Sabtu, Agustus 27, 2005

Mogok Diam

“Abaaaah! Gimana atuh itu si Kabayan dan si Armasan lagi mogok diam? Mereka tak mau datang ke acara syukuran keberhasilan Abah. Tiap ditanya selalu tidak nyambung. Gimana atuh Abah?!”

Iteung berteriak-teriak hendak mengadu pada bapaknya, yang sore tadi telah merayakan kemenangan atas haknya menjadi Kepala Dusun. Bukankah seharusnya suami dan sahabatnya itu datang dan turut bersuka cita atas apa yang terjadi pada mertua dan mertua sahabatnya itu? Ditambah lagi mengingat begitu kencangnya hujatan para tetangga dan warga dusun yang menuduh Abah sebagai pelaku penyabotan bibit padi jatah penduduk, yang kebanyakan adalah petani tersebut.

“Mereka teh nyerocos dan meracau terus-menerus tanpa mau berhenti. Padahal, sudah malam begini mereka tetap tak mau berhenti bicara. Katanya mereka melakukan mogok diam!”

Meskipun Iteung tak tahu alasan pasti perbuatan suami dan sahabatnya tersebut dan apa yang dimaksud degan mogok diam. Bagi dia, tindakan kedua orang terdekatnya itu tidak masuk di akal. Soalnya ketika seseorang melakukan sesuatu harus ada alasan dan alasan tersebut harus diungkapkan agar semua orang mengerti. Akan tetapi, hal tersebut tidak dilakukan oleh baik Kabayan maupun Armasan. Ia menduga tindakan mereka didasari pencalonan Abah sebagai Kadus. Meskipun demikian, bukankah Abah sudah sangat qualified untuk menjadi Kadus, mengingat kemampuannya menyuburkan lahan pertanian miliknya? Padahal, seluruh lahan sawah di dusunnya saat ini tak satupun yang menghasilkan panen, karena tak memiliki bibit untuk ditanam.

“Abah! Bagaimana atuh? Abah harus menjelaskan pada mereka bahwa Abah teh telah terbukti layak menjadi Kadus, kan sudah dibuktikan dengan keputusan rapat para sesepuh dusun dalam pertemuan tadi sore.”

Iteung masih saja merengek pada bapaknya yang saat itu masih berada di ruang pavilyun dengan semua jendela dan pintunya tertutup rapat. Ia berharap bapaknya akan menemukan solusi untuk menghentikan tingkah laku suami dan sahabatnya. Pasalnya, ia takut kedua orang tersebut akan mengalami hal-hal yang tak diinginkan sebagai efek dari perbuatan mereka.

“Bayangkan atuh Abah, mereka teh sudah berjam-jam ngomel terus, kadang tertawa dan kadang menangis, tanpa berhenti sedikitpun. Saya teh takut mereka akan kehabisan nafas, terus mereka mati karena kekurangan oksigen atau mulut mereka keram karena terus-menerus berbicara.”

Iteung tahu, apa yang terjadi pada bapaknya adalah hasil kerja keras yang tak kenal lelah. Kalau para petani yang lain tak berhasil, kan karena kemalasan mereka dalam menggarap lahan. Meskipun ia sendiri heran, bagaimana Abah memperoleh bibit padi ketika pasokan bibit dari pemerintah tak kunjung tiba ke dusun mereka?

“Iteung juga tahu, para pemuda karang taruna telah menuduh yang bukan-buka pada Abah. Kata mereka Abah telah menggelapkan bibit padi jatah dusun untuk dijadikan modal wawar-wawar kampanye Abah. Tapi, kan sudah terbukti dan terbantahkan dalam rapat kasepuhan dusun, tuduhan itu teh salah, tidak beralasan, tanpa bukti alias fitnah!”

Bagi Iteung, semua tuduhan itu bisa dianggap benar, bila keputusan rapat warga, keputusan musyawarah pimpinan dusun dan akhirnya keputusan rapat kasepuhan menyatakannya benar. Kenyataannya, hanya rapat warga dan musyawarah pimpinan dusun yang menyatakan hal itu memang terjadi. Akan tetapi, keputusan rapat kasepuhan yang menjadi keputusan tertinggi semua keputusan di dusunnya menyatakan bahwa Abah tidak bersalah. Jadi, cukup bagi Iteung untuk percaya kalau bapaknya itu memang bersih dan layak menjadi Kadus.

“Iteung juga tahu kalau Abah teh berniat menjadi Kadus karena ingin memajukan dusun kita. Jadi, mustahil Abah mewujudkan keinginan itu dengan menghalalkan segala cara. Kata orang juga, kalau tujuannya baik, maenya dilaksanakan dengan cara yang salah. Nggak mungkin Abah membeli kasepuhan untuk mendukung tujuan Abah.”

Para kasepuhan, diangkat oleh warga untuk menemukan solusi bagi berbagai permasalahan dusun, bukannya tanpa kualifikasi. Mereka haruslah terdiri dari orang-orang yang legok tapak gentèng kadèk dan orang-orang yang bijak dan adil dalam menghasilkan keputusan. Alhasil, bagi Iteung, mana mungkin bapaknya bisa membeli mereka. Ditambah lagi, meski ia sendiri tahu kadang-kadang bapaknya suka `khilap´, tak mungkin bapaknya tersebut mempunyai duit guna membeli para kasepuhan yang sudah makmur itu.

Setelah beberapa lama berbicara dengan pintu, Iteung mulai tak sabar untuk berbincang dengan Abah, yang tampaknya selalu diam di dalam ruangan papilyun yang tertutup rapat tersebut. Kemudian, karena merasa di rumah sendiri, Iteung menerobos pintu pavilyun rumah orangtuanya. Berharap menemukan Abah guna mendapat jawaban bagi unek-uneknya, Iteung dikejutkan dengan keramaian pavilyun, yang dipenuhi orang-orang tua dengan wajah-wajahnya yang tampak kaget campur takut. Tanpa berkata-kata, walau hanya untuk basa-basi, para tamu yang terdiri dari kasepuhan berloncatan melalui jendela malah salah satu di antara mereka menabrak Iteung dalam usahanya menerobos pintu. Mereka meninggalkan Abah sendiri di tengah ruang papilyun dalam keadaan mukanya tertutup sarung yang ia kenakan. Tindakan Abah itu, tak ayal lagi mengakibatkan terlihatnya barang, yang paling ditakuti dari tubuh laki-laki, miliknya, oleh anaknya sendiri.

“Abaaah! Ari Abah nanahaonan? Abah mana ambu? Abaaah! Iteung harus pulang. Naha Iteung ada di sini? Mau apa Iteung ke sini? Iteung lagi masak nasi. Nasinya bukan hasil panen Abah. Aduuh! Iteung belum nyuguhan si Armasan. Si Armasan teh sobatnya si Kang Kabayan. Si Kang Kabayan teh suami Iteung, jadi Iteung harus pulang buat nyiapin makanan...”

Iteung pun terbirit-birit lari menuju rumahnya tanpa menghiraukan beberapa kursi dan meja yang ia tabrak sampai berhamburan. Di rumahnya, Iteung, Kabayan dan Armasan kadang tertawa, kemudian menangis, selanjutnya berteriak, kadang terisak dan kadang terbahak, tak henti hingga malam terlewat, hari berganti, minggu berlalu dan bulan berjalan sampai ia lupa kapan ia harus terdiam.(*)

Dago, 160204
© abdisalira

Tidak ada komentar: