai bisa dirasakan. Hal ini terlihat dalam proyek ambisius menggapai swasembada gula 2009. Departemen Perindustrian dan Deptan dengan gigih menggapai perbankan untuk mendapat kucuran dana bagi revitalisasi pebrik gula dan pengembangan perkebunan tebu. Begitu juga dengan pengembangan sawit karet, dan kakao, kedua instansi telah melakukan berbagai sinergi. Meski sampai saat ini peta jalan pengembangan industri kakao masih belum beranjak dari kantor Depperin.
Demikian juga dengan pengembangan pendanaan bagi petani, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), dan Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah memperlihatkan komitmennya untuk memfasilitasi kucuran dana bagi sektor pertanian. Hal sama diperlihatkan Depperdag dengan mulai berjalannya sistem resi gudang bagi pendanaan petani.
Belum lagi upaya pemerintah bersama negara-negara lain di WTO yang memperjuangkan penghapusan subsidi pertanian. Bila ini terrealisasi potensi perdagangan komoditas pertanian akan semakin besar. Namun, di sisi lain potensi permasalahan akibat melambungnya harga bahan baku yang terlepas dari subsidi sepertinya belum ada solusi. Misalnya untuk komoditas kapas. Lebih dari 90% kapas untuk industri tektil Indonesia merupakan barang impor bersubsidi. Akan tetapi, sektor perkebunan kapas domestik sampai sekarang belum memiliki fondasi yang kuat.
Sedangkan peer lain yang masih memerlukan koordinasi dan sinergi lintas sektoral ialah untuk pengembangan energi. Departemen Energi Sumber Daya Mineral sepertinya masih disibukan dengan urusan subsidi BBM dan pengembangan pertambangan. Begitu juga dengan industri swasta dan pemerintah daerah. Berbagai persoalan seperti pengurangan beban subsidi BBM, pemenuhan bahan baku kapas, karet, produk ternak, peningkatan pendapatan daerah, dan lainnya sebenarnya bisa diselesaikan bila bersinergi mengembangkan pertanian.
Jika itu dilakukan, bukan tidak mungkin rakyat Indonesia akan lebih makmur dari negara-negara Timur Tengah yang dimanjakan kekayaan minyak. Bisa jadi, Emir-Emir pertanian akan lahir di negara ini beberapa tahun ke depan. Tidaklah mustahil, Indonesia menjadi eksportir energi, produk peternakan, dan industri berbasis agroindustri utama dunia yang sejajar dengan Amerika Serikat, Australia, Brazil, Thailand, ataupun China. Sehingga, gilang gemilang pertanian Indonesia bukan lagi menjadi utopia. (Toh)

Tidak ada komentar: