Minggu, Juni 12, 2005

Obituary#3


Image hosted by Photobucket.com


After the rain is falling
after the tears has wash your eyes

-Gordon Matthew Sumner-


MALAM telah menjelma di Ibukota. Para pedagang asongan telah meninggalkan kaki jembatan penyeberangan. Begitu pula penjual nasi padang di balik layar besar. Mereka telah membereskan lapak mereka, meninggalkan meja, bangku, dan roda terbelenggu rantai kokoh dengan dua kunci gembok berukuran besar.
Air mancur besar, kontoversial, khas Ibukota, masih menggelegak memuntahkan air berwarna-warni dari sorotan lampu tepat di bawah air. Berbagai kendaraan tiada lelah melakukan tawaf di sekitar tugu patung selamat datang. Dua sosok aneh yang melambaikan tangannya ke arah Jalan Thamrin entah kenapa. Sisa kejayaan sang proklamator bersama berbagai patung urban raksasa lainnya yang tersebar di Ibukota.
Dari kejauhan terdengar sirine menjerit-jerit ditempa bunyi klakson bis, tak mau kalah berdesakan di lubang telinga. Suara air, malu-malu menitipkan nada absurd di antara bising ibukota yang menghentak. “Why can't we wait till morning“, si botak Phil tetap meracau dari speaker yang terpasang dimobilku.

“Malam ini dingin ya?“ tanya sesosok perempuan meledakan khayal.

Sosok perempuan tersebut duduk di jok sebelah kiri, menatap keluar jendela. Ia mengenakan baju bergelembung dari bahan transparan berwarna gading. Tetap, warna itu tak membuat putih kulitnya menjadi kusam, mengintip dari sela-sela benang. Celana jeans biru ketat ia kenakan, sedikit melorot di bagian belakang sebagai akibat posisi duduknya. Tak ada aksesoris, tak ada perhiasan megah, hanya sebuah mutiara kecil menggantung dikedua kupingnya.

“Tau gini aku pakai jaket tadi!“ cetusnya.

Bibir berwarna merah darah dari lipstik yang ia kenakan, bergerak teratur mengantar kata. Tapi posisi tubuhnya sama sekali tak berubah, hanya beberap helai rambut hitam tebal tampak bergoyang dihembus angin dari sela jendela yang sedikit terbuka. Kedua tangannya dilipat tumpang tindih di atas perut, tapat di bawah payudaranya. Kaki munggilnya menapak di atas karpet mobil, melepas stiletto setinggi 12 cm.

“Lagian kamu tadi pake acara buru-buru. Padahal aku tahu, acaranya pasti ngaret. Kan kita bisa persiapan dulu, ga kaya gini, ...berantakan!“ celotehnya lagi.

Kali ini ia mengeratkan lipatan tangannya sambil membentuk gunung di atas bibirnya, monyong. Mimik inilah yang dulu membuat puluhan pria menjauhinya, sekaligus ratusan pria lain yang semakin penasaran dengan lesung pipit yang kadang ia pentaskan di wajahnya. Itu pula yang membuat aku terjatuh pada rutinitas ini, menampung omelan. Sesekali ia memberikan hadiah berupa senyuman dengan bonus lesung pipit yang entah kenapa membuat hampir semua pria mabuk, termasuk aku.
Wangi Channel nomer sembilan sukses menghinakan bau rokok yang saban hari setia menempel di pakaianku. Wangi tersebut melayang berputar-putar, menyusup ke dalm dashboard, ke jok belakang, ke dekat lampu, dan tentunya ke dalam lubang hidung. Bahkan, parfum mobilpun menunduk-nunduk ditindas parfum asal negaranya Albert Camus, si gila penulis l'Etranger.
Jalan Thamrin malam init tak terlalu padat. Mobil bisa dibesut pada kecepatan 60 km/jam tanpa takut harus mengerem mendadak. Sebuah Willis di depan mempertontonkan bayangan dua sosok insan bermesraan. Penumpangnya, nampaknya perempuan dilihat dari gesturnya, seperti mengelus-ngelus rambut pengemudi. Sementara sang pengemudi masih tampak konsentrasi dengan jalan di depannya.
Lampu stopan berpendar menampakkan warna hijau cemerlang. Mobil-mobilpun semakin kencang membelah jalan hotmik. Kadang-kadang terdengar suara klakson mobil bagaikan pecut yang melecut mobil menambah kecepatan. Akupun menginjak pedal gas lebih dalam berharap lalos dari kejaran lampu berwarna merah yang mungkin akan segera menyala.
Tiba-tiba, sebuah cahaya menyilaukan menyorot dari arah kiri mobil. Sosok perempuan di sampingku menjerit nyaring. Suara klakson besar berteriak kencang diikuti bunyi benturan keras beserta kilatan cahaya hasil benturan dua logam dengan kecepatan tinggi. Mobil terangkat hebat memaksa kepalaku membentur kaca di samping kanan.
Suasana menjadi sunyi. Hilang rasa sakit, musnah rasa nyeri. Gelap menyelimuti, tak ada lorong cahaya, tak ada wangi parfum, tak ada suara orang mengajak atau bisik merayu. Yang ada hanya kegelapan, bisu, ...yang ada hanya kesunyian. HAMPA!?

Kantor redaksi koran nomer dua
120605 © abdisalira

3 komentar:

di persimpangan rasta mengatakan...

Kali ini, kau bercerita agak jelas kawan. Tapi, aku pikir kenapa harus tabrakan, di Jalanan Sudirman - Thamrin pula lagi. Napa ga' di Cawang. Ini sebenarnya mau seperti drama realis atau apa?
Pesannya memang jelas, hati-hati bawa mobil. Atau pergi kalau diawali berantem. Atau...., ah terserah kau-lah kawan.

Anonim mengatakan...

Dunia tidak berputar mengelilingi Abdisalira kenapa gak coba terima orang lain apa adanya.

Anonim mengatakan...

Gue salut ama tulisan elo.Bau sastranya kecium banget dan lo tau gimana cara mempermainkan kata,kalimat,paragraf dan bahasa sampai jadi satu rentetan cerita yang lo tujukan buat sosok cewek yang terselubung ama background cerita elo yg menurut gue berputar-putar tanpa arah.Juga implisit so nggak semua orang bisa ngartiin itu dengan pasti.Tentunya lo yg paling tahu apa di balik cerita itu,darimana inspirasinya sampai lo bisa mengemas satu kantong "drama" yang berbasis luas tapi pada intinya lo cuma fokusin ke satu sosok perempuan yang sayangnya lo sendiri nggak bener-bener nyeritain tentang dia.

So,find out that girl if you really want her !!! It is thew point...