Rabu, Agustus 31, 2005

Pledoi


SAAT hati sedih, paling enak tentunya segelas kopi hangat, sebatang rokok, musik melow dipadu dengan rintik hujan gerimis. Ya kalau ada sedikit dana, mungkin sebotol 'Jack D' akan semakin meriah. Layak menjadi katarsis segala kesedihan.

Akan tetapi, jika hal itu tak memungkinkan, cukup sebuah korsi nyaman yang menghadap kegelapan malam, bisa menjadi latar untuk melamun. Setidaknya, menghindarkan diri dari lamunan jorok atau yang terlalu dramatis. Soalnya, kondisi seperti itu harus tepat penatalaksanaannya. Sebisa mungkin, jauhkan segala jenis racun (racun tikus, pun serangga), segala jenis tali atau batang pohon nangka yang menganggur. Bahaya nanti, bisa-bisa masuk catatan para loser yang berpikiran kate.

Pokoknya, banyak alternatif bisa dilakukan sebagai pelipur sendu, penghilang lara, dan pengusir sedih. Namun beda ceritanya jika kondisi hati sedang senang. Perasaan senang ternyata membutuhkan partner yang lebih kompleks ketimbang segelas kopi atau sebatang rokok. Perasaan senang membutuhkan orang yang bisa ikut merespon atau minimal berresonansi dengan perasaan bahagia kita. So, here I am, a very happy man. Hanya yang kurang.. tidak ada any happy partner.

Ok, cukup pembicaraan sentimentil tentang senang dan sedih. Berapa orang mati dalam sehari di seluruh dunia ini? Berapa orang lagi terlahir disambut senyum antusias dari orang-orang tuanya. Walhasil, kesedihan dan kebahagiaan tetap akan menjadi siklus yang secara simultan akan saling bertumpang tindih, silih berganti mewarnai atmosfir dunia.

Masih perlukah pembicaraan sentimentil ini dilanjutkan. Karena toh kehidupan tetap berlalu. Sang kala akan tetap berkelana menjelajahi dimensi ruang di setiap sudut kehidupan.

Hari ini seperti berbagai hari sebelum kemarin, kehidupanku tetap menampakkan dua sisi berlawanan. Ibarat kulit keping uang recehan tak cukup berharga untuk membeli asa yang menggelembung di kepala. Ia hanya pas dimasukan ke dalam kaleng yang diedarkan di mesjid-mesjid, di kabin bis patas reguler atau di beberapa jalan sempit dekat pemukiman kumuh yang banyak terdapat di kota-kota besar. Tak cukup memberi kenyamanan pribadi, hanya bisa berkontribusi untuk kemaslahatan bersama.

Hari ini pula, suara burung hantu seperti kehilangan makna. Tertunduk malu di hadapan merdu bunyi kutilang dari sangkar burung tetangga yang cukup keras bersuit mengalahkan desau angin dingin malam. Hari ini seperti halnya hari-hari setelah besok dan lusa, tetap hanya menjadi hiasan kalender yang dibuang saat tahun berganti.

Sehingga, buat apa aku berspekulasi dengan berbagai praduga atau prafakta yang terrencana? Entoh aku hanya salah satu punakawan yang mencoba lucu dengan gestur yang didorong gerak lembut jemari Ki Dalang. Hanya penghayatan yang aku butuhkan. Bukan penyesalan atau kepongahan yang menjadi atribut setiap keberhasilan. Cukup menjadi catatan kecil yang menempel di pintu kulkas berisi berbagai bahan makanan jiwa.

Teriakan Eddie Vedder terdengar dari ponsel buluk dalam saku celana. Jeremy spoken in the class today. Suara itu cukup menyentakkan dada dalam kesunyian. Mengapa ponsel selalu berdering saat malam menjelang larut. Mengapa pula ia tak pernah mengucap permisi atau sekedar mengetuk pintu. Apakah dia mendapat jatah lembur?

Hanya sebuah miscall. Nampaknya ia menyadari perasaan sebal yang terpancar di bibirku. Namun tak berlangsung lama, dering sederhana kembali bergaung dari dalam saku celana. Pesan pendek telah sampai dalam kotak surat ponsel buluk sisa-sisa kejayaan masa kuliahku. Sebuah sms menanti apresiasi.

Sebuah nama muncul di layar kecil dengan goresan di mana-mana. Sebuah sms telah tiba tepat jam satu lewat duapuluh tujuh malam. Menekan tombol ponsel berarti menggelindingkan diri ke dalam dunia si empunya nama. Kutimang-timang, akhirnya kutekan juga tombol.

Sial! sudah datang tanpa sopan masih menyuruh menunggu. Dasar ponsel lapuk buatan orang-orang buluk! Sebaris kalimat singkat tertera di layar. "Mas, bapakku meninggal."

...

Sebuah pertanyaan sederhana menghantam fondasi kesadaranku. Sebuah pertanyaan tak bermakna menghancurkan tiang-tiang penalaranku. Sebuah pertanyaan tanpa kata membanjiri otak yang menembus batas pemisah rasio dan emosi. Bagaimana menyambut kesedihan orang lain?


kantor redaksi koran nomor dua
abdisalira©270905

Tidak ada komentar: