Rabu, Agustus 24, 2005

Gundah Gundala

BERBICARALAH perihal gelisah. Gelisah, tak lain dan tak bukan adalah sepupu terdekat dari bayangan sebagai akibat sorotan berjuta lampu terhadap suatu objek. Bayangan itu mengelepar-gelepar mencoba memaknai diri dari wujud, sukar untuk diberi judul bentuk.

Bertanyalah kepada gelisah. Gelisah akan meniupkan sebilah angin dari mulut-mulutnya. Mulut-mulut itu tidak saja terletak di bawah hidung di samping pipi, menumpu pada dagu. Ia berdomisili dalam kepala yang kelelahan menampung dirinya sehingga menimbulkan hembusan angin. Angin itulah jawaban dari berlaksa pertanyaan yang diajukan pada gelisah.

Hayatilah waktu bersama gelisah. Gelisah bisa menghilangkan beberapa angka di jam maupun arloji. Diapun berkuasa menambah angka-angka tersebut hingga hitungan tak terhingga. Tak terhingga karena gelisah ialah sobat ngobrol paling pas untuk semua kesempatan. Kesempatan yang menelorkan rasa rindu pada kesunyian.

Berdamailah dengan gelisah. Gelisah dalam arti yang pas, sanggup menghadirkan bulan dalam menu sarapan pagi, makan siang, ataupun makan malam berhias lilin. Lilin menjadi panggung pertunjukan tari perut api yang bardansa bersama gelisah. “Ayo kawan! Mainkan samba, sambung dengan tanggo! Jika bosan hadirkan gogo atau hanya goyang jempol seirama kendang lagu dangdut!” ujar gelisah.

Bunuhlah gelisah! Gelisah membawa mati benang penarik mentari, laso pengikat candra, dan gelombang yang mengelus pesisir pantai. Pantai menjadi akhir gelora samudra yang resah dirasuki gelisah. Tenteramlah di ujung jalan yang menghubungkan trayek hidup dengan terminal kematian. Kematian hanya dikenali sepeninggalan lara, istri setia sang gelisah.

Ujung Selatan Ibukota
abdisalira©240805

Tidak ada komentar: