Rabu, Agustus 31, 2005

Pledoi


SAAT hati sedih, paling enak tentunya segelas kopi hangat, sebatang rokok, musik melow dipadu dengan rintik hujan gerimis. Ya kalau ada sedikit dana, mungkin sebotol 'Jack D' akan semakin meriah. Layak menjadi katarsis segala kesedihan.

Akan tetapi, jika hal itu tak memungkinkan, cukup sebuah korsi nyaman yang menghadap kegelapan malam, bisa menjadi latar untuk melamun. Setidaknya, menghindarkan diri dari lamunan jorok atau yang terlalu dramatis. Soalnya, kondisi seperti itu harus tepat penatalaksanaannya. Sebisa mungkin, jauhkan segala jenis racun (racun tikus, pun serangga), segala jenis tali atau batang pohon nangka yang menganggur. Bahaya nanti, bisa-bisa masuk catatan para loser yang berpikiran kate.

Pokoknya, banyak alternatif bisa dilakukan sebagai pelipur sendu, penghilang lara, dan pengusir sedih. Namun beda ceritanya jika kondisi hati sedang senang. Perasaan senang ternyata membutuhkan partner yang lebih kompleks ketimbang segelas kopi atau sebatang rokok. Perasaan senang membutuhkan orang yang bisa ikut merespon atau minimal berresonansi dengan perasaan bahagia kita. So, here I am, a very happy man. Hanya yang kurang.. tidak ada any happy partner.

Ok, cukup pembicaraan sentimentil tentang senang dan sedih. Berapa orang mati dalam sehari di seluruh dunia ini? Berapa orang lagi terlahir disambut senyum antusias dari orang-orang tuanya. Walhasil, kesedihan dan kebahagiaan tetap akan menjadi siklus yang secara simultan akan saling bertumpang tindih, silih berganti mewarnai atmosfir dunia.

Masih perlukah pembicaraan sentimentil ini dilanjutkan. Karena toh kehidupan tetap berlalu. Sang kala akan tetap berkelana menjelajahi dimensi ruang di setiap sudut kehidupan.

Hari ini seperti berbagai hari sebelum kemarin, kehidupanku tetap menampakkan dua sisi berlawanan. Ibarat kulit keping uang recehan tak cukup berharga untuk membeli asa yang menggelembung di kepala. Ia hanya pas dimasukan ke dalam kaleng yang diedarkan di mesjid-mesjid, di kabin bis patas reguler atau di beberapa jalan sempit dekat pemukiman kumuh yang banyak terdapat di kota-kota besar. Tak cukup memberi kenyamanan pribadi, hanya bisa berkontribusi untuk kemaslahatan bersama.

Hari ini pula, suara burung hantu seperti kehilangan makna. Tertunduk malu di hadapan merdu bunyi kutilang dari sangkar burung tetangga yang cukup keras bersuit mengalahkan desau angin dingin malam. Hari ini seperti halnya hari-hari setelah besok dan lusa, tetap hanya menjadi hiasan kalender yang dibuang saat tahun berganti.

Sehingga, buat apa aku berspekulasi dengan berbagai praduga atau prafakta yang terrencana? Entoh aku hanya salah satu punakawan yang mencoba lucu dengan gestur yang didorong gerak lembut jemari Ki Dalang. Hanya penghayatan yang aku butuhkan. Bukan penyesalan atau kepongahan yang menjadi atribut setiap keberhasilan. Cukup menjadi catatan kecil yang menempel di pintu kulkas berisi berbagai bahan makanan jiwa.

Teriakan Eddie Vedder terdengar dari ponsel buluk dalam saku celana. Jeremy spoken in the class today. Suara itu cukup menyentakkan dada dalam kesunyian. Mengapa ponsel selalu berdering saat malam menjelang larut. Mengapa pula ia tak pernah mengucap permisi atau sekedar mengetuk pintu. Apakah dia mendapat jatah lembur?

Hanya sebuah miscall. Nampaknya ia menyadari perasaan sebal yang terpancar di bibirku. Namun tak berlangsung lama, dering sederhana kembali bergaung dari dalam saku celana. Pesan pendek telah sampai dalam kotak surat ponsel buluk sisa-sisa kejayaan masa kuliahku. Sebuah sms menanti apresiasi.

Sebuah nama muncul di layar kecil dengan goresan di mana-mana. Sebuah sms telah tiba tepat jam satu lewat duapuluh tujuh malam. Menekan tombol ponsel berarti menggelindingkan diri ke dalam dunia si empunya nama. Kutimang-timang, akhirnya kutekan juga tombol.

Sial! sudah datang tanpa sopan masih menyuruh menunggu. Dasar ponsel lapuk buatan orang-orang buluk! Sebaris kalimat singkat tertera di layar. "Mas, bapakku meninggal."

...

Sebuah pertanyaan sederhana menghantam fondasi kesadaranku. Sebuah pertanyaan tak bermakna menghancurkan tiang-tiang penalaranku. Sebuah pertanyaan tanpa kata membanjiri otak yang menembus batas pemisah rasio dan emosi. Bagaimana menyambut kesedihan orang lain?


kantor redaksi koran nomor dua
abdisalira©270905

Sabtu, Agustus 27, 2005

Absorber


abdisalira©150805

Deru

“Puisi merupakan gelombang perasaan yang menderu menjadi ombak, dan sajak-sajak adalah pecahan mutiara ratnanya. Dalam puisi, rasa harus menjadi mutiara, artinya ia bukan sekadar letupan emosi-emosi yang liar mencari jalan pembebasan, tetapi ia merupakan sumber daya kejujuran emotif yang akhirnya memberi dampak efektif berupa makna. Baik bagi pemiliknya, penyair, maupun bagi penerima yaitu pembaca.”
(Ade Kosmaya, Pesan Ombak Padjadjaran, 1993)

Mogok Diam

“Abaaaah! Gimana atuh itu si Kabayan dan si Armasan lagi mogok diam? Mereka tak mau datang ke acara syukuran keberhasilan Abah. Tiap ditanya selalu tidak nyambung. Gimana atuh Abah?!”

Iteung berteriak-teriak hendak mengadu pada bapaknya, yang sore tadi telah merayakan kemenangan atas haknya menjadi Kepala Dusun. Bukankah seharusnya suami dan sahabatnya itu datang dan turut bersuka cita atas apa yang terjadi pada mertua dan mertua sahabatnya itu? Ditambah lagi mengingat begitu kencangnya hujatan para tetangga dan warga dusun yang menuduh Abah sebagai pelaku penyabotan bibit padi jatah penduduk, yang kebanyakan adalah petani tersebut.

“Mereka teh nyerocos dan meracau terus-menerus tanpa mau berhenti. Padahal, sudah malam begini mereka tetap tak mau berhenti bicara. Katanya mereka melakukan mogok diam!”

Meskipun Iteung tak tahu alasan pasti perbuatan suami dan sahabatnya tersebut dan apa yang dimaksud degan mogok diam. Bagi dia, tindakan kedua orang terdekatnya itu tidak masuk di akal. Soalnya ketika seseorang melakukan sesuatu harus ada alasan dan alasan tersebut harus diungkapkan agar semua orang mengerti. Akan tetapi, hal tersebut tidak dilakukan oleh baik Kabayan maupun Armasan. Ia menduga tindakan mereka didasari pencalonan Abah sebagai Kadus. Meskipun demikian, bukankah Abah sudah sangat qualified untuk menjadi Kadus, mengingat kemampuannya menyuburkan lahan pertanian miliknya? Padahal, seluruh lahan sawah di dusunnya saat ini tak satupun yang menghasilkan panen, karena tak memiliki bibit untuk ditanam.

“Abah! Bagaimana atuh? Abah harus menjelaskan pada mereka bahwa Abah teh telah terbukti layak menjadi Kadus, kan sudah dibuktikan dengan keputusan rapat para sesepuh dusun dalam pertemuan tadi sore.”

Iteung masih saja merengek pada bapaknya yang saat itu masih berada di ruang pavilyun dengan semua jendela dan pintunya tertutup rapat. Ia berharap bapaknya akan menemukan solusi untuk menghentikan tingkah laku suami dan sahabatnya. Pasalnya, ia takut kedua orang tersebut akan mengalami hal-hal yang tak diinginkan sebagai efek dari perbuatan mereka.

“Bayangkan atuh Abah, mereka teh sudah berjam-jam ngomel terus, kadang tertawa dan kadang menangis, tanpa berhenti sedikitpun. Saya teh takut mereka akan kehabisan nafas, terus mereka mati karena kekurangan oksigen atau mulut mereka keram karena terus-menerus berbicara.”

Iteung tahu, apa yang terjadi pada bapaknya adalah hasil kerja keras yang tak kenal lelah. Kalau para petani yang lain tak berhasil, kan karena kemalasan mereka dalam menggarap lahan. Meskipun ia sendiri heran, bagaimana Abah memperoleh bibit padi ketika pasokan bibit dari pemerintah tak kunjung tiba ke dusun mereka?

“Iteung juga tahu, para pemuda karang taruna telah menuduh yang bukan-buka pada Abah. Kata mereka Abah telah menggelapkan bibit padi jatah dusun untuk dijadikan modal wawar-wawar kampanye Abah. Tapi, kan sudah terbukti dan terbantahkan dalam rapat kasepuhan dusun, tuduhan itu teh salah, tidak beralasan, tanpa bukti alias fitnah!”

Bagi Iteung, semua tuduhan itu bisa dianggap benar, bila keputusan rapat warga, keputusan musyawarah pimpinan dusun dan akhirnya keputusan rapat kasepuhan menyatakannya benar. Kenyataannya, hanya rapat warga dan musyawarah pimpinan dusun yang menyatakan hal itu memang terjadi. Akan tetapi, keputusan rapat kasepuhan yang menjadi keputusan tertinggi semua keputusan di dusunnya menyatakan bahwa Abah tidak bersalah. Jadi, cukup bagi Iteung untuk percaya kalau bapaknya itu memang bersih dan layak menjadi Kadus.

“Iteung juga tahu kalau Abah teh berniat menjadi Kadus karena ingin memajukan dusun kita. Jadi, mustahil Abah mewujudkan keinginan itu dengan menghalalkan segala cara. Kata orang juga, kalau tujuannya baik, maenya dilaksanakan dengan cara yang salah. Nggak mungkin Abah membeli kasepuhan untuk mendukung tujuan Abah.”

Para kasepuhan, diangkat oleh warga untuk menemukan solusi bagi berbagai permasalahan dusun, bukannya tanpa kualifikasi. Mereka haruslah terdiri dari orang-orang yang legok tapak gentèng kadèk dan orang-orang yang bijak dan adil dalam menghasilkan keputusan. Alhasil, bagi Iteung, mana mungkin bapaknya bisa membeli mereka. Ditambah lagi, meski ia sendiri tahu kadang-kadang bapaknya suka `khilap´, tak mungkin bapaknya tersebut mempunyai duit guna membeli para kasepuhan yang sudah makmur itu.

Setelah beberapa lama berbicara dengan pintu, Iteung mulai tak sabar untuk berbincang dengan Abah, yang tampaknya selalu diam di dalam ruangan papilyun yang tertutup rapat tersebut. Kemudian, karena merasa di rumah sendiri, Iteung menerobos pintu pavilyun rumah orangtuanya. Berharap menemukan Abah guna mendapat jawaban bagi unek-uneknya, Iteung dikejutkan dengan keramaian pavilyun, yang dipenuhi orang-orang tua dengan wajah-wajahnya yang tampak kaget campur takut. Tanpa berkata-kata, walau hanya untuk basa-basi, para tamu yang terdiri dari kasepuhan berloncatan melalui jendela malah salah satu di antara mereka menabrak Iteung dalam usahanya menerobos pintu. Mereka meninggalkan Abah sendiri di tengah ruang papilyun dalam keadaan mukanya tertutup sarung yang ia kenakan. Tindakan Abah itu, tak ayal lagi mengakibatkan terlihatnya barang, yang paling ditakuti dari tubuh laki-laki, miliknya, oleh anaknya sendiri.

“Abaaah! Ari Abah nanahaonan? Abah mana ambu? Abaaah! Iteung harus pulang. Naha Iteung ada di sini? Mau apa Iteung ke sini? Iteung lagi masak nasi. Nasinya bukan hasil panen Abah. Aduuh! Iteung belum nyuguhan si Armasan. Si Armasan teh sobatnya si Kang Kabayan. Si Kang Kabayan teh suami Iteung, jadi Iteung harus pulang buat nyiapin makanan...”

Iteung pun terbirit-birit lari menuju rumahnya tanpa menghiraukan beberapa kursi dan meja yang ia tabrak sampai berhamburan. Di rumahnya, Iteung, Kabayan dan Armasan kadang tertawa, kemudian menangis, selanjutnya berteriak, kadang terisak dan kadang terbahak, tak henti hingga malam terlewat, hari berganti, minggu berlalu dan bulan berjalan sampai ia lupa kapan ia harus terdiam.(*)

Dago, 160204
© abdisalira

Rabu, Agustus 24, 2005

Gundah Gundala

BERBICARALAH perihal gelisah. Gelisah, tak lain dan tak bukan adalah sepupu terdekat dari bayangan sebagai akibat sorotan berjuta lampu terhadap suatu objek. Bayangan itu mengelepar-gelepar mencoba memaknai diri dari wujud, sukar untuk diberi judul bentuk.

Bertanyalah kepada gelisah. Gelisah akan meniupkan sebilah angin dari mulut-mulutnya. Mulut-mulut itu tidak saja terletak di bawah hidung di samping pipi, menumpu pada dagu. Ia berdomisili dalam kepala yang kelelahan menampung dirinya sehingga menimbulkan hembusan angin. Angin itulah jawaban dari berlaksa pertanyaan yang diajukan pada gelisah.

Hayatilah waktu bersama gelisah. Gelisah bisa menghilangkan beberapa angka di jam maupun arloji. Diapun berkuasa menambah angka-angka tersebut hingga hitungan tak terhingga. Tak terhingga karena gelisah ialah sobat ngobrol paling pas untuk semua kesempatan. Kesempatan yang menelorkan rasa rindu pada kesunyian.

Berdamailah dengan gelisah. Gelisah dalam arti yang pas, sanggup menghadirkan bulan dalam menu sarapan pagi, makan siang, ataupun makan malam berhias lilin. Lilin menjadi panggung pertunjukan tari perut api yang bardansa bersama gelisah. “Ayo kawan! Mainkan samba, sambung dengan tanggo! Jika bosan hadirkan gogo atau hanya goyang jempol seirama kendang lagu dangdut!” ujar gelisah.

Bunuhlah gelisah! Gelisah membawa mati benang penarik mentari, laso pengikat candra, dan gelombang yang mengelus pesisir pantai. Pantai menjadi akhir gelora samudra yang resah dirasuki gelisah. Tenteramlah di ujung jalan yang menghubungkan trayek hidup dengan terminal kematian. Kematian hanya dikenali sepeninggalan lara, istri setia sang gelisah.

Ujung Selatan Ibukota
abdisalira©240805

Jumat, Agustus 05, 2005

Blue Note


MEMASUKI bus patas AC jurusan Depok-Kalideres, gerah menjadi raib, keringat terasa sirna, dan letih pun sedikit teralih. Suasana bus begitu sepi, beberapa pria terantuk-antuk menahan beban kepalanya yang seakan ingin menggelinding. Wajah seorang nenek tarsandar nanar menatap arah seakan berserah.
Seorang pemuda dengan dandanan perlente, membolak-balik koran seakan mencari kata-kata tersembunyi dibalik lembaran lusuh koran nomor satu di negeri ini. Kakinya menggantung di sandaran kursi depannya, tak muat untuk menapak lantai bus yang terbuat dari lempengan besi. Sepasang muda, dari tampilannya bisa dipastikan berstatus mahasiswa, asyik bercengkrama. Saling elus, saling cubit, saling bisik, takut pembicaraannya terdengar orang lain. Padahal, tingkah mereka mengabarkan kebebasan seolah merekalah pemilik dunia yang sumpek ini.
Dua orang pria setengah baya yang naik dari pintu belakang langsung mengambil posisi di kursi kosong. Secara otomatis, mereka menyandarkan kepalanya, menutup mata dengan diantar helaan nafas panjang. Bak melepas beban yang mereka pinggul seharian di luar bis. Tak berapa lama, hembusan nafas teratur mengalir dari kedua lubang hidung dan mulutnya.
Suasana begitu tenang, hanya terdengar sayup-sayup suara kondektur memuntahkan beberapa nama tempat yang kebetulan terlintasi bis. Aku pun duduk di bangku sebelah kiri yang mempunyai dua kursi tepat di sebelah sepasang muda yang sedang bercengkrama.
Di sebelahku, seorang gadis manis berambut hitam legam yang dijepit sebagian sedangkan sebagian lainnya dibiarkan terurai melintasi dahinya. Kemeja putih membalut tubuh disambut rok mini berwarna coklat muda tak kuasa menutupi kulit langsat di paha sang gadis. Sebuah tas bernuansa gading teronggok di pangkuannya. Sedangkan sebuah blazer, juga berwarna coklat muda, kepayahan menggapai tali tas kecil karena sebagian darinya telah terjatuh menimpa betis dan sepatu hak tinggi berwarna hitam.
Dari balik kacamatanya, bulu mata lentik terkatup tenang melabeli kepala indah yang tertopang lengan munggil, tersandar di dinding dekat jendela bis. Sebuah pemandangan indah pikirku. Seorang bidadari yang terlena damai setelah seharian bercanda di balik pelangi dan mandi di sebuah telaga.
Aku selalu terpesona dengan pemandangan seperti itu. Seorang pejuang perempuan yang berusaha menghiasi hidupnya dengan makna. Ia tak kenal lelah menggapai beberapa mimpinya, hingga kelelahan tersebut menerjangnya. Kantuk memeluk diantara hembusan udara sejuk dari lubang-lubang AC yang berjajar di atap bis.

**

"UNTARI!! Mana berkas tadi? Kenapa belum kau selesaikan juga?"
"Sudah kok Mbak. Aku sudah menaruhnya di atas meja, di balik map merah yang ada di sudut meja Mbak" jawab Untari.

Untari masih saja sibuk dengan beberapa kertas kecil, memberinya cap dan menjepitnya dengan kliper dan menyusunnya di meja. Blazer coklat mudanya masih terlihat rapi, meski gerakannya sangat gesit. Keselarasan tersebut seolah telah dilatihnya secara intensif sehingga dalam kesibukan apapun ia akan selalu tampak anggun dan ramah.

"UNTARI!! Kemana kuitansinya? Mestinya kan sudah terlampir bersama berkas ini!"
"Ini Mbak, aku sudah memberinya cap stempel dan telah menyusunnya. Maap tadi banyak sekali telepon yang masuk"

Untari tergopoh-gopoh memasuki ruangan asal suara keras tadi memanggilnya. Ia berlari kecil, rambutnya beriak-riak seiring gerakan lembut sepatu hitam berhak tinggi yang mengantarnya menjelang pintu bertuliskan Direktur "Operasional".
Sekeluarnya dari ruangan tersebut, Untari kembali tenggelam di antara tumpukan berkas yang tak henti bertambah seolah enggan untuk sirna. Kemudian seorang perempuan setengah baya mengikutinya. Ia mengenakan blazer merah menyala, dengan make-up yang tebal lengkap dengan lipstik, tak mau kalah, juga berwarna merah darah.

"Tari! Saya harus ketemu Bos dulu, jika ada tamu, bilang saya langsung pulang ke rumah ya! Kamu selesaikan berkas-berkas tadi, jangan lupa kirimkan surat-surat dan e-mail yang saya bikin di komputer!"
"Baik Mbak".

Untari mengantar perempuan tersebut hingga keluar, selanjutnya ia kembali berkutat dengan tugas-tugas yang menjadi warisan bosnya. Sesekali, dering telepon memaksanya mengambil jeda untuk kemudian kembali tenggelam dalam pekerjaannya tersebut.
Detik demi detik menjadi menit, menjadi jam, hingga sorepun tiba. Setelah seharian menulis, mengetik, membolak-balik berkas dan keluar masuk ruangan direktur, Untari hanya menyisakan sebuah berkas di mejanya. Suasana ruang kantor masih terasa sepi, di ruangan itu hanya ada dia dan bosnya.

"Hi Tari! Susi masih ada?"

Sebuah suara bariton meledakan konsentrasi Tari. Sontak ia berdiri dan beberapa langkah mundur, sehingga kursi di belakangnya terjengkang.

"Eh Ba.. ba.. pak. Ka.. ka..pan datang Pak?"
"Baru saja, by the way Susi mana?"

Pria tersebut mendekati meja, tangannya menjulur mencoba menggapai Untari.

"Eh maap pak, mbak Susi sudah pergi, katanya mau langsung pulang."
"Waah kebetulan. Tinggal kita berdua dong."

Pria berbadan gemuk besar tersebut berhasil memegang lengan Untari. Dengan bernafsu ia berusaha menarik tangan munggil tersebut.

"Apa-apaan sih Pak. Awas nanti saya bilang istri bapak!" ancam Untari.
"Bilang aja, paling kamu nanti dipecatnya. Kamu tahu kan bapak suka sekali sama kamu sejak pertama ketemu. Sudahlah, kamu mau apa? Pasti saya beri."

BRUAAANG!

Tiba-tiba suara kencang terdengar. Dengan sekuat tenaga Untari telah melemparkan vase bunga. Vase itu menimpa bahu pria tersebut kemudian hancur lebur menimpa lantai dari bahan keramik. Air, bunga, dan pecahan gelas berserakan di lantai, tepat di depan pintu yang telah terbuka dengan seorang perempuan yang memajang tampang menganga di wajahnya. Seketika segalanya seperti terkena kutukan, musnah kata, hanya kebekuan memenuhi ruangan.

**

Every litlle thing she does is magic.. Suara Gordon Matthew Sumner tiba-tiba menyeruak dari tas gading sang gadis yang sedang terlelap. Gadis itu hanya membuka matanya, namun selang beberapa detik ia merogoh tas kecilnya. Ia menimang-nimang K 750i miliknya, entah menikmati lagu atau menghitung berat HP berwarna hitam tersebut. Selanjutnya melepaskan kacamata dengan batang berwarna coklat dan menempelkan HP ke telinga polos, tanpa anting.

"Iya Kang, ada apa?"
...
"Aku lagi di bis, sejam lagi sampai."
...
"Ngga apa-apa kok, besok aku ga kerja.."
...
"Ngga kok Kang, aku nggak sakit, ..."
...
"Bukan! Bukan cuti, ... aku berhenti"
...
"Nanti aja ya Kang, aku lagi di bis. Nanti aku ceritakan"
...
"Bye"

Setetes air jatuh menimpa layar HP. Diikuti tarikan berat nafas, memulas kedamaian wajah sang gadis dengan goresan kegundahan. Tetap, wajah itu masih menampakan keayuan yang bisa menghisap pandang setiap pejantan.

"GROGOL SIAP-SIAP, YANG GROGOL SIAP-SIAP!"

Suara kondektur bis tiba-tiba memecah suasana. Sepertinya, itu tanda bagi sang gadis untuk bangkit dari kesenduannya. Ia melipat blazer coklat mudanya. Kemudian berdiri, menitipkan senyumnya di mataku.

"Permisi Mas?!"
"Oh iya, a..aku juga turun di sini kok" jawabku gagap.

Menerobos tubuh-tubuh manusia yang secara cermat ditata sang kondektur bukan hal mudah. Sang gadis mengikutiku, memanfaatkan hasil kerjaku menyingkap jalur menuju pintu keluar.

"GROGOL HABIIIS!"

Aku pun menapakan kakiku di aspal. Udara dingin AC berubah drastis dilibas udara Jakarta yang hangat. Kayu bakarnya, tentu saja, asap dari knalpot kendaraan-kendaraan yang berbaris tak beraturan di jalan-jalan Jakarta.

"Terima kasih Mas"
"Oh iya sama-sama"

Setelah meluncurkan kata tersebut, sang gadis melangkah menjelang jembatan penyeberangan. Setiap langkahnya memberikan ketukan yang menghipnotis pandangku untuk membuntutinya. Di sela jeruji jembatan, sosoknya terlihat melangkah gemulai dan anggun dihiasi rona sinar mentari senja yang keemasan.
Grogol masih saja semrawut, pedagang-pedagang asongan, kaki lima, dan pejalan kaki berebutan di lahan trotoar yang tak seberapa luas. Menjadi lahan empuk bagi para pencuri dan pencopet. Namun, hari itu hanya satu pencuri yang berhasil mencuri dariku. Seorang pejuang yang terlelap dihunjami desiran udara AC. (*)

Kantor Redaksi Koran Nomor Dua
abdisalira©050805

Rabu, Agustus 03, 2005

Wish List



I wish I was a neutron bomb, for once I could go off
I wish I was a sacrifice but somehow still lived on
I wish I was a sentimental ornament you hang on
The Christmas tree, I wish I was the star that went on top
I wish I was the evidence, I wish I was the grounds
Or fifty million hands up raised and opened toward the sky

I wish I was a sailor with someone who waited for me
I wish I was as fortunate, as fortunate as me
I wish I was a messenger and all the news is good
I wish I was the full moon shining off a Camaro's hood

I wish I was an alien at home behind the sun
I wish I was the souvenir you kept your house key on
I wish I was the pedal break that you depended on
I wish I was the verb to trust and never let you down

I wish I was the radio song, the one that you couldn't turn up


© Eddie Vedder

ps: Entah kenapa aku jadi mellow ginih euy, tapi ga apa-apa kan? Sesuatu yang terbiasa akan jadi hampa. Kemarin malam aku dengar lagu ini di radio. Kopi yang tinggal setengah gelas, rokok pun tinggal sebatang yang ada di sela jari, itupun sudah hampir habis. Lagu ini mengingatkan aku pada kegilaan masa kuliah. Meski gila, saat itu semua terasa mudah, simpel dan tentu saja asik. Well just to remind me of the glorious day...